BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Perdebatan tentang Utang Pemerintah

Perdebatan tentang Utang Pemerintah

Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 13.44

Perdebatan tentang Utang Pemerintah

PERDEBATAN tentang utang pemerintah kembali mengemuka beberapa hari
terakhir.Berbagai pendapat yang menentang kebijakan pemerintah mengenai
pinjaman gencar disampaikan.

Terlepas dari motif yang ada di belakangnya, rasanya menarik untuk
memberikan klarifikasi tentang posisi pemerintah dalam masalah ini.
Utang pemerintah secara statistik meningkat beberapa waktu terakhir
setelah beberapa tahun berhasil ditahan pada tingkat yang kurang lebih
sama.

Berdasarkan data Departemen Keuangan,posisi utang pemerintah dari tahun
2000 hingga 2004 berada di bawah Rp1.300 triliun. Selama tiga tahun
kemudian, secara berturut-turut, utang pemerintah berada di bawah
Rp1.400 triliun. Baru pada tahun berikutnya, yakni akhir 2008, utang itu
melonjak menjadi Rp1.636 triliun.

Melihat perkembangan ini, kritik yang muncul, pemerintah telah ceroboh
untuk terus membiayai pembangunan dengan menambah utang baru dalam
jumlah besar sehingga sulit ditanggung anak cucu. Yang menjadi
pertanyaan, apakah tuduhan tersebut berdasar? Dari data statistik yang
dikeluarkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan,
lonjakan tajam utang pemerintah lebih disebabkan perkembangan moneter
global,bukan akibat agresivitas pemerintah.

Dibandingkan 2007, utang luar negeri Indonesia bertambah dari USD62,25
miliar menjadi USD66,69 miliar.Peningkatan ini terjadi karena sebagian
besar utang pemerintah menggunakan mata uang yen yang pada akhir 2008
nilai tukarnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) meningkat tajam. Ini
terjadi karena proses deleveraging, perubahan peran mata uang yen.

Mata uang yen semula banyak dipinjam karena bunganya sangat rendah untuk
ditanamkan dalam mata uang lain, terutama dolar Australia yang bunganya
jauh lebih tinggi. Fenomena yang sering dikenal sebagai yen carry trade
tersebut tiba-tiba berbalik sehingga yen, tanpa sebab yang jelas,
menjadi sangat menguat terhadap dolar. Faktor kedua adalah menguatnya
mata uang dolar AS terhadap rupiah.

Jika pada akhir 2007 nilai tukar dolar AS terhadap rupiah sebesar
Rp9.419, pada akhir 2008 nilai tukar dolar AS meningkat tajam menjadi
Rp10.950. Peningkatan nilai tukar mata uang dolar AS ini serta-merta
mengakibatkan kenaikan jumlah utang luar negeri dalam rupiah.Jika nilai
tukar dolar AS terhadap rupiah stabil pada 2008, kenaikan utang luar
negeri yang akan terjadi (dalam rupiah) adalah sebesar Rp41,8 triliun.

Inilah sebetulnya nilai yang lebih disebabkan penguatan mata uang yen
terhadap dolar AS. Sementara itu, peningkatan utang luar negeri yang
disebabkan penguatan mata uang dolar terhadap rupiah adalah sebesar
Rp102 triliun. Apabila dijumlahkan, kedua faktor tersebut mengakibatkan
kenaikan utang sebesar Rp143,8 triliun. Ini merupakan jumlah kenaikan
utang tanpa pemerintah melakukan apa pun.

Mengingat sebagian besar kenaikan utang pemerintah disebabkan perubahan
nilai tukar,dengan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
beberapa minggu terakhir ini kita akan melihat posisi utang luar negeri
pemerintah dalam rupiah juga akan turun.Simetri dengan itu, apakah
kemudian kita perlu memuji pemerintah yang telah berhasil menurunkan
utang secara drastis hanya dalam waktu sebulan dua bulan saja ?

Menilai Kebijakan Utang Pemerintah

Saya adalah mantan staf Bank Indonesia (BI). Secara turuntemurun, ada
warna persaingan antara BI dan Departemen Keuangan. Namun secara tulus
saya mengatakan, pengelolaan utang pemerintah yang dilakukan oleh
Departemen Keuangan sangat profesional dan patut diacungi jempol.

Dalam konteks global, dua hal penting yang menjadi ukuran pengelolaan
keuangan pemerintah adalah tingkat defisit APBN terhadap produk domestik
bruto/PDB (tidak boleh melebihi 3%) serta tingkat utang pemerintah
terhadap PDB (tidak boleh melebihi 60%). Standar tersebut disakralkan
dalam Konstitusi Uni Eropa yang disebut sebagai Maastricht Treaty dan
dalam Undang-undang Keuangan Negara Indonesia.

Untuk kedua hal ini, ternyata Pemerintah Indonesia menunjukkan kinerja
luar biasa. Dalam hal APBN,Pemerintah Indonesia berhasil menurunkan
defisit dan menahannya dalam tingkat yang kecil, yaitu antara 1–2%
PDB.Tahun 2008,defisit APBN berada di bawah 1% PDB. Saya sendiri, dengan
menghitung dari rekening pemerintah di BI dan perbankan, cenderung
menyimpulkan APBN 2008 sebetulnya justru surplus.

Di sisi lain,rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia menunjukkan
kinerja membanggakan. Dari level sekitar 100% pada saat krisis,saat ini
rasio utang mencapai sekitar 30%. Angka ini menunjukkan tren terus
menurun. Sementara itu,negara-negara G-20 yang berasal dari negara maju
memiliki rasio utang di atas 60%.

Amerika Serikat memiliki rasio utang mendekati 100% PDB. Jepang bahkan
sudah melampaui 200% PDB. Dua negara yang menjadi bagian BRIC (Brasil,
Rusia, India, dan China) dewasa ini juga memiliki rasio utang di atas
60%, yaitu Brasil 65% dan India 80%. Dengan melihat angka-angka ini
sebagai pembanding, kita patut berbesar hati melihat hasil yang telah
dicapai pemerintah.

Di masa lalu,orang sering membandingkan pembayaran bunga dan cicilan
pokok utang luar negeri dengan hasil ekspor, atau yang sering disebut
dengan debt service ratio (DSR). Sekarang ini, ekspor Indonesia sudah
lebih dari USD100 miliar, bahkan setelah terjadi penurunan ekspor akibat
krisis global. Sementara itu, cicilan utang luar negeri serta pembayaran
bunganya sudah berada jauh di bawah 20% ekspor.

Ini berarti Indonesia tidak berada dalam lampu merah jika dilihat dari
sisi neraca pembayaran. Rasio pembayaran bunga dan cicilan utang
terhadap penerimaan pemerintah juga terus menurun. Hal ini terjadi
karena penerimaan pemerintah meningkat pesat sejalan dengan peningkatan
PDB (umumnya rasio perpajakan atau tax ratio terhadap PDB ditetapkan
sama atau bahkan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya).

Rasio pembayaran seluruh bunga utang pemerintah, baik utang dalam maupun
luar negeri,sekitar 2% PDB.Di Jepang, setiap kenaikan bunga utang 1%
saja akan menghasilkan tambahan beban ke APBN sebesar 2% PDB.

Melihat perkembangan ini, rasanya masyarakat perlu menyikapi berbagai
pendapat dengan tenang. Rasanya tidak pantas membodohi rakyat atau
menakuti mereka dengan kekhawatiran tentang utang tersebut yang
sebetulnya tidak berdasar.(*)

CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/247083/38/
Share this article :

0 komentar: