Nasib Malang Negeri Pengutang
Oleh Prof Dr Hendrawan Supratikno Guru Besar FE UKSW, UI, UPH
K ALAU mau jujur, kita sesungguhnya merupakan salah satu contoh bangsa
yang paling malang di dunia
Bangsa yang mendapat anugerah tanah air demikian kaya ternyata terus
berkutat dalam jebakan keterbelakangan tak berkesudahan
Ekonom Jepang, Akamatsu Kaname (1935, 1962), pernah membayangkan China,
India, dan Indonesia, masuk kelompok negara yang akan berhasil dalam
proses industrialisasi di belakang Jepang yang berada di deretan
terdepan gugus negara yang maju beriringan membentuk pola angsa terbang
Teori ‘angsa terbang’ (the flying geese theory) ini mendapat bukti
pendukung dalam kasus China dan India--yang sering disingkat
Chindia--tetapi masih menanti kabar baik menyangkut Indonesia
Gunnar Myrdal menulis buku yang menghebohkan berjudul Asian Drama (1968)
dan memasukkan sejumlah negara di kawasan Asia sebagai negara-negara
miskin yang sedikit memiliki harapan
Namun, analisis dan prediksi peraih Nobel Ekonomi 1974 ini meleset dalam
kasus China dan India, tetapi seperti terus dibuat relevan dengan posisi
Indonesia yang nyaman dalam status-quo
Bung Karno menyampaikan pleidoi Indonesia Menggugat (1930) dan
mencita-citakan Indonesia merdeka agar tidak menjadi ‘bangsa kuli dan
kuli bangsa-bangsa’. Lebih dari tujuh puluh lima tahun kemudian, arus
deras globalisasi ekonomi--yang pada masamasa itu lebih dikenal sebagai
kekuatan nekolim (neokolonialisme-imperialisme)--terus menjadikan
Indonesia dalam posisi marginal. Di bawah panji-panji globalisasi, yang
intinya merupakan mekanisme pasar yang diterapkan secara meneluruh di
segala penjuru bumi, Indonesia terus mengalami proses ‘gombalisasi’ dan
‘gembelisasi’
Salah satu kisah malang tersebut bisa kita simak dari cerita soal utang.
Kemalangan kita nyaris sempurna ketika minggu lalu (9/6) Prof Dr Anwar
Nasution, dalam kapasitas sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
menyampaikan temuan audit bahwa dana yang digunakan pemerintah untuk BLT
(bantuan langsung tunai) berasal dari utang. Bahkan utang tersebut
termasuk utang komersial berbunga tinggi
Berita tersebut, meski telah disanggah oleh pihak pemerintah dengan
menyatakan dananya diambil dari anggaran untuk subsidi dalam APBN, tetap
menghebohkan
Soalnya defi sit APBN saat ini juga ditutup dari utang. Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, yang memayungi pemberian BLT,
juga sebagian besar didanai oleh Bank Dunia
Bila BLT benar-benar didanai utang komersial, yang terjadi bukan hanya
‘korupsi kebijakan’ seperti yang dinyatakan dalam Editorial Media
Indonesia (12/6), melainkan sebuah ‘tragedi kebijakan’. Rakyat dari
sebuah negara yang merdeka sedang diajak secara langsung untuk menjadi
‘pengemis global’
Antrean BLT yang oleh sebagian dinilai memprihatinkan justru bisa
menjadi tontonan, bahwa dana utang tersebut benar-benar disalurkan
Salahkah berutang? Strategi pembiayaan menggunakan utang, bila memenuhi
sejumlah kriteria, sebenarnya merupakan strategi yang tidak keliru.
Kriteria itu antara lain berbunga rendah, berjangka
waktu lama, diperoleh tanpa disertai konsesi atau kompensasi yang
merugikan pihak penerima, digunakan secara produktif, dan dapat dilunasi
dari hasil pemanfaatan utang tersebut
Itu sebabnya mudah saja untuk menilai apakah strategi utang yang selama
ini kita jalankan tepat atau tidak. Bila utang ditarik dengan bunga
tinggi, berjangka pendek, diperoleh dengan konsesi kebijakan, digunakan
untuk hal-hal yang konsumtif, banyak dikorup, dan tidak jelas dari
sumber mana akan dibayar kembali, dipastikan utang merupakan pil
penenang yang mematikan
Data jumlah utang pemerintah yang kita dapat memang menggiriskan. Jumlah
utang dalam empat tahun terakhir ini meningkat pesat, dari Rp1.204
triliun (2004) menjadi sekitar Rp1.650 triliun (2008). Bunga surat
berharga negara (SBN), yang secara rajin diterbitkan untuk menggantikan
utang lama yang jatuh tempo, juga
memiliki bunga yang jauh di atas bunga yang biasa didapat negara-negara kaya
Dalam kaitan bunga tinggi yang harus dibayar, Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati menyampaikan kekesalan
Karena, itu akibat ulah lembaga pemeringkat (rating agency) yang masih
menganggap Indonesia sebagai negara penuh risiko (13/6). Menkeu lupa
bahwa risiko berbanding lurus dengan kekhawatiran akan terjadinya
financial distress (kesulitan keuangan). Jadi, bunga tinggi karena kita
sudah memiliki utang dalam jumlah besar
Porsi utang jangka pendek, menurut laporan Bank Indonesia, juga
cenderung meningkat
Ditambah dengan investasi portofolio yang setiap saat bisa keluar (hot
money), kondisi ini mengindikasikan kerentanan
sektor keuangan kita
Otoritas fiskal selalu menyatakan bahwa jumlah utang kita masih aman.
Ukuran yang biasa digunakan bukan jumlah absolut utang melainkan rasio
utang terhadap produk domes
tik bruto (PDB). Sebelumnya, ukuran yang biasa digunakan adalah
debt-service ratio (DSR), yaitu jumlah bunga dan cicilan pokok utang
sebagai persentase dari perolehan ekspor. Ukuran apa yang digunakan
tergantung angka mana yang terlihat lebih elok
Ukuran yang lebih tepat, seperti jumlah utang per penduduk atau rasio
utang terhadap produk nasional bruto (PNB), jarang dipakai. PNB lebih
tepat karena lebih mencerminkan kemampuan kita. Dalam ukuran PDB,
kepemilikan atau kontribusi asing ikut diperhitungkan. Karena itu, meski
semua aktivitas produktif bangsa ada di tangan asing, jumlah utang akan
tetap dipandang aman
Dalam kondisi demikian, tidak mengherankan apabila energi kreatif kita
terserap un
tuk berurusan dengan utang
Bahkan pernah muncul gurauan, salah satu syarat untuk menjadi Menteri
Keuangan di Indonesia adalah ‘keberanian untuk mengemis utang’
Selain itu, selama ini sedikit
banyak kita juga dibingungkan dengan aneka nama surat utang yang
diterbitkan pemerintah dan berbagai istilah seperti rescheduling,
reprofiling, dan sebagainya, yang secara sederhana sebenarnya ungkapan
lain dari ‘gali lubang tutup lubang’ atau bahkan ‘gali lubang tutup kurang’
Utang dan kedaulatan bangsa Sejarah utang luar negeri kita dimulai
dengan unsur pemaksaan
Sebagai akibat Konferensi Meja Bundar (November 1949), utang pemerintah
Hindia Belanda diambil alih oleh Republik Indonesia Serikat. Sejarah
mencatat, setelah kita mau mengambil alih utang tersebut, Kerajaan
Belanda baru mau mengakui kedaulatan Indonesia (27 Desember 1949)
Dengan demikian, dalam konteks ekspansi kapitalisme global, utang
merupakan instrumen yang lunak tetapi efektif untuk melakukan penetrasi
atau intervensi kebijakan di negara debitur
Pemberian utang yang disertai persyaratan (conditionalities) bisa
dipandang sebagai ‘opsi untuk membeli’ kebebasan
debitur. Debitur bukan hanya dituntut untuk buka-bukaan (transparan),
melainkan juga harus mematuhi arahan sang kreditor
Yang mengherankan, saat krisis ekonomi terjadi dan banyak utang tersebut
macet, hanya negara debitur yang dipersalahkan. Penilaian (assessment)
yang salah dari kreditur sebelum mencairkan dana tidak dipertimbangkan.
Jadi, kita dipaksa berutang lagi untuk membuat utang lama tidak gagal
bayar atau macet. Fakta ini kita saksikan dengan jelas saat-saat kita
menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF)
Pengelolaan utang gaya ‘tambal sulam’ seperti yang selama ini kita
jalankan sudah tidak efektif lagi. Karena, hasil akhirnya hanya tambahan
beban yang dialihkan dari satu generasi ke generasi berikut. Suatu
langkah terobosan yang lebih berani harus dilakukan. Langkah-langkah
tersebut sudah dilakukan negara lain, seperti Nigeria dan Argentina
Kita harus berani melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan utang
luar negeri
Berapa banyak yang dikorup, berapa banyak yang salah sasaran, berapa
banyak yang kurang produktif, berapa banyak yang berhasil dibayar dengan
hasil dari utang itu sendiri, dan berapa banyak bunga yang selama ini
sudah kita bayarkan. Gambaran akurat ini dibutuhkan untuk melakukan
renegosiasi utang
Para kreditor akan terperanjat apabila bunga yang sudah kita bayarkan
ternyata lebih besar daripada jumlah utang pokok yang kita terima.
Kreditor akan terkejut apabila bunga tahunan yang kita bayarkan dalam
APBN ternyata jauh lebih besar daripada kombinasi anggaran untuk
mengatasi kemiskinan. Kreditor akan geleng-geleng kepala apabila utang
per penduduk sudah mencapai sekitar Rp10 juta, yang artinya sama dengan
penghasilan buruh kota yang bekerja penuh selama setahun tanpa makan-minum
Setelah itu, langkah-langkah untuk melakukan moratorium utang dan
pembayaran utang harus dilakukan. Program pembayaran utang tidak bisa
dibebankan kepada rakyat banyak, tetapi dikaitkan secara bijaksana
dengan cadangan dana khusus yang dibebankan kepada para investor yang
memperoleh hak untuk mengelola sumber daya alam strategis. Skedul
pelunasan diatur sesuai dengan kapasitas ekonomi nasional untuk
melunasinya, tanpa mengorbankan kewajiban pelayanan publik yang harus
dijalankan oleh pemerintahan sebuah negara merdeka
Hanya haluan baru, keberanian dan tekad baru, yang akan mengantar
Indonesia masuk ke era baru. Bila tidak, kita masih akan menapaki jalan
panjang kemalangan.***
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/15/ArticleHtmls/15_06_2009_010_002.shtml?Mode=0
Nasib Malang Negeri Pengutang
Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 14.01
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar