BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gun Gun Heryanto: Final Round?

Gun Gun Heryanto: Final Round?

Written By gusdurian on Rabu, 08 Juli 2009 | 15.05

inal Round?

Tibalah saatnya Indonesia memilih. Rangkaian proses demokrasi yang cukup
panjang dengan segala ornamennya, memasuki fase-fase krusial.

Berbagai teknik dan strategi marketing politik guna mengonstruksi citra
diri kandidat di mata dan hati pemilih tuntas sudah. Para kandidat
capres dan cawapres sudah diberi waktu lebih dari cukup untuk mengemas
dan memperlihatkan berbagai kekuatan yang ada pada diri mereka.Nyaris
tak ada lelah mereka mengunjungi setiap jengkal bumi pertiwi ini dengan
balutan semangat dan motivasi yang sama, yakni melenggang menuju istana
sebagai pemenang.

Pada 8 Juli,seluruh rakyat yang memiliki hak suara, seyogianya menjadi
penentu masa depan Indonesia. Namun, benarkah hari penconterangan akan
menjadi ronde terakhir dari kontestasi politik lima tahunan di negeri
ini? Atau, justru menjadi awal dari fase turbulensi politik yang mesti
diwaspadai.Alihalih menghadirkan demokrasi yang elegan,pemilu malah bisa
menjadi awal lumpuhnya esensi demokrasi, jika rakyat sebagai pemegang
mandat menjadi tuna kuasa (powerless) atau menjadi kelompok bungkam
(muted group).

Konstruksi Kemenangan

Banyak cara menggapai Istana, namun hanya satu pasangan yang akan
memperolehnya. Karena itu diperlukan mental kenegarawanan untuk memiliki
makna mendalam akan hakikat kemenangan itu sendiri.Selama ini muncul
konstruksi makna bahwa kemenangan selalu diidentikkan dengan hasil akhir.

Kemenangan mematri prestise, kekuasaan, dan legitimasi. Kerap kali juga
diikuti oleh egosentrisme dan rasionalitas pragmatis guna mencapai
kegemilangan dari kemenangan itu. Tak ada yang salah dengan hasil akhir
kemenangan, terlebih jika didukung oleh kualitas proses yang menjunjung
tinggi keluhuran makna kemenangan itu sendiri.

Namun, jika kemenangan berdiri di atas fondasi konspirasi hitam,
rasisme, politik korporatisme, dan kesepakatan-kesepakatan dengan
invisible hand dari kekuatan multinasional yang membahayakan kehormatan
negara kita, maka wajar jika kita menyebut kemenangan itu sebagai genta
mati demokrasi. Begitu pun bagi pihak yang tak menikmati penahbisan
kemenangan atas dirinya,maka sangat mungkin tergoda untuk mengaktualkan
energi negatif kekalahannya itu menjadi serentetan aktivitas yang juga
membahayakan demokrasi.

Prosesi demokrasi ditempatkan dalam hitam putih egosentrisme kemenangan
dan pembangkangan atas vonis kekalahan. Kita memiliki catatan historis
tentang kemenangan yang dipaksakan seperti terjadi di zaman Orde Baru.
Selama 32 tahun Soeharto selalu menjadi pemenang,namun bukan kemenangan
yang dilahirkan dari rahim demokrasi, melainkan kemenangan yang
dikendalikan secara paksa.

Meminjam istilah dari pemikir Louis Althusser, berarti ada “ideological
state apparatuses” dan the repressive state apparatus yang dapat
memaksakan kemenangan bagi rezim berkuasa. Aparatus negara yang menjadi
alat ideologis atau represif itu dapat mewujud dalam bentuk pemerintah,
polisi,tentara,pengadilan, keluarga,agama,bahkan media massa.Termasuk
juga dalam konteks pemilu ini adalah para penyelenggara pemilu, dari KPU
pusat hingga TPS. Sangat mungkin mereka tergoda untuk tunduk pada desain
pihak-pihak tertentu yang menghendaki kemenangan, meskipun harus
mencederai prinsip pemilu yang jujur dan adil.

Karenanya, wajar jika dalam momentum pemilu ini kita kembali
merekonstruksi makna kemenangan. Menurut, Peter L Berger dan Thomas
Luckmann (1990),reality is socially constructed. Dengan demikian, dalam
proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas
sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Istilah konstruksi
sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan
sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi di mana individu
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan
dialami bersama secara subjektif.

Pelembagaan dan Legitimasi

Makna kemenangan pemilu bisa dikonstruksikan oleh cara pandang kita.
Sangat mungkin, kemenangan berorientasi hasil akhir (goal oriented) dan
terlepas dari moralitas, seolah-olah sahih dan menjadi realitas
objektif.Kita menyadari bahwa realitas obyektif merupakan suatu kompleks
definisi realitas (termasuk cara pandang dan keyakinan) serta rutinitas
tindakan yang telah mapan terpola.

Secara umum, dihayati oleh individu sebagai fakta.Banyak tim sukses yang
memiliki semangat “Apa pun caranya yang penting menang!” Bisa jadi
gejala ini kian kronis karena dua hal. Pertama,karena adanya
pelembagaan. Artinya ada proses pembiasaan curang dalam pemilu.Mulai
dari pendaftaran pemilih tetap (DPT), kampanye hitam berbau SARA atau
rasisme,serangan fajar saat hari H pencontrengan, hingga nanti pada saat
proses rekapitulasi hasil suara.

Tiap tindakan yang sering diulang pada akhirnya akan menjadi suatu pola
yang bisa direproduksi dan dipahami oleh pelakunya sebagai hal yang
sahih, lumrah dan apa adanya. Kedua,legitimasi yang berfungsi membuat
objektivasi tentang berbagai kecurangan yang sudah dilembagakan
tadi,menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara
subjektif.Yang berbahaya adalah, tatkala semua karut marut soal pemilu
tadi justru diperkokoh oleh ekspresi simbolik media massa dan elite
masyarakat.

Alhasil,hal itu menjadi konstruksi definisi realitas yang dimiliki
individu warga negara melalui proses internalisasi mereka.Selama masa
kampanye, gejala seperti itu menguat di masyarakat.Misalnya kian
intensifnya produk hasil riset bercita rasa pemesan.Perbedaan hasil
riset bukan karena perbedaan metodologi, melainkan lebih karena
perbedaan siapa sponsor mereka.

Ironisnya, banyak konsultan politik bertopeng lembaga survei independen
itu justru banyak dimotori oleh intelektual muda yang sesungguhnya
memiliki peluang untuk berkiprah dalam keluhuran politik Indonesia masa
depan. Begitu pun media,tak lagi mampu menjadi ruang publik seperti
dimimpikan oleh pemikir Jerman Jurgen Habermas.Melainkan,kian kukuh
sebagai instrumen bisnis yang juga mesti adaptif dengan kecermatan
memilih patrondalam politik.

Seharusnya media menjadi institusi yang tidak berada dalam represi rezim
kapital atau intervensi negara dan kelompok kepentingan tertentu,
melainkan menjadi alat kontrol atas proses demokrasi sekaligus penguat
proses literasi politik dari pemilih. Dengan kondisi seperti
sekarang,wajar jika kemudian media tak mampu berbuat adil dalam memberi
ruang bagi semua kandidat, terlebih berbuat adil terhadap pemilih.

Harga Demokrasi

Banyak pihak yang mengampanyekan pilpres satu putaran dengan alasan
penghematan anggaran. Sekilas tampak sebuah iktikad yang mulia dan
menunjukkan empati akan nilai efektivitas dan efisiensi biaya. Seperti
kita ketahui, ongkos satu kali putaran pilpres itu kurang lebih Rp4
triliun.

Artinya, jika harus ada putaran ke dua, sudah pasti ada biaya tambahan
yang dikeluarkan negara.Namun, substansi penyelenggaraan pemilu adalah
kekuasaan rakyat itu sendiri. Jika pun Indonesia memilih salah satu
pasangan dan menang dalam satu kali putaran, itu harus diterima sebagai
hakikat demokrasi. Begitu juga sebaliknya, semahal apa pun ongkosnya,
demi demokrasi yang jujur dan adil, berapa putaran pun pemilu harus
tetap dilaksanakan.

Ada kekhawatiran kampanye pemilu satu putaran justru bukan melahirkan
fatsun politik, melainkan menstimulasi lahirnya aparatus pemenangan gaya
machievelist di tiap tingkatan penyelenggara pemilu. Biarkan pemilu
berjalan dengan hakikat nilai-nilai demokrasi yang terkandung di
dalamnya.Satu, dua,atauberapaputaranpunhanyalah persoalan konsensus
untuk melahirkan pemenang yang mengantongi mandat kekuasaan. Hakikat
kemenangan tak hanya hasil akhir jabatan RI-1 atau RI-2, melainkan juga
proses menuju itu.

Menjalankan kompetisi secara sehat serta memberi inspirasi bagi banyak
orang. Rivalitas akan berjalan happy ending jika elite politik kita
mampu berbagi nilai respek. Satu pasang akan ke istana dan yang lain
bersedia membangun kekuatan oposisi yang kuat agar muncul keseimbangan
kekuasaan.(*)

Gun Gun Heryanto
Direktur Ekekutif The Political Literacy Institute


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/252742/
Share this article :

0 komentar: