BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pilpres dan Sindikasi Politik

Pilpres dan Sindikasi Politik

Written By gusdurian on Minggu, 21 Juni 2009 | 10.45

Pilpres dan Sindikasi Politik
Pilpres da Oleh Max Regus Direktur Parrhesia Institute Jakarta


S EKADAR menengok ke belakang, publik S baru saja menikmati lelucon
politik me S nyedihkan. Sesudah menunjukkan ‘ke S galakan’ luar biasa,
berhadapan dengan S pilihan Susilo Bambang Yudihoyono atas Boediono,
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berdiam diri begitu beberapa saat
sebelum deklarasi pasangan ini. Tidak salah ketika Media Indonesia
(16/5) menulis judul berita ‘PKS Akhirnya Menyerah kepada Yudhoyono’
menanggapi posisi akhir PKS dalam koalisi ini. Hanya PKS dan SBY yang
tahu apa yang ada dalam ‘benak politik’ mereka.

Partai politik dan semua tokoh politik dapat mengumbar apa pun dari
kesadaran politik mereka ke hadapan publik. Seperti tameng yang selalu
mereka tampilkan, semuanya bergerak dalam ranah demokrasi. Namun, proses
membangun koalisi politik pascapileg ini serentak merefl eksikan
kenyataan betapa kekuatan politik cenderung hendak membangun super
dominasi terhadap publik.

Padahal kalau kita mencermati proses pembentukan kekuasaan di Indonesia
selama ini jelas kelihatan bahwa janji politik hampir tidak memiliki
korelasi ‘positif’ dengan kondisi konkret masyarakat. Kekuasaan terus
meraih kegemilangan, sedangkan kemiskinan tetap mengurung sebagian besar
warga masyarakat. Beberapa malam lalu, saat menyaksikan deklarasi
SBYBoediono melalui tayangan televisi, sebuah pesan singkat menyusup
dalam nurani, betapa jauh kekuasaan dari rengkuhan rakyat kecil!
Kemeriahan yang terungkap dari momentum politik itu mengirimkan
pemahaman yang selalu sama bahwa rakyat kecil ‘kemungkinan’ tidak punya
tempat dalam kekuasaan.

Koncoisme Pilpres menjadi variabel vital yang menentukan arah Indonesia
masa depan. Semua kekuatan politik utama niscaya melakukan metamorfosis
sehingga bisa dianggap ‘cocok’ dengan kebutuhan zaman. Terutama, isu
‘perubahan’ paradigma demokratisasi yang menjadi ‘tren’ gerakan politik
sekarang ini. Demokratisasi yang tidak menjemukan. Demokratisasi yang
lebih cepat untuk menghasilkan strategi pembangunan yang lebih baik.
Alasan semacam itu bisa menjadi salah satu ‘motivasi’ penting munculnya
‘perkoncoan’ pada semua grup politik.

Dalam konteks ini, menarik apa yang ditulis asi Politik Rikard S Katz
dan Peter Mair (1995) dalam Party Politics, Vol 1. No 1, 5-28, bahwa
salah satu bentuk perubahan organisasi partai politik dalam konteks
demokratisasi adalah membangun dan memperluas ‘sindikasi’ politik. Blok
politik utama menegaskan keberadaannya dengan memperkuat jaringan
politik. Sindikasi politik dimaksudkan untuk membatasi kompetisi.

Sekaligus, keinginan meraup mono polistik.

Kekuatan politik membutuhkan momentum untuk membangun ‘sindikasi’
politik semacam ini.

Terlepas dari maksud ‘suci’ semua kekuatan politik untuk menolong bangsa
ini, semua perilaku yang mengacu pada ‘kesepakatan’, atau apa pun
namanya, selalu berorientasi pada dominasi dan hegemoni kekuasaan.
Memang logis bahwa stabilitas kekuasaan akan lebih mudah dibangun dengan
basis politik yang kuat. Namun, sepanjang sejarah Indonesia merdeka,
sindikasi politik hanya menggelembungkan ‘roti kemewahan’ untuk para
penguasa, sedangkan rakyat hanya mendapatkan ‘remah-remah’ tumpah dari
meja para tuan penguasa! Itulah saat paling krusial ketika publik harus
membayar mahal ‘stabilitas’ politik yang dibutuhkan para penguasa dengan
melupa kan isuisu alternatif dan progresif yang mungkin tidak
mendapatkan ruang apresiasi politik. Bangunan kekuasaan yang terlampau
kuat dengan basis ‘sindikasi’ politik berpeluang mengungkapkan ‘super
dominasi’ terhadap rakyat.

Intrusif Penancapan kekuasaan merupakan fenomena politik yang amat dekat
dengan implikasi ‘sindikasi’ politik ini. Analisis R Hay (1995), bahwa
kekuatan politik utama ‘pandai’ merancang metode kekuasaan
persuasif-manipulatif amat penting diletakkan dalam konteks
‘kesepakatan’ politik yang dibentuk semua kekuatan politik sekarang ini.

Sesungguhnya, apa yang terjadi tidak lebih daripada sekadar kelihaian
untuk melihat celahcelah paling tepat untuk merebut sumber-sumber
kekuasaan yang jumlahnya semakin terbatas.

Parpol besar akan berusaha mendikte partisipasi parpol kecil sehingga
tidak memiliki jangkauan signifikan ke pusat-pusat dukungan politik (massa).

Sinyalemen R King (1986), penting bahwa proses politik (baca, pilpres)
menjadi arena distribusi kekuasaan antara semua grup elite dalam negara.
Konsekuensinya, semua kekuatan politik akan membangun, mempertahankan,
dan memenangkan ‘egosentrisme’. Dalam konteks ini, ambil contoh pileg
lalu, alasan ambang batas dukungan politik pada akhirnya hanya
menguntungkan parpol besar. Kekuatan politik yang bisa bermain dalam
situasi abnormal sekalipun.

Muaranya, perubahan paradigma politik dan demokratisasi cenderung melambat.

Etik Jauh di luar kepentingan mereka yang mau berkuasa, publik harus
memastikan ‘keterpilihan’ politik yang mampu mempresentasikan institusi
politik (kekuasaan) demi kepentingan rakyat. Kita tidak pernah
membutuhkan ajang politik-–seagung dan semahal Pilpres--sekadar fase
penggembira apalagi pengumbaran ambisi politik. Judy Nadler dan Miriam
Sculmann dari Markkula Center for Applied Ethics, Santa Clara
University, menggagaskan basis etik semua proses politik.

Berhadapan dengan publik yang akan menentukan pilihan politik, setiap
kandidat harus menunjukkan kejujuran ‘tiga arah’ dalam membangun
demokrasi dan peradaban politik. Pertama, parpol dan kandidat niscaya
menunjukkan kejujuran internal. Terutama, berkaitan dengan kapasitas dan
integritas moral politik. Kampanye politik, contohnya, bukan ajang untuk
mempercantik diri serentak menyembunyikan kebusukan dengan kosmetika
politik untuk menelikung kesadaran politik publik.

Kedua, parpol dan para kandidatnya harus memiliki ‘kesantunan’ dalam
komunikasi politik dengan blok politik lainnya. ‘Kongsi’ politik tidak
dimaksudkan untuk ‘menafikan’ kehadiran kelompok politik lain dalam
kancah pilpres.

Ruang partisipasi tidak boleh menjadi milik satu parpol yang merasa
telah berjasa bagi bangsa, sembari mengingkari kehadiran elemen-elemen
politik lain.

Ketiga, parpol dan kandidat harus menyadari satu kebenaran bahwa rakyat
adalah pemilik kekuasaan. Publik akan menentukan kandidat paling layak
untuk menjadi wakilnya, dan publik memiliki jalur yang lain untuk
mengontrol perilaku para wakilnya. Kekuasaan bersumber pada rakyat.
Kesahihan kekuasaan tumbuh dari komitmen mengutamakan kepentingan rakyat.

Dengan basis ‘etik’, Pilpres 2009 akan mentransendensikan
kepentingan-kepentingan asasi rakyat Indonesia melampaui format-format
sindikasi politik yang belum teruji signifikansinya untuk kemaslahatan
publik Indonesia. Atau sebaliknya, ‘sindikasi’ politik Pilpres 2009 akan
memerangkap bangsa ini menuju kehancuran masif.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/27/ArticleHtmls/27_05_2009_022_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: