Carrefour dan Revolusi Supermarket
Khudori, pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Sejak memulai usaha di Indonesia, Oktober 1998, setidaknya dua kali perusahaan retail raksasa Carrefour tersandung masalah. Pertama, Agustus 2005, Carrefour didenda Rp 1,5 miliar oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Carrefour dinyatakan telah terbukti melanggar Pasal 19 huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengenai menolak dan atau menghalangi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
Kedua, saat ini kembali Carrefour dibidik oleh KPPU dengan undang-undang yang sama. Menurut KPPU, Carrefour diduga melanggar Pasal 17 ayat 1 dan Pasal 25 ayat 1 huruf (a). Pasal 17 berisi larangan melakukan monopoli, yaitu menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang/jasa tertentu. Sedangkan Pasal 25 tentang penyalahgunaan posisi dominan yang bisa merugikan konsumen dan menghalangi pelaku usaha lain masuk ke pasar serupa. KPPU membidik dua hal: pasar pemasok (upstream) dan pasar retail modern (downstream).
KPPU kembali membidik Carrefour karena retail asal Prancis itu diduga telah melakukan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri jasa retail nasional untuk kelas hipermarket dan supermarket. Menurut bukti awal KPPU, pangsa pasar Carrefour di sisi hulu naik dari 44,75 persen menjadi 66,73 persen. Sedangkan di hilir naik dari 37,98 persen menjadi 48,38 persen. Itu terjadi setelah Carrefour mengakuisisi Alfamart pada 2008. Kasus ini masih diselidiki KPPU. Carrefour terancam denda maksimal Rp 25 miliar. Carrefour membantah tudingan tersebut. Menurut Carrefour, mengutip riset AC Nielsen, setelah akuisisi Alfamart, pangsa di retail modern jadi 17 persen dan di pasar grosir 6,3 persen.
Amat sulit menduga bagaimana akhir kisah kasus ini. Sebab, pada dasarnya tidak mudah membuktikan tuduhan-tuduhan KPPU. Dalam bingkai yang lebih luas, apa yang terjadi pada Carrefour berikut kerepotan KPPU sebenarnya manifestasi dari--meminjam istilah Thomas Reardon dan Ashok Gulati (IFPRI, 2008)--"Revolusi Supermarket". Revolusi itu berlangsung di negara-negara berkembang di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin sejak 1990-an. Gejala ini ditandai gelombang pertumbuhan supermarket yang luar biasa besar, melampaui laju pertumbuhan gross domestic product (GDP).
Misalnya, pada awal 1990-an/awal 2000-an, pertumbuhan supermarket di Cina, India, dan Vietnam mencapai 2-20 persen dengan pertumbuhan penjualan 30-50 persen per tahun, melampaui pertumbuhan GDP (7-11 persen per tahun). Pertumbuhan ini tidak hanya didorong oleh urbanisasi dan kenaikan pendapatan, tapi juga oleh liberalisasi investasi langsung di pasar retail. Akhirnya terciptalah intensitas persaingan yang ketat, bukan hanya di pasar hipermarket, tapi juga dengan supermarket, bahkan dengan pasar tradisional. Ujung gelombang ini ditandai oleh fenomena konsolidasi, akuisisi, dan multinasionalisasi sektor supermarket.
Di Indonesia, supermarket global mulai merebak di ambang senja Orde Baru. Dalam paket reformasi ekonomi dan pasar yang dirancang "dokter" penyembuh krisis ekonomi Indonesia pada Oktober 1998, Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia "dipaksa" membuka pasar, termasuk pasar eceran (retail). Sejak itu, korporasi retail raksasa seperti Carrefour dan Continent masuk ke Indonesia. Di pengujung 1999, Carrefour dan Promodes (induk perusahaan Continent yang berbasis di Prancis) melakukan konsolidasi atas semua usahanya di seluruh dunia dengan nama Carrefour. Konsolidasi ini membuat Carrefour jadi grup usaha retail terbesar kedua di dunia setelah Wal-Mart asal Amerika.
Setelah mengakuisisi Alfamart, seperti ditulis di website-nya, kini Carrefour memiliki 60 gerai di Indonesia (di Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Yogyakarta, Semarang, Medan, Palembang dan Makassar) dengan 11 ribu pegawai. Di tingkat global, Carrefour beroperasi di 32 negara dengan 15 ribu gerai dan 490 ribu pegawai. Di Eropa, Carrefour jadi peretail pertama, mengalahkan Wal-Mart (www.carrefour.com). Pada 2007, total penjualan mencapai US$ 141,09 miliar. Bersama Wal-Mart dan Tesco (Inggris), Carrefour adalah 3 dari 10 megaretail yang meraup keuntungan 50 persen (www.etcgroup.org).
Revolusi supermarket ibarat pedang bermata dua (two-edged sword). Di satu sisi, dapat mempermurah harga pangan bagi konsumen dan menciptakan peluang buat petani dan pengolah pangan. Di sisi lain, revolusi supermarket juga bisa mengancam pengecer kecil, petani, dan pengolah pangan yang tidak mampu menghadapi pesaing baru dan tidak bisa memenuhi sejumlah persyaratan pasar swalayan. Revolusi supermarket, setidaknya, memiliki tiga dampak (Reardon dan Gulati, 2008). Pertama, konsumen memperoleh harga jauh lebih murah ketimbang jika membeli di pengecer tradisional. Di Delhi, India, harga pangan yang dikonsumsi kelompok miskin lebih murah dari retail tradisional: untuk gandum dan beras 15 persen lebih murah, dan untuk sayur-sayuran 33 persen. Di Indonesia, hal ini juga terjadi.
Kedua, meluasnya pasar dan pertumbuhan pasar swalayan membuat pangsa pengecer tradisional menurun. Di satu sisi, ini berdampak pada pengurangan kesempatan kerja di pasar tradisional. Di sisi lain, meluasnya supermarket juga menciptakan lapangan kerja baru. Masalahnya, pengurangan dan penciptaan kesempatan kerja sering tidak berimbang. Ketiga, petani/pengolah pangan yang mampu memenuhi syarat (pengepakan, volume, kualitas, ongkos, dan praktek komersialisasi) akan berkembang seiring dorongan permintaan dari pasar swalayan. Dampak terbesar terjadi pada industri pengolah pangan dan usaha manufaktur pangan. Sebab, produk yang dijual di pasar swalayan adalah pangan olahan, semi-olahan, dan produk segar seperti buah dan sayur. Misalnya, dilaporkan pengalaman petani tomat Indonesia yang keuntungannya bertambah 33-39 persen karena punya jaringan ke pasar swalayan. Masalahnya, akses ke pasar swalayan hanya dimiliki segelintir petani: petani bermodal, kaya informasi, dan ada di infrastruktur baik.
Kehadiran supermarket adalah keniscayaan. Masalahnya, supermarket, hypermart, dan sejenisnya, yang demikian perkasa, bukan hanya dalam modal, teknologi, sistem, dan jaringan, bahkan lobi ke pembuat keputusan, sering kali melakukan kecurangan sebagai bentuk praktek persaingan tak sehat. Sadar akan power-nya itu, korporasi retail modern bisa mempraktekkan perjanjian jual-beli tak fair, membentuk harga kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar dan membeli barang pemasok dengan harga supermurah. Liberalisasi dan ketiadaan rambu-rambu melempangkan semua itu. Menjadi keniscayaan bagi KPPU dan pemerintah untuk menciptakan medan permainan yang seimbang (level playing fields), menyusun guideline dan rambu-rambu yang mengekang perilaku curang, dan membuat regulasi yang adil dan berpihak kepada pasar tradisional/pemasok/petani. *
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/29/Opini/krn.20090429.163863.id.html
Carrefour dan Revolusi Supermarket
Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 11.37
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar