SIAP MENANG SIAP KALAH
ImageKetegangan pagi ini telah menghantui banyak pihak karena
memikirkan siapa yang menjadi pemenang dalam pemilu presiden.Apakah
pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto? Apakah pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono atau pasangan Jusuf Kalla- Wiranto?
Akhir dari sebuah permainan ada pemenangnya, itu sudah pasti.Ada yang
kalah, itu pun sudah pasti.Yang dinyatakan sebagai pemenang merasa
bergembira, tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun yang perlu dikritisi
di sini adalah bagaimana mereka yang berada di pihak yang kalah?
Siapkah menerima kekalahan?
Dalam konteks berdemokrasi, sebenarnya tidak perlu ada yang
dikhawatirkan, apakah yang kalah, apalagi yang menang.Kesadaran
berdemokrasi yang tinggi secara otomatis akan menyadarkan para elite
untuk menjaga keharmonisan karena masing-masing harus bisa saling
menghargai dan menghormati satu sama lain. Baik penghormatan yang
menang terhadap yang kalah; maupun sebaliknya, yang kalah bisa
mengakui yang menang. Tradisi demokrasi yang sangat baik bisa dilihat
bagaimana ketika Amerika Serikat menggelar pemilu presiden.
Kedua kandidat capres saat itu, Barack Obama dan John McCain, terlibat
persaingan yang sangat sengit saat berkampanye. Keduanya saling
serang, bahkan serangannya sampai menjurus ke masalah pribadi, hingga
menyentuh urusan SARA.Perdebatan yang sama juga dilakukan cawapres
Obama, Joe Biden, dan cawapres McCain, Sarah Palin. Yang menyaksikan
perdebatan mereka merasakan betapa panasnya mereka saling serang.
Namun, saat pemilu presiden digelar dan Obama dinyatakan sebagai
pemenang, baik McCain maupun Sarah Palin menunjukkan sikap yang sangat
demokratis dengan menelepon Obama untuk memberikan ucapan selamat atas
kemenangannya. Kedewasaan berdemokrasi terlihat pula saat pengambilan
sumpah Obama sebagai presiden, sejumlah mantan presiden AS, baik dari
Partai Demokrat maupun Republik, bisa datang menyaksikan momentum
bersejarah di sana.
Mereka bisa saling berangkulan, bercengkerama, seolah tidak ada
perbedaan sikap politik. Inilah yang bisa disebut bahwa tradisi
demokrasi politik di Amerika, sepanas apa pun prosesnya, selalu
berakhir dengan happy ending. Yang menang tidak merasa merendahkan
yang kalah, yang kalah tetap bisa mengakui dan menghormati pemenang.
Dalam praktik demokrasi di Indonesia, sebenarnya tidak perlu
dikhawatirkan bahwa akan terjadi proses yang berakhir dengan deviasi
yang terlalu jauh dari potret kedewasaan berdemokrasi kita.
Potensi membaiknya demokrasi kita lebih sehat bisa dilihat dengan
jelas bagaimana ketiga kandidat presiden,baik SBY maupun Kalla yang
setiap kali hadir dalam momen debat terlibat saling serang, namun pada
saat jeda keduanya bisa saling berangkulan dan berjabat tangan. Di
luar arena debat, keduanya yang sama-sama masih berstatus sebagai
presiden dan wakil presiden dan tetap bisa hadir bersamaan di setiap
acara-acara kenegaraan.
Hal serupa terlihat pada SBY dan Megawati yang sejak awal terkesan
tidak bisa dipersatukan, tetapi dalam momen debat keduanya bisa saling
sapa dan sesekali terlibat pembicaraan.Potret ini sudah cukup
menggambarkan bahwa kecenderungan demokrasi kita jauh lebih baik. Yang
diharapkan,proses demokrasi yang baik ini bisa terus berlanjut sampai
akhir pelaksanaan pilpres.
Siapa pun yang menang tetap bisa menghormati yang kalah, dan yang
menjadi pihak yang kalah bisa bersikap legowo dengan menunjukkan
kedewasaan: mengakui pemenang.Simbolisasi demokrasi yang sehat, yang
sangat diperlukan di sini, adalah ketika proses penghitungan akhir
selesai dan diketahui ada pemenangnya, pihak yang kalah bisa dengan
jiwa besarnya mengangkat telepon menghubungi pemenang untuk memberi
ucapan selamat.
Akan lebih baik lagi bagi kedewasaan berdemokrasi apabila
antarkandidat bisa saling bersilaturahmi untuk memberi ucapan selamat
sambil berangkulan.Ketika hal ini bisa dilakukan oleh tiga kandidat
yang kini terlibat persaingan, pesannya menjadi sangat besar bagi
seluruh rakyat Indonesia, betapa indahnya dan dewasanya demokrasi
kita. Kedewasaan berdemokrasi ini sangat diperlukan agar, sistem
kenegaraan kita tidak setback.
Apa yang terjadi ketika yang kalah tidak merasa cukup puas, kemudian
mengambil langkah di luar akal sehat, tatanan demokrasi yang sudah
dibangun cukup lama akan runtuh kembali.Tidak hanya tatanan demokrasi,
tatanan ekonomi secara otomatis akan ikut terganggu karena keduanya
memiliki hubungan kausalitas yang sangat kuat. Seperti yang terjadi
dua hari sebelum pilpres ini digelar,sebuah informasi telah menyebar
bahwa pilpres akan berakhir chaoskarena putusan Mahkamah Konstitusi
yang membolehkan penggunaan KTP/paspor untuk memilih.
Dampak dari berita yang menyebar itu memberi efek cemas bagi sebagian
kelompok, sehingga mereka memilih pergi ke luar negeri karena takut
akan terjadi kerusuhan. Ketiga kandidat dan pasangannya memiliki
tanggung jawab moral untuk menjaga kedewasaan berdemokrasi. Ketika
salah satu ada yang tidak sepakat, dampaknya sangat besar, tidak hanya
terhadap nilai-nilai demokrasi itu sendiri, tetapi juga terhadap
kelompok masyarakat yang ada di lapisan bawah.
Mereka sangat rentan dan sensitif terhadap berbagai isu yang tidak
produktif, sehingga mudah disulut untuk melakukan tindakan destruktif.
Kekhawatiran inilah yang harus dijaga oleh setiap kandidat, para tim
sukses, dan kelompok-kelompok pendukungnya. Bukankah setiap kandidat
(menang ataupun kalah) ingin tetap dikenang sebagai seorang demokrat
dan negarawan sejati? Mengutip James Freeman Clarke, seorang demokrat
dan negarawan sejati adalah memikirkan generasi yang akan datang.
Berbeda dengan seorang politisi yang hanya memikirkan pemilu dan
pemilu. Akhirnya, yang harus diikrarkan di sini adalah kita semua
mencintai Indonesia, dan Indonesia lima tahun mendatang harus lebih
baik. (sururi alfaruq)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253130/38/
SIAP MENANG SIAP KALAH
Written By gusdurian on Rabu, 08 Juli 2009 | 14.37
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar