Menggugat Profesi Advokat
*Asmar Oemar Saleh*
ADVOKAT, MANTAN DEPUTI III BIDANG PENANGGULANGAN PELANGGARAN HAK ASASI
MANUSIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
Penegakan hukum tak bisa berdiri di atas satu kaki. Peran
negara--polisi, jaksa, dan hakim--hanyalah satu kaki penyangga. Satu
kaki lainnya adalah peran masyarakat, terutama advokat. Dalam konteks
penegakan hukum, kehadiran advokat bukan semata-mata membela hak-hak
terdakwa. Justru urgensinya terletak pada terciptanya peradilan yang
adil dan keadilan yang merata.
Maka advokat merupakan salah satu elemen terpenting dalam penegakan
hukum. Merekalah yang memperantarai kepentingan hukum masyarakat
berhadapan dengan negara. Karena itu, institusi advokat yang bersih dan
berintegritas tinggi akan berkorelasi positif dengan tegaknya hukum di
negeri ini. Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 menegaskan bahwa
peradilan yang jujur, adil, dan berkepastian hukum "memerlukan profesi
advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab".
Sayangnya, cita-cita itu belum sepenuhnya terwujud. Hari-hari ini
masyarakat masih melihat profesi advokat lebih sebagai profesi bayaran
untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Sementara itu,
jati diri advokat sebagai warga negara Indonesia yang bersikap kesatria
serta jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral
yang tinggi dan mulia demi tegaknya hukum--seperti termaktub dalam kode
etik advokat--nyaris tak terlihat.
Yang tampak kini adalah kiprah para advokat yang berkhidmat pada materi
dan ketenaran, bukan pada kebenaran. Modusnya: memburu kasus-kasus yang
bakal mendatangkan popularitas atau imbalan besar, tak peduli pada
substansi hukum dan kebenarannya. Padahal dalam Pasal 4 ayat (3) Kode
Etik Advokat disebutkan bahwa advokat bekerja bukan semata-mata demi
bayaran materi, melainkan terutama bertujuan untuk menegakkan hukum,
keadilan, dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab.
*Teladan*
Sejarah punya sejumlah contoh advokat yang teguh kepada keadilan, setia
kepada kebenaran, dan menjunjung tinggi idealisme sebagai advokat. Di
Indonesia, nama Yap Thiam Hien (1913-1989)--yang dikenal sebagai Singa
Pengadilan--layak disebut. Ia mengabdikan hidupnya demi hukum dan
keadilan. Untuk itu, namanya diabadikan sebagai nama bagi penghargaan
dalam penegakan hak asasi manusia: Yap Thiam Hien Award.
Nama Yap Thiam Hien menjadi sejarah karena ia gigih memperjuangkan
hak-hak kaum terpinggir dan minoritas, tanpa pernah pilih-pilih. Ia tak
takut berhadapan dengan penguasa, meski risikonya adalah penjara.
Sejumlah kasus yang membahayakan dirinya justru dibelanya dengan berani:
Yap pernah membela pedagang Pasar Senen yang tergusur; Yap yang
antikomunis justru membela para tersangka G-30-S/PKI, seperti Oei Tjoe
Tat dan Soebandrio; Yap membela para aktivis yang terlibat dalam
Peristiwa Malari 1974 (berhadapan dengan kekuasaan yang otoriter dan
menyebabkannya ditahan tanpa proses peradilan); serta Yap membela para
tersangka Peristiwa Tanjung Priok pada 1984.
Di Amerika Serikat, kita mengenal Gerry Spence, yang lahir pada 1929.
Dia seorang advokat ternama yang kemudian berkomitmen untuk berjuang
membela masyarakat bawah--mereka yang digambarkan sebagai orang miskin,
kelompok tertindas, mereka yang bungkam, pasrah, dan pengutuk--dari
kejahatan badan hukum, perusahaan asuransi, perbankan, dan bisnis-bisnis
besar. Spence mendirikan Trial Lawyers College untuk mendukung
idealismenya tersebut, yang mengajarkan metode pembelaan hukum bagi
masyarakat. Dia juga pendiri Lawyers and Advocates for Wyoming (LAW),
sebuah firma hukum publik nonprofit.
*Organisasi advokat*
Dua nama tersebut adalah segelintir contoh advokat yang setia menjaga
profesinya sebagai /officium nobile/, profesi yang mulia dan terhormat.
Melihat kondisi advokat kini yang tak lagi sesuai dengan khitah
tersebut, revitalisasi idealisme dan kepribadian advokat harus
dilakukan. Bagaimana caranya? Di sinilah pentingnya sebuah organisasi
tunggal advokat (/single bar association/) yang berwibawa, bertanggung
jawab, dan demokratis. Organisasi inilah yang bertugas penuh menegakkan
kode etik advokat.
Persoalannya, sejumlah konflik justru mewarnai dunia advokat di
Indonesia, yang membuatnya terpecah belah ke dalam banyak organisasi.
Pada masa Orde Lama pernah berdiri Persatuan Advokat Indonesia (PAI),
Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), serta Pusat Bantuan dan Pengabdi
Hukum Indonesia (Pusbadhi).
Adapun pada masa Orde Baru berdiri lebih banyak lagi organisasi: Ikatan
Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Serikat
Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM),
Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Asosiasi Pengacara
Syariah Indonesia (APSI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI),
serta Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI).
Pada 5 April 2003, disahkan UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003, yang
mengamanatkan pembentukan organisasi tunggal advokat paling lambat dua
tahun setelah UU Advokat diundangkan. Untuk memenuhi ketentuan tersebut,
pada Desember 2004 dideklarasikan Perhimpunan Advokat Indonesia
(Peradi). Namun, pembentukan Peradi menimbulkan polemik karena dinilai
tidak transparan, tidak demokratis, dan tidak akuntabel.
Maka empat organisasi advokat, IPHI, Ikadin, HAPI, dan APSI, menyuarakan
ketidakpuasan itu dengan mendeklarasikan Kongres Advokat Indonesia (KAI)
pada Mei 2008. Selesaikah persoalan? Nyatanya kehadiran KAI hanya
menambah jumlah organisasi advokat yang telah banyak itu. Pembentukan
wadah tunggal advokat Indonesia gagal.
*Sumpah advokat*
Tiadanya satu organisasi tunggal advokat membuat cita-cita mulia advokat
Indonesia nyaris menguap begitu saja. Karena itu, yang bisa diharapkan
saat ini adalah munculnya kesadaran pribadi masing-masing advokat: bahwa
mereka bukan seperti "tukang" yang bekerja tergantung bayaran. Ada
idealisme yang melatari dibentuknya profesi advokat.
Selain itu, harus muncul kesadaran dalam diri semua advokat bahwa perang
melawan mafia peradilan--perselingkuhan dengan oknum polisi, jaksa, dan
hakim--adalah bagian tanggung jawab advokat. Adanya mafia peradilan
karena ada oknum advokat yang memperantarainya. Maka menghancurkan mata
rantai mafia peradilan adalah juga tugas advokat. Semua advokat pasti
kenal sumpah ini: "Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam
atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan
atau menguntungkan bagi perkara yang sedang atau akan saya tangani".
Akhirnya tanggung jawab penegakan hukum dan reformasi hukum di Indonesia
juga berada pada pundak para advokat. Kita berharap idealisme advokat
yang terpatri dalam UU Advokat, kode etik, dan sumpah advokat dapat
mewujud nyata dalam sikap dan perilaku para advokat Indonesia.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/14/Opini/krn.20090714.170990.id.html
Menggugat Profesi Advokat
Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 13.08
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar