BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » JK dan Komunikasi Manusiawi

JK dan Komunikasi Manusiawi

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.37

JK dan Komunikasi Manusiawi

*Katamsi Ginano*

# Praktisi komunikasi dan business development

Kompetisi antarpasangan calon presiden-wakil presiden menjelang
pemilihan umum presiden 8 Juli 2009 sungguh menaikkan tensi politik
Indonesia. Agresivitas komunikasi di antara mereka dengan masyarakat
pemilih menjadi pemicu utamanya.

Di antara tiga pasangan capres-wapres, Megawati Soekarnoputri-Prabowo
Subianto (Mega-Pro), Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY-Boediono),
dan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win), pendekatan komunikasi pasangan
JK-Win--khususnya JK--harus diakui sebagai titik pusat pergolakan.
Halaman utama /Koran Tempo/ (Selasa, 16 Juni 2009) mencatat tujuh isu
panas saat ini dipicu oleh pernyataan yang dilontarkan JK.

Lepas dari debat etis-tak etis, patut-tak patut, karena JK yang saat ini
masih menjabat wapres terkesan menohok atau memojokkan pesaingnya,
terutama SBY, yang juga presiden /incumbent/, pendekatan komunikasinya
cukup efektif menarik perhatian publik. Dalam banyak kesempatan tampil
di depan umum, termasuk di layar televisi, JK tak hanya memperlihatkan
kecerdasan, kecakapan, dan penguasaan masalah, tapi juga keberanian dan
sikap tegas. Dan tak kurang penting, penyampaiannya spontan, santai,
lepas, dan penuh humor.

Pendekatan ala JK itu bukan tanpa masalah, karena mudah memicu
kontroversi. Dan, bagi media, kontroversi adalah hal yang paling
ditunggu karena pasti mengundang perhatian pembaca, pendengar, atau
pemirsa. Pernyataan JK tentang perdamaian di Aceh, 13 Juni lalu, yang
kini meluber dan melebar ke mana-mana, adalah salah satu contoh faktual.

*Opini publik*

Komunikasi massa, menurut Scott M. Culip, Allen H. Center, dan Glen M.
Broom (/Effective Public Relations/, 1978), adalah kompetisi mendapatkan
perhatian di tengah lalu lintas berbagai pesan atau isu agar apa yang
disampaikan "terdengar", "diperhatikan", dan kemudian "ditindaklanjuti"
oleh publik. Paling tidak ada empat tantangan yang menghadang.

Pertama, bagaimana menarik perhatian kelompok yang disasar. Kedua,
menstimulasi minat kelompok sasaran pada pesan-pesan yang
dikomunikasikan. Ketiga, membangun keinginan dan tujuan mewujudkan
pesan-pesan tersebut. Dan, keempat, menunjukkan tindakan dengan laku
konsisten sebagaimana pesan-pesan yang dikomunikasikan.

Dibanding dua pasangan kandidat lain, pendekatan yang dipraktekkan JK
adalah komunikasi dalam pengertian praktis, yang tatkala diletakkan
dalam tataran teoretis memiliki landasan yang kukuh. Namun, tidak
berarti pasangan Mega-Pro dan SBY-Boediono tidak sejalan dengan teori.
Perbedaannya hanya pada model dan gaya yang dipilih dua pasangan ini,
yang dapat dikatakan cenderung diseminatif ketimbang kampanye.

Khusus pasangan SBY-Boediono, SBY yang selama hampir lima tahun
memerintah memang dikenal sangat hati-hati, penuh perhitungan, dan
karenanya terkesan lamban; juga cenderung tampak memelihara /image/
sebagai pemimpin yang etis, serius, rasional, dan akomodatif. Disadari
atau tidak, dalam berkomunikasi dengan publik, SBY justru makin
mengukuhkan kesan tersebut.

Sebagai /incumbent/, seharusnya SBY lebih tangkas dan berada di depan
dalam membumikan isu-isu penting yang menarik perhatian. Kenyataannya,
isu-isu yang diusung pasangan SBY-Boediono justru umum dan normatif
belaka. Apakah karena posisi SBY yang berada di puncak hingga dia
terjebak pada apa yang diingatkan oleh Joe Takash (/Results Through
Relations/, 2008) bahwa "/the higher you go, the bigger the blind spots/"?

Sebaliknya, bila dicermati, Mega-Pro mengusung isu dan pendekatan
komunikasi yang tidak asing bagi publik pemilih. Isu rakyat kecil,
kemiskinan, pembangunan (terutama ekonomi) yang memihak mereka sudah
pernah dikampanyekan oleh Megawati-Hasyim Muzadi dan PDI Perjuangan
sebagai partai utama penyokongnya pada pemilihan presiden 2004. Ketika
itu terbukti, kendati isu yang dijual kontekstual, karena pendekatan
komunikasi yang tidak tepat, akhirnya upaya tu gagal membawa Mega ke
kursi presiden.

Becermin pada pemilihan presiden 2004, dengan merumuskan kembali
pendekatan komunikasinya, seharusnya pasangan Mega-Pro memiliki peluang
memenangi perhatian dan opini publik, yang kemudian menggiring mereka
memberikan suaranya. Namun, setidaknya yang terlihat di permukaan,
perhatian dan opini publik lebih tertuju pada pasangan JK-Win dan
SBY-Boediono, yang saling adu strategi dan taktik komunikasi, di mana
yang pertama menjadi "penyerang" dan yang kedua mengambil posisi
"bertahan".

*Manusiawi*

Dalam kompetisi mempengaruhi pilihan orang banyak, tak hanya di sektor
politik, opini publik adalah aspek penting dan mendasar. Opini publik,
kata Edward M. Block (/How Public Opinion Is Formed/, 1977), "/An
expression of social energy that integrates individual actors into
social grouping in ways that affect the polity/."

Bagaimana membentuk pendapat orang banyak? Dengan komunikasi yang
efektif, efisien, dan tepat sasaran. Pasangan JK-Win, dengan pendekatan
yang dipraktekkan, sejauh ini secara efektif dan efisien berhasil
membuat publik mendengar dan memperhatikan isu-isu yang mereka sampaikan.

Model dan gaya komunikasi JK yang alamiah dan manusiawi tampaknya
menjadi faktor utama. Dan bukan hanya publik--tidak terbatas pada para
pemilih--yang menyukainya. Peradaban pun hanya mungkin dibangun dengan
komunikasi yang manusiawi, sebagaimana sabda Frederick Williams (/The
New Communications/, 1992), "/No human capability has been more
fundamental to the development of civilization than the ability to
collect, share, and apply knowledge. Civilization has been possible only
through the process of human communication/."

Pertanyaan kemudian, apakah dengan didengar dan diperhatikannya isu-isu
yang dikedepankan JK-Win secara otomatis para pemilih berbondong
memberikan suara kepada pasangan ini? Jawabannya terletak pada faktor
yang tidak kurang penting, yaitu apakah pendekatan komunikasi yang
dipraktekkan tepat sasaran atau tidak.

Di luar semua itu, mengutip Edward M. Block, "/Public opinion is not
necessarily logical; it is amorphous, ambivalent, contradictory,
volatile/." Artinya, sekalipun JK-Win berkomunikasi dengan alamiah dan
manusiawi hingga secara efektif, efisien, dan tepat sasaran membentuk
opini publik, tetap ada faktor-faktor irasional yang mengiringi
keputusan akhir para pemilih. Itu sebabnya, tak perlu heran bila dalam
survei yang banyak dirilis belakangan, pasangan SBY-Boediono tetap
berada di peringkat atas pilihan pemilih.

Kalau pada akhirnya hasil-hasil survei itu terbukti benar, bangsa
Indonesia telah belajar satu hal: betapa sedap menyaksikan ada pemimpin
atau politikus yang berkomunikasi dengan pendekatan orang biasa.
Manusiawi dan membumi. Yang tak repot berhati-hati dengan pendapat
orang, kritik, dan /image/.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/18/Opini/krn.20090618.168480.id.html
Share this article :

0 komentar: