Janji Manis Program Kesehatan Gratis
Kampanye partai sudah selesai. Janji-janji sudah diumbar.Untuk kesehatan, janji pengobatan gratis adalah isu terlaris.Janji yang banyak muncul dalam jagat politik lokal (pilkada) akhirnya masuk pula ke ranah politik nasional.
Bagaimana sebenarnya kondisi saat ini dan prediksinya nanti? Fakta memperlihatkan, yang terbebani janji kampanye kesehatan pada pilkada justru bukanlah para politisi.Korban sesungguhnya adalah infrastruktur kesehatan, termasuk tenaga kesehatan (nakes) di dalamnya.
Nakes kemudian diperas tenaganya dan hanya dapat berkata,”Engkau yang berjanji, engkau yang akhirnya tidak peduli.” Mereka akhirnya harus bekerja setengah mati akibat ulah pembuat janji. Ironisnya, ada sedikit saja salahnya, nakes akan ”dicap” bekerja setengah hati oleh para pengobral janji.
Untuk sekadar menepati janji, banyak politisi tidak pernah peduli tentang bagaimana pembiayaan dan dukungan infrastruktur yang diperlukan. Demi memuaskan janji, pengobatan gratis akhirnya ”kelihatan”terjadi.Walau kadangkadang sifatnya semu.Pengobatan gratis akhirnya ditujukan untuk pengobatan itu sendiri.
Tujuan menyehatkan bangsa tidak terjadi. Sering pengobatan menjadi ”asalasalan” karena kalau ada masalah kekurangan dana atau tenaga, politikus umumnya tidak pernah mau tahu. Padahal teorinya jelas, ”Healthcare is not free,someone must pay.” (Bodenheimer & Grumbach, 2002).
*** Soal siapa yang harus bayar pernah menjadi diskusi menarik dengan Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada).Ditemukan paling tidak empat bentuk masalah yang terjadi akibat janji politik pengobatan gratis di daerah.Kalau tidak diantisipasi,bentuk ini tidak membutuhkan waktu lama untuk menjadi cermin nasional kelak.
Pertama,rakyat umumnya mendapat pengobatan atau tepatnya pelayanan kesehatan gratis oleh lembaga pelayanan kesehatan (yankes) pemerintah, yaitu puskesmas dan rumah sakit (RS). Faktanya, biaya pelayanan memang ditanggung pemda.Namun dalam kasus ini,penggantian biaya yankes oleh pemda selalu jauh lebih rendah dari unit cost yang dikeluarkan puskesmas dan RS.
Yankes sangat merugi dan merana, tetapi tidak berani berteriak. Kedua,ini khusus di RS daerah, ditemukan adanya ”keterpaksaan” memberi yankes gratis untuk kelompok masyarakat tertentu. Kelompok ini sering diistilahkan sebagai mantan ”tim sukses”. Kelompok ini umumnya mampu bayar, tetapi karena ”kekuasaan politiknya” atau lebih tepat arogansinya, lalu tidak membayar.
Celakanya, kelompok ini justru sering minta dilayani dengan fasilitas terbaik yang sering kali sangat mahal.RS kembali merugi. Ketiga,kasus yang hampir sama dengan bentuk kedua, tetapi terjadi di puskesmas walau dengan skala yang tidak terlalu besar.Dua bentuk ini sangat mengganggu kinerja operasional puskesmas dan RS.
Pimpinan puskesmas dan RS terpaksa mencari-cari dana untuk menutupinya. Akibatnya ada dana-dana lain untuk kepentingan fasilitas kesehatan yang dikorbankan. RS dan puskesmas pun kebingungan. Keempat, di beberapa daerah cukup banyak masyarakat miskin tidak masuk kuota pengobatan gratis dari pemerintah pusat.
Secara kemanusiaan kemudian disepakati kelompok ini menjadi tanggung jawab pemda melalui APBD. Nyatanya, di banyak daerah, sama sekali tidak dianggarkan dalamAPBD. Akibatnya,sekali lagi puskesmas dan RS tetap harus melayani tanpa sumber dana yang jelas. RS dan puskesmas kembali kebingungan.
Terlepas dari satu-dua kasus RS yang fraud dalam pelayanannya,di berbagai pemberitaan media massa juga terlihat bahwa ada masalah lain lagi, yaitu pada saat reimbursement (menagih). Masih ada rumah sakit yang belum mendapatkan reimbursement dari biaya pengobatan gratis.Kalaupun akan dibayar,tidak sesuai harapan atau ”dilambat-lambatkan”.Padahal, RS membutuhkan biaya daily maintenance untuk segala keperluannya.
Untuk semua itu, pertanyaannya kemudian, bagaimana akhirnya yankes menutup biayanya? Tidak ada pilihan, korbankan program-program pokok institusi, misalnya dana pemeliharaan dan peningkatan mutu SDM, dana pemeliharaan dan peningkatan sarana serta prasarana, dana operasional manajemen dan administrasi.
Dalam kacamata manajemen, biasanya yang paling mudah dikorbankan adalah jasa medik milik nakes.Alasannya sederhana, apa pun kondisinya, nakes harus siap mengabdi (”kerja paksa”model baru).
*** Dari penjelasan di atas, dapat dipastikan bahwa puskesmas dan RS pemerintah tidak dapat diharapkan memberikan reward yang pantas bagi nakes. Mereka terkuras tenaganya karena ”lonjakan” pasien dan terpaksa kerja overtime dengan besarnya risiko pekerjaan yang dihadapinya, tetapi tidak pernah dihargai secara pantas.
Apabila masalah ini tidak diangkat ke permukaan akan terjadi bahaya laten baru sektor kesehatan. Dari sisi kajian atas sistem kesehatan akan terjadi disalokasi subsidi dan tidak berjalannya sistem rujukan yang baik akibat tiadanya kendali biaya dan mutu pelayanan. Semua hal ini akan memberikan dampak serius ke depan.
Disalokasi subsidi berbuah pada beralihnya subsidi yang besar kepada upaya kesehatan kuratif. Hal ini mengakibatkan subsidi untuk upaya-upaya kesehatan promotif dan preventif melemah. Akibatnya, dalam jangka panjang tanggung jawab masyarakat atas kesehatan dirinya (selfcare) kian memudar.
Pada pengobatan gratis yang ada saat ini, sistem rujukan sesungguhnya tidak berjalan. Rujukan pasien banyak yang bukan rujukan medis. Lebih banyak bersifat administratif dan dilakukan atas pertimbangan beban kerja. Puskesmas ”meneruskan” pasiennya ke RS daerah. Begitu juga RS daerah ”meneruskan” pasiennya ke RS rujukan provinsi bahkan nasional.
RS yang mestinya menangani kasus-kasus selektif menjadi muara semua penanganan kasus penyakit. Beban akan bertambah, sementara sumber daya tetap.Apa yang terjadi? Bahaya pelayanan kesehatan yang tidak adekuat dapat terjadi. Misalnya, rakyat diobati ”setengahnya”.
Akibatnya,rakyat tetap menderita dan menjadi korban dari pemaksaan pemenuhan janji! Untuk para pengobral janji, mumpung belum terpilih, mumpung belum dilantik (kalau nanti terpilih),harus sadar betul soal ini. Sayangnya, biasanya setelah dilantik, para pengobral janji sering punya penyakit lupa. Mudahmudahan saja untuk kali ini tidak banyak terjadi.(*)
Dr dr Fachmi Idris, MKes
Ketua Umum Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/227414/
Janji Manis Program Kesehatan Gratis
Written By gusdurian on Selasa, 07 April 2009 | 14.34
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar