BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kemiskinan, Pekerja, dan Pemilu

Kemiskinan, Pekerja, dan Pemilu

Written By gusdurian on Selasa, 07 April 2009 | 14.28

Kemiskinan, Pekerja, dan Pemilu
Defiyan Cori, Peneliti Bright Indonesia dan Tim Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat dan Penanggulangan Kemiskinan, BAPPENAS

Kemiskinan dan pengangguran adalah permasalahan yang banyak dihadapi oleh berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Bahkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan akan terjadi peningkatan jumlah penganggur yang diakibatkan oleh hilangnya 51 juta jenis lapangan pekerjaan sebagai dampak dari resesi dunia.

Resesi dunia mengakibatkan peningkatan pengangguran dari 6 persen (2008) menjadi 6,5 persen atau bertambah lagi jika dibanding pada 2007 yang hanya 5,7 persen dari penduduk dunia. Dibandingkan dengan negara-negara maju, jumlah angka kemiskinan dan pengangguran di negara-negara berkembang relatif lebih besar, walau krisis ekonomi dan keuangan saat ini akan menambah jumlah populasinya.

Angka ini akan semakin besar jika jumlah penduduk setengah penganggur atau usia produktif yang tidak bekerja penuh juga turut dihitung. Maka jumlahnya pun akan lebih dari 46 juta orang. Penduduk usia produktif yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu pada 2006 telah mencapai 30 juta orang. Karena itu, wajar jika jumlah orang miskin di Indonesia terus meningkat, menjadi lebih dari 39 juta jiwa.

Angka kemiskinan, dalam arti persentase jumlah orang miskin dibanding jumlah penduduk, memang terlihat stabil atau sedikit menurun setelah sempat mencapai 26 persen pada 1998. Namun, jumlah absolut orang miskin terus bertambah. Lalu apa peran pekerja, sebagai salah satu entitas kemiskinan yang tidak pernah memperoleh perhatian dalam pembangunan, menyikapi Pemilihan Umum 2009 dengan partai politik yang sedang berkampanye?

Suara pekerja signifikan

Pertumbuhan ekonomi yang selalu menjadi katalisator keberhasilan pemerintah Indonesia secara makro ternyata tidak berdampak pada penurunan angka kemiskinan dan pengangguran. Angka pengangguran, misalnya, belum bisa ditekan secara berarti oleh adanya prestasi pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan. Jumlah penduduk Indonesia yang menganggur masih sangat besar, berdasarkan data Badan Pusat Statistik berjumlah 11 juta orang pada 2006 atau sekitar 10,4 persen dari jumlah seluruh angkatan kerja adalah penganggur.

Sedangkan angka kemiskinan penduduk pada Maret 2006 dengan indikator kemiskinan yang tidak pernah diubah oleh BPS adalah 17,75 persen atau sebanyak 39,05 juta jiwa (Maret 2008 sebanyak 34,96 juta jiwa). Namun, apabila yang dipakai standar institusi internasional lain, seperti Bank Dunia, yang menetapkan US$ 2 per hari, jumlah penduduk yang berada dalam kemiskinan akan menjadi tiga kali lipat atau mencapai 50 persen.

Jumlah pekerja/karyawan tetap di Indonesia berdasarkan data BPS pada Agustus 2008 sejumlah 28,18 juta jiwa. Ini suara yang sangat signifikan diperebutkan oleh kontestan Pemilu 2009. Jika ditambah dengan para pekerja/karyawan yang tidak tetap yang berjumlah 21,77 juta jiwa, signifikansi perolehan suara untuk menang dalam Pemilu 2009 bagi partai politik adalah 28,22 persen untuk bisa mengajukan calon presiden.

Sedangkan jumlah penduduk yang berusaha sendiri, biasanya berasal dari keluarga kelompok pekerja, adalah 20,92 juta jiwa. Maka total jumlah suara pekerja adalah 70,87 juta jiwa dari jumlah pemilih 177 juta atau sebesar 40 persen. Jumlah pemilih pekerja yang sangat besar ini adalah potensi besar bagi kemenangan para kontestan pemilu.

Angka pemilih potensial ini akan semakin besar apabila ditambah dengan angka penganggur sejumlah 9 juta jiwa dan kemiskinan yang saat ini berada di wilayah pedesaan atau bekerja di sektor pertanian, yaitu sejumlah 41,33 juta jiwa. Total jumlah suara signifikan yang akan memenangkan partai politik pada Pemilu 2009 ini--apabila tidak ada yang golput--akan menjadi 121,2 juta pemilih.

Dengan demikian, para pekerja memiliki posisi tawar politik sangat kuat, terutama untuk kebijakan yang akan diambil atas nasib mereka. Jika melihat kondisi pekerja saat ini, kecenderungan pemihakan pemerintah terhadap pengusaha masih sangat kuat, yang ditunjukkan oleh ketidakadilan (unfairness) dan ketidakmerataan (equality) dalam hak-hak dasar, terutama rasio pengupahan yang sangat timpang, yaitu terbesar 1 : 250.

Di satu sisi, pihak-pihak yang mempertentangkan pekerja dan pengusaha selama ini distigmatisasi sebagai komunisme. Tapi, di sisi lain, organisasi kapitalisme yang dibangun dengan melakukan pemisahan kepemilikan (ownership segregation) dibiarkan bertindak semena-mena terhadap pencapaian laba.

Gambaran inilah kemudian yang memberikan penekanan terhadap tidak bekerjanya administrator dan aparatur yang berperan secara optimal dalam struktur politik hubungan industrial.

Karena itu, pada Pemilu 2009, para pekerja harus menegaskan posisi politiknya dalam mengatasi kondisi krisis ekonomi global dan menyelesaikan permasalahan pokok dan penting yang menyangkut politik hubungan industrial ini. Itu menyangkut sistem kapitalisme dan struktur hubungan pekerja-manajemen (buruh-majikan) sebagai bagian menyeluruh dari penyelesaian krisis.

Hubungan pekerja dan manajemen harus dikembalikan dalam logika Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu "usaha bersama berdasar asas kekeluargaan". Organisasi perusahaan harus dipandang sebagai pengejawantahan dari konstitusi negara dan tidak mengandung pengertian hanya mengutamakan tujuan menyejahterakan para pemilik modal yang selama ini berjalan.

Kesejahteraan yang diperoleh dari pembagian keuntungan atau laba perusahaan selama ini seolah-olah memisahkan hak pekerja dalam porsi yang juga selayaknya diterimakan kepada mereka. Dengan posisi politik yang sangat kuat itu, para pekerja harus secara bersama-sama memperjuangkan perubahan paradigma organisasi perusahaan. Juga memilih partai politik yang akan melakukan perubahan terhadap struktur yang tidak memberikan kesejahteraan.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/07/Opini/krn.20090407.161684.id.html
Share this article :

0 komentar: