BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mempertanyakan Modal Pemilih Sebelum Mencontreng

Mempertanyakan Modal Pemilih Sebelum Mencontreng

Written By gusdurian on Selasa, 07 April 2009 | 14.53

Mempertanyakan Modal Pemilih Sebelum Mencontreng

Oleh Kris Nugroho *

Satu pertanyaan penting yang patut diajukan kepada para pemilih yang akan memberikan suara tanggal 9 April adalah apakah mereka memilih calon anggota legislatif(caleg) atau partai karena percaya caleg atau partai mewakili aspirasi mereka? Dengan kata lain, apa yang menjadi modal para pemilih untuk memutuskan terlibat dalam pemberian suara dalam pemilu ?

Pertanyaan di atas nampaknya merupakan pertanyaan sederhana tetapi sesungguhnya kalau direnungkan secara mendalam, pertanyaan tersebut tak mudah untuk dijawab. Hal ini disebabkan karena kita harus mencari terlebih dulu apa yang menjadi landasan politik pemilih untuk tergerak memberikan suara mereka.

Pertanyaan di atas akan dinarassikan melalui dua sudut pandang, concent dan trust. Selama ini, ada masalah substansial yang hilang dari relasi antara pemilih atau masyarakat dengan para caleg yang berperan sebagai aktor-aktor politik dalam pemilu 2009 ini. Masalah substansial yang dimaksud adalah bagaimana pemilih merasa yakin dirinya merelakan memberi persetujuan untuk dihadapkan dengan pilihan-pilihan politik yang direduksikan kepada sikap percaya terhadap para caleg yang akan menjadi wakil mereka di parlemen.

Selama proses euporia demokrasi sejak pemilu 1999 dan 2004, kecenderungan partisipasi pemilih relatif tinggi rata-rata 90 %. Dalam suasana keterbukaan dan kebebasan politik yang meluas dirasakan masyarakat, keikutsertaan masyarakat dalam proses pemilu yang tinggi merupakan hal yang normal, bahkan masyarakat ingin memanfaatkan iklim kebebasan seluas-luasnya tanpa rasa takut represi.

Tingginya partisipasi pemilih memang menggambarkan bahwa masyarakat telah menyetujui atau menyepakati dirinya untuk diwakili para wakil rakyat. Namun fakta demikian tak serta-merta menjadi ukuran kualitas perwakilan politik itu sendiri. Selama ini terdapat jarak politik yang jauh antara masyarakat dengan wakil rakyat. Masyarakat bergulat dengan segala kesulitan kehidupan mereka, sedangkan para wakil rakyat pun sibuk dengan kepentingan diri sendiri, sebagaimana terlihat dari praktek rente dan korupsi yang terungkap akhir-akhir ini.

Namun harus diakui, di tengah euporia dari kebebasan politik yang diekspresikan melalui hadirnya sistem multi partai, muncul kekuatirkan akan turunnya jumlah warga yang memberikan suara pada pemilu 2009 ini. Kekuatiran soal meningkatnya 'golput' yaitu pemilih yang tak menggunakan hak pilihnya tak terhindarkan dalam praktek demokrasi. Bahkan para pemimpin partai pun cemas kalau 'golput' meningkat akan berdampak pada berkurangnya potensi mendapatkan sumber-sumber politik berupa suara massa.

Kecemasan kalau jumlah warga yang tidak memilih akan bertambah adalah bagian dari perdebatan kritis tentang consent para pemilih terhadap pilihan-pilihan politik yang tersaji saat ini. Dari perjalanan pemilu ke pemilu, sikap politik para pemilih makin kritis dan bahkan realis yaitu munculnya lapisan pemilih yang rasional dan pragmatis. Walau pun jumlah mereka dapat dikatakan kecil namun makna ideologisnya sangat mendalam karena mereka mampu menyajikan bentuk 'perlawanan' politik alternatif terhadap praktek demokrasi minimalis saat ini.

Demokrasi minimalis dimaknai sebagai praksis demokrasi institusional yang kering dan tanpa ruh yang bersifat mendemokrasikan masyarakat secara cerdas. Praksis demokrasi minimalis ini menempatkan fakta institusional di atas fakta demokrasi substansial, yaitu menempatkan institusi-institusi demokrasi (partai politik dan prosedur demokrasi) sebagai agen perubahan menuju demokrasi formal. Padahal sebaliknya lah yang terjadi. Demokrasi institusional cenderung menjadi alat aktor-aktor politik untuk melapangkan jalan menuju capaian kepentingan politik mereka.

Dalam narasi Buchanan dan Tullock (1971:23), para aktor politik dinilai dapat menggunakan pertimbangan ekonomis untuk menalarkan tindakan politik mereka. Ciri nalar ekonomis ini adalah pengedepanan kepentingan diri (utility-maximizer) dari aktor dengan memanfaatkan segala cara guna meraih tujuan akhir dalam berpolitik.

Dalam konteks Indonesia pasca orde baru, pemanfaatan partai sebagai alat pencapaian kekuasaan politik aktor begitu besar. Hal ini terlihat dari logika politik di balik pendirian partai politik yang selalu dimulai dari narasi 'kepentingan' si aktor dan bukan dimulai dari bawah yaitu dari 'kepentingan' yang datang dari pihak masyarakat.

Aktor politik pun terkesan menjadi pembawa pesan-pesan 'mesianistik' untuk membawa perubahan menuju yang baik. Di pihak lain, masyarakat tidak memiliki alternatif yang memadai untuk menandingi aktor, selain menerima konstruksi mesianistik yang difokuskan pada diri si aktor politik..

Dalam konteks pemikiran Klingemann dan Hofferbert (1999), perhatian dalam proses pemilu seharusnya lebih tertuju pada proses pembumian program-program kampanye dalam bentuk pilihan-pilihan kebijakan publik yang membawa manfaat bagi masyarakat. Mengacu pada kondisi saat ini, energi kita habis untuk kampanye, debat wacana politik yang tiada henti dan terjebak pada siklus 'saling menghabisi' demi menyelamatkan kepentingan politik jangka pendek aktor. Artinya, fase transisi demokrasi habis hanya untuk pergolakan kekuasaan elitis sedangkan pelembagaan demokrasi sebagai ruh yang mengubah wacana demokrasi menjadi pilihan kebijakan yang menguntungkan masyarakat makin terasa ditinggalkan.

Langsung atau tidak langsung, situasi politik demikian makin menyadarkan masyarakat bahwa praksis demokrasi kita masih minimalis, yakni menempatkan masyarakat sebagai objek kekuasaan dan bukan bagian dari perubahan kekuasaan itu sendiri.

Bagi aktor, masyarakat masih direduksikan sebagai 'angka-angka' yang dapat direkayasa (DPT dan menjadi target kemenangan) untuk penyelamatan sumber-sumber kekuasaan aktor politik. Bukan bagian dari sumber inspirasi untuk penyusunan kebijakan publik para aktor.

* Kris Nugroho, dosen Fisip Unair, mahasiswa S3 Ilmu Politik UGM.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=61734
Share this article :

0 komentar: