BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Perjuangan Melawan Lupa

Perjuangan Melawan Lupa

Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 10.30

/Perjuangan Melawan Lupa/

*Rachland Nashidik*
DIREKTUR EKSEKUTIF IMPARSIAL

Calon wakil presiden Prabowo Subianto membantah jika disebut pernah
memiliki kewarganegaraan Yordania. Sebuah tim hukum kabarnya sudah
dibentuk oleh kubu Mega-Pro untuk mengadukan saya ke polisi. Tapi apa
saja bisa mereka lakukan, kecuali menuduh saya melakukan fitnah dan
kampanye hitam. Saya hanya ingin orang-orang Indonesia tidak mudah
melupakan sejarah. Apa yang saya lakukan di dalam /talk show/ malam itu
adalah bertanya. Dengan menyitir berita di sebuah harian nasional
tentang pemberian kewarganegaraan Yordania kepada Prabowo. Tujuannya
mempersoalkan: mengapa dia absen dari Tanah Air saat Presiden B.J.
Habibie memerintahkan pemeriksaan atas dugaan keterlibatannya di dalam
kerusuhan Mei 1998?

Lagi pula ini adalah masa kampanye. Ini waktunya setiap calon pemimpin
mengatakan apa saja yang bisa membuat mereka kelihatan lebih unggul dari
yang lain. Tapi ini juga masa bagi pemilih untuk menilai para calon
pemimpin. Politik adalah cara untuk mewujudkan kepentingan publik. Kita
semua harus terlibat aktif di dalam wacana publik untuk memastikan: para
pemimpin yang kelak terpilih adalah yang memenuhi standar tertinggi.
Bukankah kepada mereka kita akan mempercayakan hidup kita sebagai warga
negara?

Sebenarnya, pada kurun waktu 1998-2000, pemberian kewarganegaraan
Yordania kepada Prabowo sudah menjadi percakapan publik. Media massa, di
dalam dan luar negeri, gencar memberitakan. Tapi semua itu adalah bagian
dari keprihatinan umum atas ketidakmampuan pemerintah menghadirkan
Prabowo untuk diperiksa. Lagi pula berpindah kewarganegaraan adalah hak
individual yang dijamin kebebasannya oleh banyak konstitusi. Soalnya
mendadak sontak berbeda karena hari ini Prabowo mencalonkan diri sebagai
wakil presiden. Konstitusi kita mewajibkan setiap calon presiden dan
wakilnya tidak pernah mendapatkan kewarganegaraan lain. Maka sekarang
ada dua hal yang harus kita uji dari cawapres Prabowo: komitmennya
kepada perlindungan hak-hak asasi manusia dan kejujurannya kepada
konstitusi.

Bagi saya, apakah Prabowo pernah memiliki kewarganegaraan Yordania
adalah sebuah misteri. Prabowo mengakui ditawari oleh sahabatnya,
Pangeran Abdullah, namun menolak. Misterinya, tidak ada satu pun media
di dalam dan luar negeri--sekurangnya yang saya periksa--menulis Prabowo
"ditawari" kewarganegaraan Yordania. Semuanya menulis "diberi". Berusaha
menjawab teka-teki itu, sebuah harian nasional melakukan investigasi.
Laporannya mengejutkan: kewarganegaraan Yordania sesungguhnya hanya bisa
diberikan bila diminta. Lebih jauh, kewarganegaraan Yordania diberikan
serentak kepada Prabowo dan beberapa individu kebangsaan lain setelah
sidang Dewan Kabinet pada akhir November 1998 memeriksa permohonan
mereka. Hasilnya kemudian dikukuhkan oleh dekrit kerajaan pada 10
Desember 1998 dan diberitakan oleh koran Yordania, /Al-Ra'i/, keesokan
harinya.

Kantor berita /Xinhua/ pada 23 Desember 1998 bahkan menulis begini:
"/According to reports from Amman, the office of Prime Minister Fayez
Tarawneh has confirmed that Prabowo's bid for citizenship had been
endorsed by a Royal Decree on December 10/." Laporan itu secara tidak
langsung dikonfirmasi oleh Hashim Djojohadikusumo. Dia bilang,
saudaranya telah diberi kewarganegaraan Yordania, namun tidak akan
menyerahkan kewarganegaraan Indonesianya. Hashim menyebut pemberian itu
sebagai "penghargaan internasional".

Yordania adalah negara monarki. Namun, undang-undang kewarganegaraannya
memiliki aturan yang jelas mengenai prosedur pemberian kewarganegaraan.
Itu hanya bisa diberikan atas permintaan. Syaratnya, si pemohon sudah
tinggal sekurangnya empat tahun di Yordania. Namun, kuasa raja bisa
mengabaikan syarat tinggal empat tahun itu. Yordania juga tidak mengakui
dwikewarganegaraan.

Pada sisi lain, dan ini kontroversinya, Menteri Luar Negeri Ali Alatas
dilaporkan pernah meminta penjelasan tentang pemberian kewarganegaraan
Prabowo kepada pemerintah Yordania. Menurut dia, Kementerian Dalam
Negeri Yordania tidak menemukan /file/ Prabowo dalam registrasi
kewarganegaraan dan paspor. Duta Besar Yordania di Indonesia juga
menyatakan serupa. Pertanyaannya: bagaimana keterangan Kementerian Dalam
Negeri dan Duta Besar Yordania bisa bertolak belakang dengan keterangan
kantor Perdana Menteri?

Prabowo sendiri sudah meninggalkan Indonesia sejak Agustus 1998, lima
hari setelah keluar keputusan DKP yang menghukumnya dengan
menghentikannya dari dinas militer. Ia tidak pernah kembali ke Indonesia
sampai November tiga tahun kemudian. Fadli Zon dan Hashim
Djojohadikusumo dalam beberapa wawancara mengakui sejak itu Prabowo
berada di Amman. Sang patriot tidak pulang ke Tanah Air ketika negara
memerlukan kehadirannya untuk diperiksa sebagai tindak lanjut temuan Tim
Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998.

Demi ketaatan pada konstitusi, fakta-fakta itu membuat kita di hari-hari
menjelang pemilu presiden ini perlu bertanya: sesungguhnya, pernahkah
Prabowo mendapat kewarganegaraan Yordania? Tapi agaknya kita tidak punya
pilihan selain kembali menerima misteri sebagai jawaban. Persis seperti
misteri tentang siapa yang harus bertanggung jawab dalam kerusuhan Mei
1998, yang meninggalkan korban-korban tewas, luka, diperkosa, dan
trauma. Kita tidak boleh lupa.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/25/Opini/krn.20090625.169148.id.html
Share this article :

0 komentar: