Refleksi Hari Antinarkoba Sedunia, 26 Juni 2009
*Say Yes to Life!*
Oleh: Endang Suryadinata*)
''/Crime is eternal - as eternal as society/'' (Kejahatan adalah abadi,
seabadi masyarakat -kriminolog Frank Tannembaum).
Adagium di atas serasa tepat untuk menggambarkan kejahatan narkoba, baik
di level gobal, nasional, maupun lokal yang justru kian menggurita dari
masa ke masa. Omzet maupun korban narkoba pun benar-benar membuat geram
sekaligus geleng-geleng kepala kita semua.
Di desa-desa Jawa Timur pun, peredaran narkoba sudah marak.
Distributornya dengan barang bukti 15.000 pil koplo baru saja dibekuk
Direktorat Reserse Narkoba Polda Jatim /(Jawa Pos, 22 Juni 2009)./
Di tengah gegap gempita kampanye menjelang hajatan Pilpres 8 Juli 2009,
para produsen, bandar, dan distributor dalam jaringan penjahat narkoba
jelas mendapatkan berkah. Sebab, perhatian aparat keamanan pasti
melemah, semua terfokus menyukseskan pilpres.
*Respons Sigap*
Berkaitan dengan itu, Hari Antimadat atau Antinarkoba tiap 26 Juni yang
ditetapkan PBB sejak 1987 bisa dijadikan /warning/ bahwa narkoba tidak
bisa disepelekan. Sebab, narkoba berpotensi kuat menghancurkan bangsa
dan peradaban kita. Narkoba lebih kuat daripada Malaysia atau musuh yang
kelihatan lainnya. Untuk itu, ajakan Badan Narkotika Nasional (BNN)
menyalakan lampu mobil atau motor pada Hari Antinarkoba, misalnya,
membutuhkan respons yang lebih sigap, tau lebih sekadar seremoni belaka.
Ajakan menyalakan lampu kendaraan atau gerakan simbolis yang lain harus
dimaknai bahwa kita memang tengah menghadapi bahaya besar. Maka, kita
perlu tetap menerapkan siaga satu dalam setiap keadaan, terkait narkoba.
Sayang, ajakan itu dalam beberapa tahun terakhir tampak tidak direspons
dengan antusias.
Sikap tidak antusias atau responsif jelas memudahkan para penjahat
narkoba untuk beraksi. Tidak heran, negeri ini akhirnya dikenal sebagai
surga bagi para penjahat narkoba. Meskipun, dampaknya menjadi neraka
bagi para korban dan keluarganya. Bayangkan, tiap hari ada 40 orang mati
sia-sia karena mengonsumsi narkoba. Dan, kebanyakan adalah usia muda
atau produktif.
Jumlah pecandu narkoba sudah 3,2 juta jiwa. Jika tiap hari seorang
menghabiskan Rp 300.000, uang belanja narkoba mencapai Rp 960 miliar per
hari (BNN, 2008).
Makin tinggi omzet dan banyaknya korban narkoba jelas dipicu oleh banyak
faktor. Salah satu di antaranya adalah lemahnya penegakan hukum,
meskipun sudah ada UU Psikotropika. Seperti diketahui, kita sudah
memiliki UU Nomor 8/1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic
Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971).
Kemudian, UU itu disempurnakan menjadi UU Nomor 5/1997 tentang
Psikotropika. Banyak kalangan menilai, UU itu mandul atau banci karena,
misalnya, hukuman untuk pembawa satu butir ineks sama dengan membawa
seribu ineks. Jadi, bukan salah hakim yang memutuskan hukuman terlalu
ringan, tapi undang-undangnya yang memang tidak menimbulkan efek jera
sekali.
Memang, hukuman mati sudah dicantumkan dalam UU No 22 Tahun 1997.
Tetapi, perumusannya sangat hati-hati sehingga ujung-ujungnya para
pelaku utama di balik bisnis narkoba jarang dieksekusi mati.
Seharusnya hukum negeri ini berani mencontoh hukum di Tiongkok, yang
berani menghukum mati para bandar narkoba di hadapan umum dengan harapan
menimbulkan efek jera. Jika hukum kita hanya menjadi ''macan kertas'',
ke depan jelas akan banyak anak-anak bangsa menjadi korban narkoba.
Negeri kita pun bisa diam-diam hancur dari dalam karena banyak warga
menjadi korban narkoba.
*Belajar dari Sejarah*
Pada masa lalu, salah satu cara penjajah Belanda untuk melemahkan daya
juang bangsa ini agar tak memberontak ialah memanfaatkan narkoba (dalam
hal ini candu). Menurut James R. Rush dalam bukunya /Opium to Java/,
pada 1677, VOC manandatangani perjanjian dengan Raja Mataram Amangkurat
II yang isinya pemberian monopoli bagi VOC untuk mengimpor opium ke
wilayah Mataram serta monopoli untuk mengedarkannya. Sejak saat itu,
banyak warga kita kecanduan berat pada candu.
Anehnya, hanya sedikit di antara pejabat atau warga Belanda yang
''nyandu''. Misalnya, menurut laporan tahunan /Departemen van Landbouw,
Nijverheid en Handel / (Departemen Perkebunan, Industri, dan
Perdagangan) pada 1929, tidak ada satu pun orang Eropa di Kota Surabaya
yang mengisap opium. Sedangkan penduduk pribumi yang mengisap opium
sekitar 2.205 orang dan penduduk Tionghoa 1.369 orang.
Studi krimonologi sudah menunjukkan, kejahatan narkoba amat sulit
dihilangkan dari masyarakat. Yang masih mungkin bisa dilakukan negara
dan masyarakat adalah mengurangi atau membatasinya. Tidak heran. di
Belanda, narkoba justru dilegalkan di sebagian tempat hiburan. Tentu
saja, kondisi negeri ini berbeda dengan Belanda sehingga mustahil
melegalkan barang itu.
Akhirnya, penulis hanya bisa berharap agar institusi keluarga dan agama
berdiri di garda depan pemberantasan narkoba. Jika nilai-nilai agama dan
kecintaan kepada keluarga terpatri dalam hidup, dan bahwa hidup ini
sekadar pinjaman dari Tuhan sehingga tak layak disia-siakan, masih ada
harapan melawan narkoba. Kalau perlu, segenap anak bangsa berkoalisi
setiap saat untuk melawan narkoba. /Say No to Drugs, Say Yes to Life/. *(*)*
/*). Endang Suryadinata, pemerhati masalah bangsa, tinggal di Belanda/
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Refleksi Hari Antinarkoba Sedunia, 26 Juni 2009
Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 10.39
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar