Menjaga Yang Sehat atau Rawat Yang Sakit?
Oleh: Prijono Satyabakti *)
Ada pepatah bahasa Inggris yang kita kenal di bangku sekolah dulu,
"/prevention is better than cure/". "Pencegahan lebih baik daripada
pengobatan" .
Betulkah arti dan makna pepatah itu? Kalau pepatah tersebut kita kaitkan
dengan bidang kesehatan, kira-kira artinya adalah mencegah terjadinya
suatu penyakit akan lebih baik daripada mengobatinya. Arti lebih baik di
sini tentu juga bisa diperluas dengan kata lebih menguntungkan.
Menguntungkannya bisa bermacam-macam, bisa biaya, waktu, tenaga, dan
masih banyak lagi.
Kelemahan kita ialah selalu meremehkan pencegahan. Bukan /prevention is
better than cure/ yang dipilih. Tapi, justru /cure is more popular than
prevention/-lah yang terjadi. Rupanya, itulah yang menjadi pilihan kita.
Lebih senang berobat daripada mencegah.
Hal itulah yang ditangkap oleh banyak politikus negeri ini. Dikemas
dalam bungkus yang indah, mereka berjanji memperjuangkan pengobatan
gratis bila menang nanti. Selanjutnya, yang terjadi adalah alokasi
anggaran yang timpang, yakni untuk anggaran pengobatan akan jauh lebih
banyak daripada anggaran pencegahan.
Mengobati orang sakit itu suatu hal yang penting. Tetapi, membuat yang
sehat tetap sehat jauh lebih penting. Pasti akan ada pertanyaan yang
agak miring, kenapa /sih/ yang sehat /diurusin/? /Kan/ yang penting
/ngurusin/ si sakit, supaya kembali sehat?
Kita tahu bahwa biaya membuat orang sakit jadi kembali sehat bisa mulai
dari tidak mahal sampai mahal sekali. Belum kerugian nonuang lainnya.
Antara lain, waktu dan kesempatan.
Sedangkan membuat yang sehat tetap sehat -melakukan /prevention-/ itu
akan jauh lebih murah dari segi dana. Namun, celakanya, kegiatan
pencegahan tersebut biasanya kurang populer. Kalau imunisasi, itu sudah
banyak dan bisa diterima. Tapi, kalau /prevention/, itu lebih menuju ke
arah pola hidup bersih dan sehat (PHBS), sepertinya tidak mudah. Enak
disuarakan, manis didengar, namun sukar diterapkan.
***
Saya kira, orang-orang mengerti bahwa cukup banyak penyakit yang
penularannya melalui makanan yang masuk lewat mulut dan keluarnya kuman
ataupun virus berbarengan dengan feses. Penularan seperti itu dalam
epidemiologi disebut /oro faecal transmission/. Artinya, kuman atau
virus masuk tubuh orang sehat lewat oral (mulut) dan keluar dari tubuh
orang sakit lewat feses.
Contoh jenis /oro faecal transmission/ adalah penyakit tifus yang
disebabkan oleh kuman /Salmonela typhosa/ yang sekarang masih cukup
merajalela di negeri kita. Di Jawa Timur, prevalensinya masih 1 persen.
Arti gampangnya, satu di antara seratus orang Jawa Timur sakit tifus.
Almarhum seorang guru besar Kesehatan Masyarakat Unair pernah
mengatakan, tifus itu akan habis di Indonesia kalau semua orang buang
air besar (BAB) di jamban atau bahasa populernya WC. Sebab, kuman
/Salmonela /-sebagaimana golongan /oro faecal transmission /yang lain-
masuk tubuh orang sehat dengan membonceng makanan lewat mulut kemudian
berkembang biak di saluran pencernaan sehingga orang akan terserang tifus.
Selanjutnya, dengan membonceng feses, kuman keluar dari tubuh lewat
anus. Karena BAB tidak di jamban, feses itu dihinggapi lalat. Sedikit
feses yang mengandung /Salmonela/ tersebut akan menempel di kaki lalat
dan sang lalat akan hinggap pada makanan yang tidak tertutup. Bila orang
sehat mengonsumsi makanan yang terkontaminasi feses yang mengandung
kuman itu, dia akan tertular tifus.
Kita yang sejak kecil terbiasa BAB di jamban mungkin bertanya-tanya,
"Masih adakah orang yang BAB tidak di jamban?" Jawabnya masih ada. Di
Jawa Timur, persentase penduduk yang buang air besar di jamban atau WC
adalah 78 persen. Pengertian epidemiologinya, di Jatim, 22 di antara
seratus orang ternyata BAB tidak di jamban. Dengan demikian, pendapat
guru besar tadi tidak salah.
Dengan kata lain, kunci pencegahan penularan penyakit tifus adalah
jamban. Silakan dihitung, berapa biaya membuat jamban dan berapa biaya
pengobatan orang sakit tifus yang rata-rata perlu opname sekitar lima
hari. Itu belum lagi biaya sebelum dan setelah keluar dari rumah sakit,
serta seberapa besar uang yang tidak bisa diperoleh karena tidak bisa
bekerja selama sakit tersebut
Dari contoh di atas, kita bisa melihat bahwa tindakan pencegahan jauh
lebih murah daripada mengobati penyakit. Sebuah hasil penelitian
menyebutkan, investasi 1 dolar untuk pencegahan akan menyelamatkan 6
dolar untuk pengobatan. Makin jelas, membuat yang sehat tetap sehat akan
lebih menguntungkan daripada mengobati yang sakit. *(*)*
/*) Prijono Satyabakti, dokter, dosen pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Unair dan ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jatim.
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=74581
Menjaga Yang Sehat atau Rawat Yang Sakit?
Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 13.53
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar