Hukum Berkaitan dengan Kriminalisasi Pilot Komersial
Akhir-akhir ini dunia penerbangan kembali mendapatkan sorotan. Terakhir, vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan terhadap Capt Pilot Marwoto bin Komar dalam pengadilan pidana cukup mencengangkan.
Capt Pilot Marwoto dianggap bersalah secara pidana dalam kasus kecelakaan pesawat Garuda yang terjadi 7 Maret 2007 di sisi timur landasan Bandara AdisutjiptoYogyakarta. Dalam kegiatan usaha penerbangan komersial nasional Indonesia dan sesuai dengan persyaratan aturan hukum penerbangan yang berlaku, perlu diteliti beberapa pokok landasan operasi yang baku sebelum masuk ke bidang aturan pelaksanaannya.
Ada 3 hal landasan dasar operasional berhubungan dengan operator, yaitu; armada pesawat,rute yang dimiliki serta sumber tenaga manusia, salah satunya pilot. Mengenai masalah armada, menarik untuk mencermati bahwa di Amerika Serikat (AS), negara salah satu produsen pesawat komersial terkemuka, ada peraturan yang membatasi tanggung jawab pabrik pesawat terbang.
Boeing, misalnya, perusahaan ini hanya bertanggung jawab terhadap pesawat yang umurnya dibatasi hanya sampai 18 tahun,seperti diatur oleh ”The General Revitalization Act (GARA) 1994”. Lebih dari 18 tahun,segala sesuatu yang berkaitan dengan beban tanggung jawab hukum diletakkan kepada si operator sendiri (teliti: Kasus Mandala di Medan yang diproses di Pengadilan Chicago,AS). Kemudian tentang rute merupakan policy dari regulator.
Dalam konteks Indonesia menjadi tanggung jawab Departemen Perhubungan (Dephub) melalui Dirjen Perhubungan Udara. Selanjutnya marilah dibahas posisi kedudukan hukum dari pilot.Masalah ini menjadi menarik untuk dibahas berkaitan dengan vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan terhadap Capt Pilot Marwoto bin Komar. Selama airborne dalam penerbangan, seorang pilot—misalnya dalam kasus Capt Pilot Marwoto— bertanggung jawab penuh sebagai ”penguasa tunggal”.
Beban tanggung jawab hukum tersebut tidak bisa dibagi-bagi,walaupun dalam operasi penerbangan dia didukung oleh co-pilot/crew dan berbagai bentuk pengoperasian seperti bandara, air traffic controller, dan bentuk- bentuk dukungan lain dari pihak- pihak terkait seperti pemeliharaan, peneliti cuaca, dan mungkin bisa sampai 200 bentuk pendukungan.
Penerbangan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dilepas dari situasi (hukum) internasional, karena memiliki ciri-ciri (1) internasional, (2) tidak mengenal perbatasan negara, (3) peralatan yang terkait diproduksi secara bersama, walaupun terpisah-pisah. ***
Kini marilah kita bahas sampai di mana tanggung jawab hukum seorang capt pilot, seperti halnya Capt Pilot Marwoto.Sumber pengaturan dari kegiatan penerbangan komersial utama adalah Konvensi Chicago 1944 dan sejak lama Indonesia telah menjadi anggota.Pendapat bahwa bilamana ketentuanketentuan internasional tersebut dihadapkan dengan aturan nasional, maka aturan-aturan nasionallah yang dominan. Suatu pendapat yang menyesatkan.
Konvensi Chicago 1944 dengan 18 annexes-nya didampingi oleh lebih dari puluhan perjanjian internasional lain tentang penerbangan menghendaki kepatuhan nasional.Maka bilamana ada yang dianggap pelanggaran oleh seorang pilot, maka utama diterapkan hukum yang bersumber kepada Konvensi Chicago 1944 (terutama annex13).
Berikutnya ialah bilamana terjadi kecelakaan maka yang pertama- tama wajib melakukan investigasi adalah Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) dengan hasilnya hanya semata-mata untuk kepentingan KNKT,agar kecelakaan semacam itu tidak terulang kembali.KNKT-lah yang pertama- tama diberi prioritas investigasi sebab musabab ”accidents” yang terjadi, sesuai ketentuan annex13.
Adapun kepolisian ataupun kejaksaan dibenarkan melakukan investigasi, apabila investigasi KNKT rampung.Hasil KNKT tidak dibenarkan digunakan sebagai bukti oleh kepolisian maupun kejaksaan/ pengadilan seperti diatur oleh Annex13. Kepolisian/kejaksaan wajib mencari bukti-bukti sendiri yang diperlukan.
Seperti telah diutarakan, penerbangan komersial memiliki ciri-ciri (1) internasional, (2) tidak mengenal perbatasan negara, (3) dikuasai pengaturan yang sumbernya terutama internasional,(4) manajemen lalu lintas penerbangan dilaksanakan melalui Flight In-formation Regent (FIR) yang sering kali tidak terkait dengan wilayah nasional suatu negara (contoh: Singapura,sesuai kesepakatan dan arahan ICAO dibebani tugas mengatur lalu lintas udara sampai ke sebagian wilayah Indonesia dan Malaysia). ***
Sebagai negara yang sejak awal meratifikasi Konvensi Chicago 1944 (dengan sendirinya dikuasai secara hukum juga oleh annexes dan berbagai Konvensi terkait dengan Konvensi Chicago 1944), Indonesia tidak dapat mengelak penerapan ketentuan-ketentuan tersebut terdahulu sesuai Pasal 38 (1) Statuta Pengadilan Internasional yang menetapkan berlakunya konvensi-konvensi internasional, kebiasaan internasional, ajaranajaran ahli terkemuka dunia.
Yang sangat menentukan adalah dalam Pasal 38 (1) tersebut dalam ayat c,”Prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh negara-negara yang beradab (principles of law recognized by civilized nations).” Adalah suatu kesesatan yang tidak perlu untuk menetapkan bila menghadapkan ketentuan-ketentuan Konvensi (Konvensi Chicago 1944) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan dikesampingkan demi ketentuan nasional di bidang penerbangan yang jelas-jelas dikuasai oleh prinsip-prinsip internasional.
Selanjutnya untuk menilai Pasal 26 Konvensi Chicago 1944 dan menerapkannya kepada suatu kecelakaan penerbangan di wilayah Indonesia, juga jelas sesat. Karena Pasal 26 tersebut berlaku bilamana kecelakaan terjadi di luar wilayah nasional.Teliti kata-kata, “In the event of an accident to an aircraft of a contracting state occurring in the territory of another state....”.
Jadi jika kecelakaan menimpa pesawat udara negara anggota (Konvensi Chicago 1944) di negara lain. Prosedur tata cara penye-lesaian harus melalui “...special procedure which may be recommended”. Jadi melalui tata cara yang disarankan dan disepakati. Dikatakan bahwa dalam kasus Yogyakarta, Capt Pilot Marwoto memiliki waktu 2 (dua) menit untuk mempersiapkan diri dan menghubungi dan minta bantuan.
Di sini jelas, ada pihak-pihak yang tidak menyadari bahwa sang pilot berada dalam keadaan tertekan-terpojok, mental-psikologis. Patut disadari bahwa 2 menit dalam penerbangan itu,di mana kecepatan pesawat udara berada dalam +500 km/jam, berarti dalam waktu singkat pesawat udara sudah berada dalam keadaan tidak mungkin terkendalikan.
Pesawat menukik dengan kecepatan +500 km/jam berarti 2 menit itu dalam posisi 2x+ 10 km sama dengan dalam posisi melewati jelajahan 20 km dan dikuasai juga oleh gravital force.Kenyataan ini tidak disadari,karena 2 menit di darat itu berbeda jauh dengan 2 menit dalam pesawat yang sedang mengudara. Karena itu, misalnya jarak di ruang angkasa biasa ditetapkan dengan melalui ”light years”,yakni tahun cahaya. ***
Dalam suatu penerbangan, sang pilot bukan saja bertanggung jawab atas keselamatan penumpang pesawat, tapi juga terhadap pihak ketiga di permukaan bumi, dan juga atas keselamatan pribadinya. Dalam uraian tersebut tampak bahwa apa pun yang terjadi di dalam suatu penerbangan, canggihnya pesawat, efisien dan profesionalnya badan-badan lembaga-lembaga yang mendukung suatu penerbangan, tetap akan kembali kepada sang pilot yang dengan pengalaman jam terbangnya,pada akhirnya menyerahkan dirinya kepada Rida Yang Maha Kuasa.
Kejadian inilah yang dialami Capt Pilot Marwoto, yang berada dalam keadaan kritis berhasil mendaratkan pesawatnya serta menyelamatkan sebagian penumpangpenumpang yang jadi tanggung jawabnya. Dalam keadaan yang mencekam, tekanan mental yang begitu berat, posisi sang capt pilot dalam operasi pesawat udara sipil komersial tersebut tidak lepas dari perkembangan dan kemajuan ilmu teknik dan hukum di bidang industri penerbangan.
Berbagai kemajuan dalam bidang-bidang tersebut terdahulu telah berkembang dan berhasil membentuk kegiatan penerbangan sebagai suatu keberhasilan pelayanan kehidupan manusia yang aman (safe) dan memengaruhi setiap bidang kegiatan masyarakat secara keseluruhan. Kompleksitas kegiatan penerbangan sipil komersial (nasional/ internasional) hanya dapat dilakukan melalui hasil karya sejumlah ahli/teknisi/pemelihara yang tidak terbatas, dengan keahlian dan prestasi yang khusus.
Keseriusan para pendukung teknis di darat/ permukaan bumi tidak mungkin diabaikan. Dalam konteks ini, peranan seorang pilot yang bertanggung jawab dalam pengoperasian sebuah pesawat menduduki tempat yang sangat khusus.
Sang pilot dalam suatu penerbangan menjadi pengarah/penentu di dalam suatu lingkungan (kecil) masyarakat dalam pesawat, yang mungkin saja secara hukum tanpa disadari dapat berada di dalam lingkungan yurisdiksi hukum yang berbeda-beda dalam waktu yang relatif sangat singkat.
Dari segi hukum, seorang pilot itu merupakan seseorang profesional yang sangat menarik. Karena dia menduduki posisi yang sangat unik dalam penerbangan, khusus yang menyangkut keamanan (safety),ekonomis,keteraturan dalam hukum, dan kesinambungan suatu penerbangan yang mendasarkan kepada keahlian (skill) dan kemampuan pertimbangannya (judgement).
Karena itu, dalam situasi tekanan mental yang mahaberat yang sering kali tidak pernah disadari oleh masyarakat luas status hukum seorang pilot dalam hukum maupun kebiasaan, terutama dalam hukum yang merupakan hukum khusus (lex specialis) apakah nasional maupun internasional, yang dalam hal ini tentunya Konvensi Chicago 1944 dengan berbagai annexes-nya.(*)
Prof Dr H Priyatna Abdurrasyid SH PhD
Pakar Hukum
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/230793/
Home »
berita
» Hukum Berkaitan dengan Kriminalisasi Pilot Komersial Saturday, 18 April 2009 Akhir-akhir ini dunia penerbangan kembali mendapatkan sorotan. Terakhir,
Hukum Berkaitan dengan Kriminalisasi Pilot Komersial Saturday, 18 April 2009 Akhir-akhir ini dunia penerbangan kembali mendapatkan sorotan. Terakhir,
Written By gusdurian on Minggu, 19 April 2009 | 13.16
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar