Massa mengambang dikail dengan polling pesanan. Jajak pendapat yang
bermanfaat bagi politikus bukan survei tentang elektabilitas kandidat,
melainkan tentang opini publik atas berbagai isu dan karakter para
pemilik pendapat itu.
Adakah yang bisa menjawab teka-teki ini: dari mana datangnya angka 50-an
persen dalam polling SMS yang diperoleh calon presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam setiap debat di televisi, padahal debat itu belum dimulai?
Yuddy Chrisnandi tak tahu asalmuasal angka itu. Tapi juru bicara tim
kampanye Jusuf Kalla-Wiranto itu mengaku gerah terhadap penayangan hasil
jajak pendapat via pesan pendek tersebut. “Polling itu tidak valid,
tidak riil, karena debat belum mulai tapi perolehan SBY sudah di atas 50
persen,” ujarnya, di atas Fokker 100 dalam penerbangan bersama Jusuf
Kalla dari Manado ke Lombok, akhir bulan lalu.
Bagi Yuddy, angka yang ditayangkan di bagian bawah layar televisi itu
bisa berakibat buruk bagi jagoannya. Perolehan suara Jusuf Kalla dan
Wiranto di panggung debat itu bisa terpengaruh. Soalnya, persentase itu
bisa mengotori persepsi massa mengambang yang sedang menentukan
pilihannya dengan menyaksikan perdebatan antarkandidat presiden.
Padahal, “Ada 20 hingga 30 persen dari 130 juta pemilih yang belum
menentukan calon presidennya,” ujarnya, mengutip kalkulasi penghitungan
tim kampanyenya.
Polling SMS itu hanya satu dari belasan—mungkin puluhan—jajak pendapat
yang mengiringi pemilihan umum tahun ini. Sebagian polling itu cuma
“main-main”: tak merepresentasikan seluruh pemilih (sampling),
pertanyaannya tak didesain dengan matang, dan cuma dipasang di halaman
web Internet. Tapi beberapa lembaga mengklaim membuat polling serius
sehingga hasilnya merepresentasikan suara sebenarnya, yang baru akan
diketahui seusai pemungutan suara 8 Juli nanti.
Toh, bagi Maruarar Sirait, anggota tim sukses Megawati Soekarnoputri-
Prabowo, semua jajak pendapat itu, termasuk polling yang dilakukan
lembaga survei bergengsi, telah ditunggangi kepentingan politis. “Pakai
akal saja. Kalau memang tujuannya semata-mata akademis, buat apa
dipublikasikan besar-besaran di media massa berulang-ulang,” kata dia.
Ahli statistik pada Departemen Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor (IPB), Asep Saefuddin,
memiliki kecurigaan yang sama dengan Maruarar. “Kami ragu terhadap
keakuratannya. Hasilnya lebih cenderung bermuatan politis agar terbentuk
opini di masyarakat yang menggiring agar memilih pasangan tertentu pada
pilpres 8 Juli mendatang,” kata Asep, awal bulan lalu.
Sejawat Asep, Ketua Departemen Statistika IPB Hari Wijayanto,
menjelaskan bahwa lembaganya ragu terhadap hasil survei-survei itu
karena lembaga yang melakukannya tidak independen. Independensi lembaga
itu, kata Hari, menjadi salah satu ukuran penting dalam menilai hasil
survei.
Pengamat politik Centre for Strategic and International Studies, J.
Kristiadi, mengatakan independensi diperlukan untuk menghindarkan campur
tangan atau bias yang bisa datang dari pemberi dana. Tanpa kemandirian
ini, hasil survei bisa sekadar tipu-tipu. “Peneliti boleh keliru, tapi
tidak boleh menipu,” kata Kristiadi dalam diskusi “Charta Politika” di
Jakarta, bulan lalu.
Hal ini dibantah oleh Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dodi
Ambardi. Dia mengatakan tak ada hubungan antara sumber pendanaan dan
hasil survei. Meski LSI dibiayai oleh Fox Indonesia, yang disebut-sebut
sebagai konsultan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono,
metodologinya dapat dipertanggungjawabkan.
Salah satu cara untuk menyetir hasil survei memang ada pada metodologi.
Karena itu, menurut Hari, metodologi survei yang digelar lembaga-
lembaga tersebut harus terbuka untuk diaudit publik. Pemeriksaan yang
paling krusial adalah pada metode sampling yang digunakan dan besarnya
ukuran sampel. “Penggunaan metode sampling yang tidak tepat akan
memberikan sampel yang bias, dan akibatnya akan menghasilkan dugaan yang
berbias. Sedangkan ukuran sampel yang kurang memadai dapat menyebabkan
populasi tidak terwakili secara baik oleh sampel, yang pada akhirnya
menyebabkan dugaan memiliki akurasi yang rendah,” ujarnya.
Dia mengatakan, ada indikasi bahwa survei yang dilakukan memperkosa
metodologi statistik. “Sampai saat ini metodologi mengenai parameter
cluster, kelompok, responden, dan teknik wawancara yang dilakukan tidak
diketahui oleh publik,” ujar Hari, awal bulan lalu.
Dodi mengaku siap jika metodologi surveinya, yang salah satunya
menghasilkan temuan bahwa pemilihan presiden bakal berlangsung satu
putaran, diaudit oleh publik. Dia menjamin pertanyaan di lapangan tak
menggiring responden. “Kami bisa tunjukkan,” ujarnya.
Direktur Lembaga Riset Informasi Johan O. Silalahi, yang menjadi
konsultan Jusuf Kalla-Wiranto, punya pendapat lain soal kemungkinan
audit itu. Dia mengatakan dalam setiap hasil survei terdapat distorsi.
“Kalau dicari-cari, pasti ada saja yang bisa dipertanyakan,” kata dia.
Benarkah?
Menurut Joe Hansen, yang nasihat- nasihat politiknya ikut mengantar
Barack Obama ke kursi Presiden Amerika Serikat, sebaiknya para kandidat
presiden tak terganggu oleh perang angka survei. “Kunci keberhasilan
kampanye ada pada pesan yang jelas dan bisa dipercaya oleh publik,”
ujarnya dalam diskusi “Opini Publik dan Strategi Kampanye”, yang
diadakan Perhimpunan Lembaga Survei (Persepsi), Februari lalu, di Hotel
Sari Pan Pasifik, Jakarta.
Mantan Direktur Eksekutif Komite Kampanye Senator Partai Demokrat (DSCC)
ini juga menyarankan agar politikus tidak kebakaran jenggot oleh hasil
survei dan polling. Bagi Hansen, angka-angka itu hanya menggambarkan
kondisi masyarakat di satu penggalan waktu yang akan terus berubah.
“Menanggapi polling bukanlah taktik yang cerdas,” ujarnya. “Polling soal
siapa kandidat yang tengah unggul dan pemberitaannya hanyalah omong
kosong yang tak perlu ditanggapi.”
Ini tak berarti hasil survei dan polling tidak penting. Tapi polling
yang penting untuk dilakukan bukan tentang popularitas kandidat. “Yang
bermanfaat bagi politikus adalah survei soal opini publik tentang
berbagai isu dan karakter para pemilik pendapat itu,” ujarnya.
Dari hasil survei seperti itulah, Hansen melanjutkan, politikus bisa
melihat siapa khalayak yang bisa dipengaruhinya, siapa yang akan
mendukung sikap politiknya, dan bukannya mengubah pandangan politiknya
sehingga sesuai dengan opini populer. “Percuma saja mempengaruhi orang
yang sudah punya sikap. Jadi sasarlah mereka yang belum menentukan
sikap,” kata dia.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/03/Laporan_Khusus/krn.20090703.169875.id.html
Dan Pemenangnya... Sigi
Written By gusdurian on Minggu, 05 Juli 2009 | 15.21
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar