BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » I Love You Full Indonesia

I Love You Full Indonesia

Written By gusdurian on Selasa, 21 Juli 2009 | 12.35

I Love You Full Indonesia
Oleh: Cucuk Suparno

Lagi-lagi kakek penyanyi /reggae/ Mbah Surip bikin ulah! Kali ini,
lontaran kalimat khasnya,/ I love you full/,/ /menggelitik pikiran saya.
Kalimat tersebut diucapkan pada setiap kesempatan tanpa peduli konteks
pertanyaan atau suasananya.

/I love you full /yang identik dengan Mbah Surip itu merupakan jargon
ambigu yang multitafsir. Karena itu, saya ingin menyeretnya ke dalam
tafsir kekinian: /I love you full Indonesia/.

Masih banggakah kita mengatakan /I love you full/ /Indonesia/? Seiring
perkembangan segala lini kehidupan karena gelombang modernitas berbaju
globalisasi, tak dimungkiri sebutan Indonesia tidak lagi dihayati
sebagai ''negara-bangsa'' yang patut dibanggakan.

Diakui atau tidak, banyak bukti menunjukkan generasi kekinian telah
menempatkan ke-Indonesia-annya cukup dalam wilayah formalitas. Misalnya,
di ruang seminar, perkuliahan, buku-buku pelajaran, hingga ruang debat
publik. Celakanya, tak jarang sebutan Indonesia sekadar dicomot dan
dijadikan komoditas politik serta komersialisasi kebudayaan.

Sekadar gambaran, bila menyebut Indonesia, yang saya maksud adalah
keseluruhan perilaku sosial, politik, agama, kebudayaan, hingga strategi
pengelolaan bangsa ini. Bahkan, termasuk segala potensi alam dan manusia
yang hidup mulai Sabang hingga Merauke. Indonesia secara holistis!
Masihkah kita memiliki rasa bangga dan peduli terhadap bangsa ini yang
identitas atau jati dirinya perlahan tergerus besarnya arus globalisasi,
kapitalisasi, dan liberalisasi?

Ambil contoh, ada sebuah penelitian oleh komunitas LSM dari Jogjakarta
yang menyebar wawancara dengan sejumlah responden anak muda tentang
Pancasila dan wawasan kebangsaan.

Sangat ironis, hampir 60 persen anak-anak muda yang tersebar di lima
kota besar, yakni Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan Malang,
tidak hafal Pancasila -apalagi penjabarannya- dan celingukan ketika
ditanya tentang wawasan kebangsaan. Padahal, negeri ini bisa disebut
NKRI yang berdaulat karena memiliki Pancasila dan wawasan kebangsaan
sebagai spirit kehidupan berbangsa.

Implikasi ketidakpahaman terhadap spirit kehidupan berbangsa mewujud
dalam tindakan yang tidak sesuai karakter bangsa. Misalnya, tak ada lagi
kesantunan antargenerasi. Perilaku menyimpang -merugikan bangsa dan
negara- semakin dianggap wajar. Misalnya, korupsi, kolusi, anarkisme,
hingga ''proyek materialisasi'' segala bentuk kegiatan sosial. Indonesia
yang dulu terkesan santun, penuh adab, kini bagaikan negara tanpa
keutuhan penghayatan budaya. Kita kehilangan identitas!

Fenomena paling kontekstual adalah euforia kampanye menjelang pilpres
yang terasa sangat banal dan sarat /lips service/. Kemiskinan,
pengangguran, kriminalitas, hak asasi manusia, pendidikan, serta
kesehatan dijadikan komoditas untuk menarik simpati.

Hingga detik-detik terakhir pemungutan suara, di antara ketiga pasangan
capres-cawapres, belum ada yang berani melontarkan langkah teknis dan
holistis dalam rangka membangun karakter bangsa. Semua berlomba membuat
visi yang sangat materialistis. Memang, hal-hal kebendaan sangat
penting. Tapi, yang lebih penting adalah strategi membangun mentalitas
bangsa, terutama mental anak-anak muda.

Indonesia semakin kehilangan karakter atau jati diri. Cita-cita
universal sesuai amanat UUD 1945, yakni menyejahterakan seluruh rakyat,
ternyata diingkari demi kepentingan sesaat. Ketika biaya pendidikan
makin tinggi dan ongkos kesehatan melambung, para /decision maker/ hanya
bermain istilah untuk ''membesarkan hati rakyat kecil'', sehingga
kesejahteraan hanya tinggal mimpi.

Karakter gotong royong, musyawarah, atau padat karya sekarang telah
diganti dengan individualisme, kepentingan komunal, dan kekuatan modal.
Bukan tidak mungkin, Indonesia akan hilang dari peta kultural dunia!

*Tafsir Mbah Surip*

Ketika mencermati kenyataan sosial, politik, hukum, dan budaya yang
makin memprihatinkan, Indonesia pada masa depan sangat membutuhkan
pemimpin yang berani dan bangga menyatakan /I love you full/
/Indonesia/. Tidak sekadar mengumbar kritik tentang kebocoran aset
negara, bobroknya sistem pemerintahan, serta buruknya perilaku hukum dan
politik, tapi pemimpin yang memiliki komitmen mengembalikan semangat
cinta Indonesia.

Sekadar bahan perbandingan, jika Mahatma Ghandi di India berani
mengatakan tidak terhadap invasi kultur asing dan memulai gerakan
Swadesi untuk kembali mencintai potensi lokal, tak ada salahnya Swadesi
ala India kita transformasi ke Indonesia.

Sayangnya, kita belum memiliki figur sehebat Mahatma Gandhi yang
politikus, negarawan, sekaligus seniman dan budayawan. Tapi, spirit
Gandhi patut diteladani sebagai spirit menuju Indonesia baru.

Di sisi lain, ketika bangsa ini bingung menentukan pemimpin yang bervisi
dan berkomitmen kuat menyejahterakan rakyat, celetukan satir/ I love you
full/ /Indonesia/ menginspirasi untuk dikontekstualisasikan dengan
situasi kekinian. Saya membayangkan, seandainya seluruh elemen bangsa
ini spontan menyerukan/ I love you full Indonesia/ dan menjadikannya
sebagai sikap batin, tentu segala krisis dan konflik di negeri ini akan
teratasi.

Mungkin tidak ada lagi para pemimpin atau calon pemimpin yang sekadar
''jual mimpi'' dan ''teken kontrak politik abal-abal''. Maaf, bukan
berarti saya menuding segala perilaku dan janji manis politisi adalah
palsu. Tapi, indikasi ke arah itu cukup kuat.

Membangun Indonesia yang telah sakit ini diperlukan kemauan yang
tangguh. Kemauan yang saling bersambut antara pemimpin dan rakyat. Juga,
anasir budaya sebagai pilar utama mentalitas bangsa perlu segera
diperbaiki. Betapa indahnya hidup di Indonesia, jika antara pemimpin dan
rakyat dengan tulus mengatakan, /I love you full/ /Indonesia/!

Mbah Surip pun tertawa bangga. /Ha... ha... ha/... *(*)*

*) Cucuk Suparno, /humas Lembaga Baca-Tulis Indonesia, alumnus Fakultas
Sastra Universitas Negeri Malang

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=81330
Share this article :

0 komentar: