BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Dicari,Presiden Penegak HAM!

Dicari,Presiden Penegak HAM!

Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 11.26

Dicari,Presiden Penegak HAM!

Hak asasi manusia (HAM) mengemuka sebagai tema penutup acara debat
capres putaran pertama mengenai “tata-kelola pemerintahan yang baik dan
supremasi hukum”, 18 Juni lalu.


Meski jawaban tiga capres tak memuaskan, kita mengapresiasi masuknya
tema itu sebagai suatu tantangan bangsa yang harus dijawab pemimpin
pemerintahan. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan selaku
moderator seolah hendak menutup acara itu dengan sebuah harapan bahwa
kita tak boleh lupa pada masa lalu.Bahwa segala mimpi perubahan masa
depan para capres bila terpilih, perlu diikuti komitmen untuk memberi
jawaban keadilan pada tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Pilihan tema “pelanggaran HAM masa lalu” adalah pilihan yang cerdas,
tegas, dan bijaksana. Sebab pelanggaran HAM masa lalu adalah refleksi
atas berbagai persoalan HAM yang luas,mulai dari rumpun hak sipil dan
politik, hak ekonomi, sosial dan budaya hingga hak atas
pembangunan,orang adat, sumber daya alam dan lingkungan. Tidak
terkecuali persoalan kekerasan sebagai akibat ketegangan hubungan
negara,agama dan ideologi politik.

Moderator seolah meningkatkan diskursus HAM dalam “debat” capres dari
yang dulu sebatas kerangka pemajuan HAM (promotion) kini menyentuh tema
akuntabilitas (protection).Tema ini pun jelas berhubungan dengan tema
debat mengenai pemerintahan yang baik dan supremasi hukum.

Pengalaman masa lalu mengajarkan kita bahwa kekerasan pelanggaran HAM
terjadi akibat dari pemerintahan yang korup. Di dalam suasana itu pula
sistem peradilan yang idealnya bertugas menegakkan hukum malah menjadi
instrumen kekuasaan. Dengan ini moderator menempatkan pertanyaan
pelanggaran HAM masa lalu sebagai jantungnya.

*** Bagaimana jawaban capres dalam debat lalu? Sebagai orang yang
ditanya pertama, capres SBY menjelaskan tak semua kasus bisa
diselesaikan dengan justice.Dalam kaitan tersebut, pendekatan
rekonsiliasi adalah pilihan. Lalu dia memberi contoh penyelesaian kasus
Timor Timur sambil menyatakan menolak pengadilan internasional dan
menutup perkara ini lewat Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Menurut SBY
langkah ini dinilai berhasil mengakhiri problem di kedua negara.

Karena itu, menurutnya, langkah serupa akan diterapkan dengan pendekatan
truth (kebenaran) dan reconciliation( rekonsiliasi). Penanggap kedua,
capres JK yang diminta menanggapi jawaban SBY menyatakan setuju dengan
pandangan capres SBY.Di luar itu, JK bahkan menyatakan bahwa hukum tidak
berlaku surut/retroaktif. JK mensyaratkan adanya bukti hukum yang kuat
untuk dibawa kasus pelanggaran berat HAM ke pengadilan.Hukum tidak boleh
berlaku surut atau retroaktif.

Di sini capres JK menghimbau untuk tidak melihat ke belakang dengan
suatu ilustrasi agar kita tidak melihat kaca spion terus. Sebab itu tak
akan membuat kita mampu melangkah atau bergerak ke depan. Sementara
penanggap ketiga, capres Megawati mengamini saja apa yang menjadi
pendapat kedua kompetitornya itu.Tak ada kontraargumen. Megawati
menekankan bahwa HAM tidak boleh hanya untuk kepentingan individu,tapi
utamanya harus untuk kepentingan bangsa.

Megawati lalu mengakui bahwa dirinya adalah victim (korban), tetapi
dirinya tak menuntut secara hukum dan itu dilakukannya demi kepentingan
persatuan. Bagaimana kita menilai esensi paparan di atas? Dari
pemberitaan media massa,banyak kalangan tak puas atas proses dan
substansi debat.Pandangan dalam artikel ini memiliki penilaian serupa
namun sekaligus mencoba melampaui ketidakpuasan tersebut dengan memberi
penilaian yang difokuskan pada hak asasi manusia, khususnya pelanggaran
HAM masa lalu.

Capres SBY dan JK memiliki nilai rata-rata.Mungkin karena keduanya
sama-sama duduk di pemerintahan yang sama dan belum mampu menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM masa lalu baik melalui penuntutan di pengadilan
maupun melalui pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Capres Megawati
terlihat kurang mengimbanginya dengan kontra argumen.Publik malah jadi
kesulitan melihat perbedaan berarti antara mereka. Megawati sebenarnya
punya kesempatan untuk menunjukkan dirinya adalah kontestan yang sungguh
berbeda.

Mengingat pada masa pemerintahan Soeharto,Megawati menjadi salah satu
simbol perlawanan sekaligus menjadi korban dari represi orde baru. Namun
sayang, spirit tersebut tidak muncul. Hal ini pun terlihat dalam paparan
awal mengenai visi misi seorang capres. Secara kontras capres SBY
menyebut hak asasi manusia, melengkapi tema utama debat,yakni
“pemerintahan yang baik dan supremasi hukum”.

Tema HAM beberapa kali disebutkan meski pandangan HAM-nya kerap
menunjukkan ambiguitas. Yang paling jelas adalah hubungan antara
supremasi hukum dan pelanggaran HAM masa lalu. Penjelasan ini
mengingatkan publik akan sifat SBY yang kerap dinilai kurang tegas.
Padahal dalam debat cawapres 23 Juni lalu, Boediono mengangkat HAM
sebagai elemen dalam jati diri bangsa.

Di situ, dia memaparkan pentingnya keadilan bersama, yakni di mana semua
orang merasa mendapat kesempatan yang sama seperti prinsip
konstitusionalisme, perlindungan HAM, reformasi sektor hukum, dan
kebudayaan. Rumusan ini sudah baik,tapi harus diikuti dengan contoh
konkret. Persoalan kita bukan bagaimana merumuskan konsep normatif,
karena itu sudah ada di konstitusi, melainkan bagaimana menjawab
persoalan aktual seperti diilustrasikanlayar acara debat seputar konflik
sosial serta hubungan agama dan politik.

*** Dalam debat capres, ada kesan semua ingin tegas menegakkan hukum dan
dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu itu berarti pilihan penuntutan
yudisial. Namun saat dihadapkan pertanyaan pelanggaran HAM masa lalu
cenderung buru-buru mengatakan rekonsiliasi sebagai pilihan, suatu
pendekatan nonyudisial.

Ada tidaknya risiko politik pemaafan sehingga harus ada amnesti atau
karena faktor tertentu lalu pemaafan menjadi pilihan, ini seharusnya tak
menegasikan pentingnya menegakan suatu supremasi hukum. Inklinasi yang
ada, masih menjauhkan mimpi keadilan korban pelanggaran HAM dari harapan
kenyataan. Nah,sejak Reformasi 1998 bergulir, berbagai warisan sistem
kekuasaan masa lalu itu hendak dibenahi. Sayangnya, suasana yang terjadi
adalah situasi impunitas.

Terjadi suatu ketidakmungkinan secara de facto dan de jure untuk
menghukum pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu karena orang-orang
yang bertanggung jawab atas peristiwa itu tak diperhadapkan sebagai
subjek di muka penyidikan hukum administratif, perdata maupun pidana.
Memang tak mudah. Negaranegara Amerika Latin yang pernah mengalami rezim
militer telah mengalami dilema antara menghukum atau memaafkan
kejahatan- kejahatan masa lalu itu.

Ada risiko instabilitas politik dan keamanan bila proses penuntutan
dilakukan terhadap orang yang berpengaruh karena pernah berkuasa di masa
lalu, tetapi juga ada risiko masa depan karena absennya penghukuman
justru membuka potensi keberulangan. Dengan dilema ini,kita bisa
menyimak hasil studi tentang prinsipprinsip memerangi praktik impunitas
oleh seorang ahli independen dan juga seorang Pelapor Khusus PBB Louis
Joinet pada 1997.

Studi berjudul the Set of Principles for the protection and promotion of
human rights through action to combat impunity ini dikembangkan oleh
Diane Orentlicher yang menggantikan Louis Joinet sebagai special
rapporteur on impunitydengan merevisi dan memperbaharui prinsipprinsip
memerangi praktik impunitas tersebut pada 2005.

Prinsip-prinsip ini kemudian lebih dikenal sebagai prinsipprinsip
anti-impunitas atau keadilan bagi korban.Studi ini merumuskan dengan
lengkap prinsip hak atas kebenaran, hak atas keadilan, dan hak atas
pemulihan bagi seorang korban pelanggaran HAM. Akhir kata, agar tak
ambigu, bila setuju pada penegakan supremasi hukum, siapa pun harus
berani menegakan supremasi hukum tanpa mengesampingkannya dengan
rekonsiliasi atau pemaafan.

Lima tahun ke depan,memang harus ada jaminan mencegah berulangnya
pelanggaran HAM berat seperti di masa lalu (crimes against
humanity,genocide).Namun jaminan ini bisa rapuh.Bagi saya,sejauh tak ada
keadilan dan akuntabilitas, gangguan kekerasan politik atau pelanggaran
berat HAM bisa terulang.(*)

Usman Hamid
Koordinator Kontras


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249830/
Share this article :

0 komentar: