BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Debat

Debat

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 14.40

Debat



Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan
telaah. Memang, dulu ketika Socrates menanyai seseorang, menggunakan
teknik eclenchus, menyoal dan meminta jawab dan siap dibantah serta
membantah, ia tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah
orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi
lebih bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti Socrates. Dan
saya cepat lelah dengan berujar lisan.

Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umumnya dialog, acap
kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bicara saya akan seperti
dua pesawat televisi yang disetel berhadap-hadapan. Dia tak mencoba
mengerti saya dan saya tak mencoba mengerti dia. Bahasa punya problem.
Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah
sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.

Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan sebuah
perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang
lawan itu? ”Kalah pintar” tidak selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada
juri yang menilai. Atau untuk meyakinkan orang di sebelah sana itu,
bahwa pendirian saya benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.

Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang
”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan Mikhail Bakhtin
cenderung menganggap bahwa debat yang terbuka dan kritis tidak dengan
sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu
dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin
beragamnya pendapat dan pendirian.

Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda
pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas
berbeda—dan teknik Socrates akan menimbulkan kesadaran itu—mereka akan
makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada yang selamanya tak
terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat.

Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya
lebih sederhana dari yang diharapkan seorang Socrates: percakapan punya
momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh
jadi bagian dari keramahan dan redanya rasa gentar.

Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon presiden.
Saya tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang akan mengambil
keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Saya duga lebih sering yang
terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat mulai—dan orang
menonton sebagai pendukung atau penggembira, seperti orang menonton
pertandingan badminton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap,
debat diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburan—dengan segala
ketegangan yang dirasakan dalam menonton itu. Kita tegang, maka kita
senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata, debat itu tidak untuk
meyakinkan. Debat itu untuk membuat kita bertepuk.

Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar dalam debat
politik. Sementara mereka yang berdebat mempersiapkan diri baik-baik
dengan mengumpulkan bahan serta mempertajam argumen dan juga berlatih
menyusun kata, tuan rumah dari acara itu sebenarnya punya tujuan yang
tak ada hubungannya dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan
sesuatu untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelenggarakan
pertandingan gladiator.

Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang
disebut Milan Kundera sebagai ”imagologi”. Politik telah jadi sebuah
tempat bertarung yang dibangun oleh media massa, di mana wajah, sosok,
artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas yang ditawarkan ke
konsumen yang sebanyak-banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang
dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika
televisi—dengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahal—jadi
makin komersial, pendangkalan itu makin tak terelakkan.

Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disusul debat para
komentator debat—yang umumnya seru, bisa lebih kasar, lebih tak sabar,
dan lebih tak berpikir. Kini para komentator hampir sudah seperti
pesohor: yang terpenting adalah bahwa mereka dikenal, atau bisa menarik
perhatian. Mengapa harus digubris adakah pendapat mereka punya dasar
yang bisa dipertanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban
cepat lebih diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Socrates dan
eclenchus-nya sudah lama dikuburkan.

Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya tak malas
menonton para calon presiden berdebat. Saya tahu apa yang mereka lakukan
di sana itu tak banyak manfaatnya bagi mereka sendiri. Tapi setidaknya
saya mendapatkan hiburan. Dan mungkin juga komodifikasi yang terjadi
pada acara yang seolah-olah serius itu punya manfaat lain, punya peran
lain: proses itu membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik
itu lebih menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ketimbang
komoditas lain yang ditebarkan televisi.

Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.

*Goenawan Mohamad
*

*http://tempointeraktif.com/hg/caping//2009/06/22/mbm.20090622.CTP130653.id.html
Share this article :

0 komentar: