BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pro-Kontra Neoliberalisme Ekonomi

Pro-Kontra Neoliberalisme Ekonomi

Written By gusdurian on Minggu, 21 Juni 2009 | 10.46

Pro-Kontra Neoliberalisme Ekonomi

*Dr Andi Irawan*

# EKONOM, TINGGAL DI BOGOR

Melihat mazhab ekonomi neoliberalisme hanya dari kacamata positivisme,
maka tidak ada hal yang perlu kita kritik. Betapa tidak, mazhab ini bila
dilihat secara netralitas etis tidak lebih hanya prinsip yang menghargai
proses kapitalisasi oleh pemilik modal, distribusi barang dan jasa,
serta pergerakan uang dan modal dalam dan luar negeri melalui mekanisme
pasar, stabilisasi makroekonomi dengan cara menjaga inflasi, dan
pertumbuhan yang kondusif.

Mazhab ini baru menarik untuk dikritik ketika kita berbicara dari
perspektif vested interest yang terlibat di dalamnya. Mazhab ini
sesungguhnya berpihak secara prima kepada kepentingan asing. Ambil
contoh dalam kasus perlunya utang luar negeri untuk mendanai defisit
fiskal yang terjadi. Kalau kita lihat dari kacamata positivisme, tentu
biasa-biasa saja selama digunakan untuk kepentingan produktif, sehingga
pendapatan yang didapat oleh negara dari investasi yang didanai dari
utang tersebut lebih tinggi dari bunga utang.

Tapi, pada faktanya, utang adalah pintu masuknya vested interest asing
ke dalam negeri. Tentu kita masih ingat bagaimana ketika kita terpaksa
meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) pada krisis ekonomi
1997-1998. Melalui LOI (letter of intent), IMF telah membuka akses yang
sebesar- besarnya bagi pemilik modal asing masuk ke Indonesia melalui
akselarasi liberalisasi perekonomian Indonesia yang begitu intensif. Hal
itu terjadi karena imbas persyaratan kesepakatan bantuan IMF terhadap
Indonesia, di mana Indonesia diharuskan melakukan deregulasi dan
liberalisasi pada semua sektor perekonomian bukan hanya untuk bidang
moneter dan makroekonomi, tapi juga bidang-bidang seperti perbankan,
pertanian, corporate restructuring, dan industri.

Berbeda kalau kita berbicara tentang “ekonomi kerakyatan”. Maka
sesungguhnya mazhab ini memang interesnya berpihak kepada ekonomi dalam
negeri dan rakyat kecil melalui kebijakan-kebijakan yang populis. Tapi
yang perlu kita ingatkan adalah implementasi mazhab ini tidak otomatis
akan menguntungkan ekonomi nasional. Mengapa?

Pertama, para elite politik yang ingin mengaktualisasi mazhab ekonomi
ini umumnya mudah terjebak pada kebijakan- kebijakan yang berorientasi
miopik yang tidak substantif menyejahterakan rakyat, tapi hanya bersifat
karitatif. Ambil contoh sederhana seperti ini. Peningkatan kualitas
sumber daya manusia dengan bekal ilmu, keterampilan, dan teknologi
dipercaya oleh para ekonom sebagai penentu penting keberlanjutan dan
kualitas pertumbuhan yang akan dimiliki oleh suatu negara. Tapi
masalahnya kebijakan yang seperti ini hasilnya baru dirasakan setelah
15-20 tahun ke depan. Padahal yang akan menikmati hasil nyatanya berupa
parameter- parameter ekonomi cemerlang, seperti pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabil dan berkelanjutan, tingkat pengangguran yang rendah,
kehidupan demokrasi yang berkualitas, serta masyarakat yang egaliter dan
kreatif, semua itu akan dinikmati oleh pemerintahan 15-20 tahun
sesudahnya. Padahal sang elite negara itu harus mempertanggungjawabkan
secara sosial-politik kepada rakyat setiap tahun. Sehingga yang paling
menguntungkan bagi sang elite adalah mengambil kebijakan populis yang
miopik, seperti bantuan langsung tunai dan subsidi pupuk, yang langsung
bisa diterima rakyat sehingga bisa ia terima imbalannya dalam bentuk
elektabilitas dan akseptabilitas publik dalam jangka pendek.

Kedua, mazhab ekonomi kerakyatan ini berkonsekuensi pada kebijakan
fiskal defisit karena government spending lebih besar dari anggaran yang
ada. Untuk menutup defisit fiskal tersebut, tidak ada pilihan selain
melakukan pencetakan uang yang berimplikasi pada hiperinflasi atau
berutang. Pilihan pencetakan uang tidak akan dipilih karena kita sendiri
punya pengalaman yang sangat pedih menjelang kejatuhan Orde Lama dari
dampak tidak terkontrolnya pencetakan uang. Pilihannya tinggal utang,
dan ketika pilihan ini yang diambil, kita akan masuk dalam perangkap
neoliberal kembali.

Sehubungan dengan perdebatan prokontra neoliberalisme ekonomi yang
terjadi menjelang pemilihan presiden 2009, ada satu poin yang ingin saya
garis bawahi, yakni bahwa neoliberalisme masih menjadi realitas
Indonesia lima tahun ke depan, siapa pun presiden dan wakil presidennya
pada 2009-2014 tersebut. Saya meyakini itu karena ada tiga rezim
neoliberal ekonomi yang masih tidak bisa dilepaskan diri kita dalam lima
tahun ke ke depan. Pertama, Sistem Rezim Devisa Bebas yang kita anut
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa. Dampak negatif dari sistem ini menjadikan investasi portofolio
yang spekulatif dengan mudah keluar-masuk ekonomi kita yang berimplikasi
pada rentannya ekonomi nasional terkena fenomena ekonomi gelembung.

Kedua, Rezim Nilai Tukar yang mengambang bebas di mana nilai tukar mata
uang kita bergerak sesuai dengan kekuatan pasar. Sistem regime exchange
rate yang kita anut sejak 1997 memang sangat kondusif terhadap spekulasi
perusak stabilitas dan munculnya bermacam gangguan terhadap pasar uang.

Ketiga, perdagangan valuta asing di Indonesia adalah yang paling bebas
di dunia. Siapa pun bisa membeli-menjual valas terhadap rupiah, berapa
pun besarnya dan untuk kepentingan apa pun. Kita tidak tahu kepentingan
pembelian valas untuk kepentingan real business atau untuk kepentingan
spekulasi (pembelian valas tanpa ada underlying transaction). Karena
dalam kondisi realitas yang seperti itu, menurut saya, yang terpenting
bagaimana mudarat dari keniscayaan neoliberal itu kita tekan seminim
mungkin dengan mengontrol dan mengkritik kebijakan-kebijakan negara yang
berimplikasi pada kerugian rakyat bangsa dan negara.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/27/Opini/krn.20090527.166316.id.html
Share this article :

0 komentar: