BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Sepotong Cerita dari Acropolis

Sepotong Cerita dari Acropolis

Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 11.30

Sepotong Cerita dari Acropolis

DARI atas udara, daratan Yunani tidak terlihat indah.Demikian pula
ketika memasuki daerah perkotaan Athena yang padat dan panas.


Bukit-bukit tandus yang ditanami beberapa buah pohon hanya menambah
kesan tandus. Namun setelah mendekati Acropolis, sebuah situs bersejarah
yang dibangun beberapa abad sebelum Masehi, nuansa itu hilang sama
sekali. Situs-situs bersejarah yang dulu dibangun raja-raja Yunani kuno
hidup berdampingan secara damai dengan infrastruktur kehidupan modern
dan perdagangan.

Para pedagang menata dagangannya secara apik di kios-kios sepanjang
daerah yang disebut Plaka.Jaringan kereta api bawah tanah yang lalu
lalangsetiaptujuh menitmemotong celah di antara situs-situs itu. Di
hampir setiap sudut jalan selalu saya temui kedai-kedai kopi yang selalu
ramai dikunjungi wisatawan. Hampir semua tamu ingin mencicipi frape,
minuman kopi khas Yunani. Lalu, di dekat kedai kopi banyak ditemui
travel agent yang menawarkan paket-paket tur.

Pariwisata Kebal Krisis

Kendati data-data yang dikeluarkan badan-badan resmi menyatakan bahwa
dunia pariwisata akan merosot tajam tahun ini, di Benua Eropa saya tidak
melihat gejala itu.Memang British Airways baru saja mengumumkan kerugian
yang sangat signifikan.

Namun kalau Anda mengunjungi bandarabandara di berbagai daerah tujuan
wisata dunia dan ikut terbang,jumlah penurunan penumpang tidak akan
terlalu Anda rasakan. Hal yang sama juga saya rasakan dalam penerbangan
dari dan ke Auckland (Selandia Baru). Berbeda dengan keadaan beberapa
tahun silam,negeri ini justru semakin banyak dikunjungi para imigran
kaya dan berpendidikan.

Angka penjualan properti yang ditakutkan akan menimbulkan resesi yang
dalam ternyata mulai kembali normal sejak ditandatanganinya perjanjian
dengan beberapa negara asing yang mendorong warganya tinggal dan membeli
properti di sana. Kembali ke Yunani, saya juga bertemu dengan banyak
turis asal Jepang dan Amerika Serikat dalam jumlah besar di atas kapal
pesiar yang mengunjungi beberapa pulau. Hal serupa juga saya temui di
Roma dan Paris.Restoran-restoran Thailand dan Malaysia yang tumbuh
menjamur dalam lima tahun belakangan ini di negara-negara kaya di Eropa
tetap diminati pengunjung.

Lantas,mengapa hal yang kita lihat secara kasatmata bisa berbeda dengan
data-data statistik? Saya kira salah satu penyebabnya adalah karena
dunia ini telah berubah menjadi sangat kompleks dan para pengumpul data
mengalami kesulitan dalam menyampaikan kebenaran. Mereka kesulitan
menyampaikan,sementara kita pun kesulitan menafsirkannya. Kesulitan
pertama adalah saat mereka menetapkan siapa yang akan dicatat sebagai turis.

Kesulitan ini sama dampaknya dengan saat kita menafsirkan laporan
keuangan British Airways yang langsung kita simpulkan jumlah
penumpangnya menurun karena krisis ekonomi. Ketika iklan-iklan
pariwisata dunia menyajikan pemandangan alam,warisan sejarah dan budaya,
serta flora-fauna, mereka juga memasukkan jumlah wisatawannya dengan
orang-orang yang datang untuk kunjungan-kunjungan bisnis, ziarah,
pengobatan, dan pendidikan.

Maka ketika para pebisnis mengurangi penjualannya, angka kunjungan
wisatawan pun diproyeksikan akan merosot, jumlah orang yang sekolah di
negara tersebut turun,dan seterusnya.Di lain pihak orang sering juga
salah menafsirkan bahwa yang dimaksud turis adalah orang asing yang
selalu datang dengan pesawat terbang, berkulit putih, dan berambut
pirang. Padahal di seluruh dunia wisatawan terbesar justru datang dari
kawasan domestik, yang datang dengan jalur darat, menumpang kereta api
atau kapal-kapal penyeberangan (feri),atau terbang di bawah 2–4 jam.

Turis domestik ini mewakili lebih dari 70% wisatawan dunia. Tengoklah
turis-turis di Amerika Serikat yang dikuasai pelancong-pelancong lokal
yang datang dari negara-negara bagian di sekitarnya atau dari
negerinegeri tetangga (Kanada dan Meksiko). Hal yang sama juga terjadi
di negara-negara di Eropa yang turisnya datang dengan kereta api atau
mobil dari negaranegara yang masuk dalam persekutuan Eropa. Hal seperti
ini juga kita saksikan di Malaysia,Thailand,dan Singapura yang banyak
menuai kunjungan wisatawan dari Indonesia. Sebaliknya Indonesia juga
banyak diminati turis-turis dari Malaysia, China,Taiwan, dan Australia.

Sepanjang yang saya ketahui, keluhan-keluhan terbesar penurunan
wisatawan belakangan ini hanya terdengar di Singapura dan Dubai. Saya
kira hal ini dapat diterima karena dua negeri itu andalan pariwisatanya
lebih banyak terkait dengan sektor bisnis dan jasa,khususnya jasa
keuangan dan belanja. Ketika mal-mal di Indonesia menandingi mal-mal di
Singapura, perlahan-lahan Singapura pun akan ditinggalkan dan wisatawan
Indonesia mulai mengejar daerah kunjungan yang sedikit lebih
sophisticated seperti di China dan Thailand.

Jadi janganlah kita abaikan pariwisata dan jangan pula selalu berpikir
untuk menuai dunia pariwisata kita harus berpromosi jauh hingga ke
Rusia, Belanda,Austria, dan Inggris. Bidik saja negeri-negeri tetangga,
perbaiki produkproduk pariwisata kita,dan jangan abaikan wisatawan
domestik.

Kerja Bareng

Di sekitar Acropolis saya duduk tertegun membayangkan filsuffilsuf besar
berpikir tentang masa depan. Sama seperti sisa-sisa bangunan bersejarah
yang sama tuanya di Pompei yang hancur tertimbun lahar panas dari kawah
gunung Vesuvius, sepi, dan tak menyisakan bangunan utuh kecuali
pilar-pilar dan tembok-tembok pada bagian tertentu.

Semua yang saya saksikan di Pompey dan Acropolis tak seindah Candi
Borobudur, lautan dalam Bunaken, gulungan ombak di Kepulauan Mentawai,
atau keindahan alam Gunung Bromo. Namun pertanyaannya: mengapa mereka
bisa menjual semua itu lebih baik dari kita? Saya kira ada tiga hal yang
tidak kita miliki di sini. Pertama, pariwisata bukanlah sekadar
pemasaran “mata”, melainkan pemasaran ”kesan”.Kesan itu didapat dari
keseluruhan pancaindera,mulai dari mata, hidung, telinga, kulit, lidah
sampai gerakan tangan dan proses dalam pikiran manusia.

Unsur kesan terpenting adalah menghadirkan ”keterlibatan” wisatawan
serta cerita (story telling) yang membuat manusia berefleksi tentang
kehidupan. Harus diakui kemampuan menjual cerita dan kisah kita masih
lemah. Kedua, adanya sinergi positif antara pemilik/penguasa tempat
wisata dengan aktor-aktor pemasaran. Di mana-mana di Indonesia selalu
kita saksikan ”perkelahian” antara arkeolog, bupati, pemilik lahan
parkir dengan pemasar-pemasar pariwisata.Ada tendensi saling menahan
sehingga seakan-akan yangsatulebihpentingdariyanglain.

Ketiga, kinerja pariwisata suatu bangsa hanya bisa dicapai melalui kerja
bareng semua pihak di negara itu.Kerja bareng itu dimulai dari suasana
nyaman dan tertib di bandara, petugas-petugas imigrasi yang berkarakter
wisata (bukan semata-mata security), armada transportasi yang aman dan
selamat, keamanan nasional dan angka kriminalitas yang terkendali, media
massa yang berorientasi pada keindahan (bukan pada demo dan
kebencian),pemda yang bersungguh-sungguh menetapkan pelaksanaan UU No
18/2008 (tentang penanganan sampah), dinas-dinas kesehatan yang menjaga
standar makanan dan sanitasi, dan seterusnya.

Tak terkecuali kerja sama seluruh departemen pemerintah yang masih
berpromosi sendiri-sendiri. Tak bisa saya terima dengan akal sehat
bagaimana mungkin anggaran yang dihabiskan Departemen Kesehatan dan
Departemen Pendidikan dalam beriklan dan berpublic relations jauh
melebihi anggaran beriklan promosi pariwisata nasional? Perhatikanlah
data dari World Tourism Council (WTC) pada 2008.

Indonesia adalah daerah kunjungan wisata termurah di dunia (peringkat 1
price competitiveness index), tetapi secara keseluruhan kita menempati
peringkat (overall index) nomor 81. Sementara di Yunani yang biaya
berwisatanya sangat tinggi (price competitiveness ranking 114) secara
kesulurahan (overall index) nomor 24.Wajarlah bila Yunani yang mahal
meraih turis jauh lebih banyak dari kita. Padahal pada 2009, daya saing
harga pariwisata kita diproyeksikan akan bergeser ke nomor 3 di dunia
setelah Mesir dan Brunei Darussalam.

Kerja bareng bukan sekadar membangun ketertiban dan fisik, melainkan
juga suasana pariwisata. Ini adalah suasana yang fun, relax, aman,
menggairahkan, penuh warna,fresh,dan membuang kepenatan. Semoga
pariwisata Indonesia semakin maju.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249866/38/
Share this article :

0 komentar: