BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menakar Manfaat Bank Pertanian

Menakar Manfaat Bank Pertanian

Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 13.16

Menakar Manfaat Bank Pertanian

Wacana pembentukan bank pertanian terus bergulir. Bank yang fokus
membiayai sektor pertanian. Apa manfaatnya? Bagaimana solusinya?

Manfaat

Sebelumnya, mari kita cermati dulu manfaat dan kendala pembentukan bank
pertanian. Menteri Pertanian menyatakan bahwa sektor pertanian
memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun,
dukungan pembiayaan terutama perbankan masih terbatas ke sektor ini.

Hal ini memunculkan wacana untuk membentuk bank yang fokus ke bidang
pertanian untuk mengatasi kendala pembiayaannya.Penyaluran kredit
perbankan ke sektor pertanian dalam lima tahun terakhir sangat minim
yakni hanya 5% dari total kredit perbankan nasional (Seputar
Indonesia,12 Mei 2009).

Artinya, eksposur kredit sektor pertanian masih rendah. Ini tantangan
bagi bank nasional. Data Badan Pusat Statistik triwulan I 2009
menunjukkan penurunan pengangguran dari 8,39% pada Agustus 2008 menjadi
8,14% terhadap lapangan kerja pada Februari 2009. Penurunan ini juga
disebabkan pergerakan sektor pertanian yang memasuki masa
panen.Intinya,sektor pertanian memiliki andil besar.

Kendala

Mungkin benar bank nasional belum agresif menggarap sektor pertanian.Apa
kendalanya? Pertama, sukar ditepis. Sektor pertanian sangat bergantung
pada musim. Masih lekat dalam ingatan kita, Indonesia dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pernah merencanakan untuk menjadi
negara industri dari negara agraris.

Rencana itu dirancang antara lain karena sektor pertanian bergantung
penuh pada musim.Maka logis ketika bank nasional menganggap sektor
pertanian sebagai berpotensi risiko tinggi.Faktor inilah yang
membuatbanknasionalkurangberani terjun untuk membiayai sektor ini.

Kedua, tata niaga beberapa komoditi nasional juga nihil.Memang sudah ada
tata niaga misalnya untuk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO),
karet, dan kopi. Banyak yang belum tertata. Dengan bahasa sederhana,
belum terdapat aturan mengenai sistem pembudidayaan, pemasaran, dan
perdagangan.

Harga jual produk pertanian masih seperti yoyo. Naik dan turun.Ketika
panen tiba,harga jual produk menukik yang tentu merugikan petani.Karena
kredit bank sangat jarang menurun. Sarinya, pengelolaan sektor pertanian
dari hulu ke hilir belum tertata apik. Di sana tersimpan ketidakpastian
(uncertainty) yang merupakan potensi risiko bagi bank nasional.

Mengapa? Dalam menilai kredit, bank harus mempertimbangkan 3R (returns,
repayment capacity, and risk-bearing ability).R pertama, bank harus
merasa yakin bahwa kredit yang diberikan bakal menghasilkan. Minimal
menutup biaya dana yang telah dikeluarkan. R kedua,bank wajib menghitung
dan menetapkan kemampuan nasabah dalam membayar angsuran per bulan.

R terakhir, bank juga harus menilai apakah nasabahnya memiliki kemampuan
cukup untuk menanggung risiko kegagalan (Prof Dr Bambang Riyanto,2001).
Ketiga, selama ini sebagian dana perbankan berjangka pendek (short term
funding). Sebaliknya, kredit pertanian sebagian besar relatif berjangka
panjang (long term loan). Akibatnya, terjadilah ketidaksesuaian dalam
waktu (mismatch) antara pendanaan dan kredit.Ini tidak sehat bagi bank.

Alternatif Solusi

Dengan memperhatikan kendala tersebut disampaikan beberapa alternatif
solusi sebagai pertimbangan. Pertama.Rasanya,tak perlu terburu- buru
membentuk bank pertanian. Lebih baik Bank Indonesia (BI) lebih dulu
melakukan kajian matang mengenai untung dan ruginya.

Masih banyak PR (pekerjaan rumah) bagi BI untuk menyehatkan bank
nasional a.l.penambahan modal inti (tier 1) menjadi Rp100 miliar
meliputi instrumen yang memiliki kapasitas terbesar untuk menyerap
kerugian yang terjadi setiap saat dan pembentukan lembaga independen
pengawasan sektor keuangan yang lebih dikenal dengan otoritas jasa
keuangan (OJK).

Keduanya dijadwalkan paling lambat akhir 2010. Belum lagi UU Jaring
Pengaman Sektor Keuangan. Kedua. Selain itu, sejatinya pemerintah juga
sudah meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan penjamin
Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha (SPU) dan Asuransi Kredit
Indonesia (Askrindo).

Program ini disalurkan melalui Bank Mandiri, Bank BRI, BNI,Bukopin,BTN,
dan Bank Syariah Mandiri. BukankahtargetKURuntukmenumbuhkan 650.000 unit
usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) juga untuk memajukan sektor
pertanian selain perikanan dan kelautan, koperasi,kehutanan,serta
perindustrian dan perdagangan? Nah, pemerintah dan BI tinggal mendorong
bank nasional untuk lebih agresif mengucurkan kredit ke sektor pertanian.

Untuk memperluas jaringan dan memberdayakan Bank Pembangunan Daerah
(BPD), penyaluran KUR diperluas kepada BPD yang sudah dekat dengan UMKM.
Ketiga.Atau jika “hanya”untuk menggalakkan kredit sektor pertanian,
pemerintah cukup menugaskan satu bank pelat merah. Sebut saja BRI.

Mengapa? Karena bank wong cilik yang mampu meraih laba bersih sangat
gemilang pada triwulan I/2009 ini sudah akrab dengan sektor ini. Jangan
lupa BRI dulu merupakan bank yang fokus pada sektor pertanian. Sementara
itu, BNI, Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD), Bank
Pembangunan Indonesia (Bapindo), dan BTN masing-masing fokus pada sektor
perindustrian, perdagangan, perkebunan, pembangunan, dan perumahan.

Selain itu, BRI juga sudah memiliki pengalaman panjang dan kapasitas
tinggi dalam pengucuran kredit sektor pertanian.Apalagi Bank BRI sudah
mempunyai ribuan kantor unit desa di seluruh Nusantara. Langkah ini
lebih strategis, pragmatis,dan hemat karena pembentukan suatu bank
pastilah menyedot dana yang tidak sedikit.

Penghematan akan memberikan ruang lebih besar bagi pemerintah dan BI
bersama Bapapem-LK dalam meningkatkan pengawasan industri perbankan dan
pasar modal nasional yang lebih mendesak. Mengapa tidak? (*)

Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/254526/
Share this article :

0 komentar: