Drama Politikus dalam Kampanye
Oleh: Lan Fang
*BELAKANGAN* ini, Indonesia mengalami gegar kampanye. Beberapa pilkada
terus mengalir dari satu daerah ke daerah lain (dan masih akan terus
bergulir). Saat pilgub Jatim dan pemilu legislatif lalu, volume kampanye
terdengar sangat pekak. Volume itu mencapai titik puncak pada kampanye
pilpres yang berlangsung saat ini.
Tampaknya, fakta hendak mengatakan bahwa kampanye adalah saudara kembar
siam yang selalu melekat pada demokrasi. Dalam setiap pemilihan yang
dilakukan oleh oleh rakyat, kampanye merupakan kunci penting. Karena
itu, para tim sukses, konsultan politik, juru bicara, dan lainnya dari
setiap kandidat tidak mau tanggung-tanggung. Mereka mengemas setiap sisi
kehidupan dan momen kejadian sehingga menjadi tampilan gurih yang bisa
membentuk opini publik.
Maka, pencitraan tak cuma menempel pada sosok seseorang, melainkan
melebar sampai menjelajahi wilayah personal. Misalnya karakter,
simbol-simbol religi tertentu, juga kehidupan keluarga. Jadi, tidak aneh
bila istri, suami, anak, menantu, cucu, bahkan binatang peliharaan para
kandidat pun berperan mendongkrak atau menurunkan popularitas seseorang
di tataran politik.
Itulah yang disebut Aristoteles, filsuf paling berpengaruh di Barat
setelah Socrates dan Plato, sebagai instrumen. Dalam buku /La Politica/,
Aristoteles menulis, biasanya para pelaku politik memiliki
instrumen-instrumen yang bisa digunakan untuk menghasilkan sesuatu.
Sebagai perumpamaan, dia memberikan contoh pemintal benang yang tidak
hanya bermanfaat sebagai alat ketika digunakan. Tetapi, benang yang
dihasilkan bisa menjadi multiproduk lain, seperti pakaian, kaus, atau syal.
Abdul Munir Mulkhan, guru besar filsafat pendidikan Islam di Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta, juga menuliskan pendapatnya.
Dalam buku /Politik Santri/, dia mengemukakan, semakin tinggi posisi
seseorang dalam struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi, niscaya
personalitas manusiawinya tenggelam ke dalam norma-norma baru yang
diciptakan oleh sistem struktur baru. Sebab, awalnya, manusia
menciptakan struktur untuk pemberdayaan dirinya. Tetapi, dalam usaha
mendapatkan kekuasaan, manusia tidak bisa mengelak ketika justru menjadi
alat bagi pemberdayaan struktur itu sendiri.
Karena itu, semua kampanye selalu memajang foto dengan senyum dan slogan
yang manis. Ada yang ditampilkan berpasangan maupun bersama keluarga,
kolega, komunitas, masyarakat, dan lainnya serta ditambah dengan
komentar-komentar dan dukungan-dukungan dari orang-orang yang dianggap
mempunyai peran di masyarakat. Baik alim ulama, selebriti, partai
politik, pelaku dunia usaha, sampai kaum muda, dan sebagainya.
***
Terlepas dari semua strategi kampanye para pelaku politik kita kreatif
atau tidak, saya sangat terkesan pada pasangan John McCain dan Sarah
Palin yang dikalahkan oleh pasangan Barack Obama dan Joe Biden pada
pemilihan presiden AS lalu.
Di tengah-tengah geliat politikus "menyihir" publik dengan segala
pemberitaan positif untuk pencitraan diri, Palin justru melakukan hal
yang tidak biasa. Pada suatu kampanye, di tengah-tengah jutaan mata dan
telinga publik Amerika, dia membuka diri. Dia mengatakan dengan jujur
bahwa suaminya pernah ditangkap karena mengemudi dalam kondisi mabuk 22
tahun lalu.
Dia juga mengungkapkan bahwa anak keduanya hamil di luar nikah. Anak
kedua Palin yang bernama Bristol, 17, itu juga berada di atas panggung
kampanye dengan perut membesar. Bahkan, Palin "memamerkan" bayinya yang
menderita keterlambatan perkembangan.
Terlepas dari benar atau salah, saya memberikan catatan tersendiri untuk
Palin. Tentu tidak mudah bagi seseorang yang bertarung memperebutkan
kursi wakil presiden Amerika menyiarkan aib sendiri ke depan publik yang
diharapkan memilih.
Rupanya, Palin berusaha keluar dari primordialitas kekuasaan yang
cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatis partai politik,
birokrasi pemerintahan, atau lembaga keagamaan. Dalam konteks itu,
kejujuran sekaligus keberanian Palin perlu digarisbawahi dengan lebih
tebal. Dia telah membebaskan diri sebagai "dagangan politik". Walaupun
akhirnya kalah sebagai wakil presiden Amerika, dia menang menghadapi
diri sendiri.
Saya menceritakan hal tersebut kepada dua politikus. Yang pertama tidak
mengiyakan, tetapi juga tidak membantah. Saya tidak mengerti arti
kediamannya. Yang kedua langsung menukas dengan tajam. "Jika melakukan
hal seperti Sarah Palin, berarti politisi Indonesia sudah siap menerima
'kematiannya'," ucapnya.
Komentar itu membuat saya teringat kepada Chikamatsu Monzaemon
(1653-1725), penulis drama Jepang yang disepakati setanding dengan
Shakespeare. Chikamatsu berpendapat bahwa seni terletak pada batas tipis
antara yang nyata (kehidupan real) dengan yang tidak nyata (imaji).
Drama teater tersebut bukan kenyataan, tetapi juga bukan tidak nyata.
Maka, keindahan terletak di antara keduanya.
Akhirnya, saya tidak tahu apakah panggung kampanye yang kita lihat dan
dengarkan selama ini adalah ajang mendramatisasi kenyataan atau
kenyataan yang didramakan? Maaf, apakah (politisi) kita adalah para
"seniman" yang masih suka bermain dengan hal (yang tidak indah) itu-itu
juga? *(*)*
* /*) Lan Fang/ * /, penulis esai, prosa, dan puisi, tinggal di Surabaya./
Drama Politikus dalam Kampanye
Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 14.45
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar