BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mewaspadai Penyelewengan Stimulus Fiskal

Mewaspadai Penyelewengan Stimulus Fiskal

Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 11.36

Mewaspadai Penyelewengan Stimulus Fiskal
Mufid A. Busyairi, anggota Panitia Anggaran DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa
Ada benarnya kritik mantan presiden Megawati Sukarnoputri: pemerintah sering maju-mundur bak tari poco-poco saat mengimplementasikan kebijakan. Salah satunya bisa dilihat dari kebijakan stimulus fiskal. Kebijakan stimulus sudah lama diputuskan, tapi implementasinya masih jadi persoalan. Misalnya, stimulus fiskal empat departemen (Departemen Pertanian, Perhubungan, Perdagangan, serta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) masih tertahan di Panitia Anggaran DPR. Pasalnya, di tingkat pemerintah, daftar proyek yang didanai stimulus tak kunjung tuntas. Daftar proyek terus berubah.
Stimulus fiskal diharapkan menggerakkan sektor riil, yang mengerut diterjang krisis, dan mencegah PHK massal. Krisis ekonomi telah menekan perekonomian kita. Neraca ekspor hasil industri Januari-Februari 2009, misalnya, anjlok 32,01 persen--setara dengan penurunan ekspor Februari 2008-Februari 2009. Krisis ekonomi juga bisa dibaca dari sikap pemerintah yang terus-menerus merevisi target pertumbuhan dan inflasi. Stimulus fiskal akan mengurangi pengerutan ekonomi. Itu hanya bisa terjadi apabila stimulus fiskal efektif. Efektivitas stimulus tidak hanya ditentukan oleh pemilihan aktivitas yang hendak didanai, tapi juga ketepatan waktu. Stimulus yang besar akan mubazir jika diberikan pada saat yang salah. Sikap maju-mundur pemerintah menandai tak adanya sense of urgency.
DPR telah menyetujui anggaran stimulus Rp 73,3 triliun. Stimulus dibagi dalam tiga klasifikasi. Pertama, stimulus tidak langsung berupa penghematan pembayaran pajak (PPh badan, pribadi, dan pendapatan tidak kena pajak/PTKP). Kedua, subsidi pajak ditanggung pemerintah dan bea masuk ditanggung pemerintah (PPN migas dan minyak goreng, PPh karyawan, dan PPh panas bumi). Ketiga, subsidi dan belanja langsung (penurunan harga dan subsidi solar, diskon beban puncak, perluasan PNPM dan belanja infrastruktur). Dari semua itu, stimulus paling besar berupa subsidi pajak: Rp 43 triliun.
Stimulus seperti ini telah diterapkan di Amerika Serikat. Tetapi perusahaan yang disuntik stimulus tetap bangkrut atau melakukan PHK besar-besaran. Potongan pajak belum tentu mendorong pergerakan ekonomi melalui konsumsi atau investasi. Dana stimulus (tidak langsung) belum tentu memicu pergerakan kegiatan ekonomi, karena para pembayar pajak merupakan orang dari golongan menengah/atas yang sudah berada pada level "saving-taker". Artinya, penghematan pajak belum tentu digunakan untuk berbelanja atau investasi. Itu tentu berbeda dengan stimulus langsung ke masyarakat yang pasti akan digunakan berbelanja. Manipulasi itulah yang terjadi atas paket stimulus pemerintah.
Sebetulnya potensi PHK terjadi pada buruh kontrak atau buruh outsourcing di lini produksi. Pendapatan mereka biasanya di bawah PTKP, dan tidak kena pajak. Jadi, skema stimulus ini sebenarnya tidak akan menyentuh mereka. Di luar itu, skema stimulus potongan pajak membuka peluang penyelewengan. Titik rawan dana stimulus ada pada penentuan kriteria dan perusahaan penerima proyek. Tidak terbukanya kriteria dan perusahaan penerima stimulus jadi titik rawan korupsi. Pogram stimulus disusun terburu-buru dan cenderung mengorbankan pengawasan. Apalagi, alokasi dan penggunaan dana diputuskan lewat kompromi politik. Yang terjadi kemudian adalah praktek dagang sapi.
Kita bisa becermin pada penyelewengan dana stimulus di AS. Contoh yang baik adalah kasus perusahaan asuransi American Insurance Group (AIG). Pemerintah AS mengucurkan dana US$ 170 miliar bagi AIG sejak September 2008, setelah pada kuartal terakhir perusahaan itu merugi hingga US$ 61,7 miliar. Celakanya, oleh perusahaan asuransi terbesar di AS itu, sebagian dana stimulus justru dibagi-bagikan dalam bentuk bonus kepada 73 pegawai eksekutifnya. Masing-masing kebagian lebih dari US$ 1 juta. Bahkan delapan eksekutif puncak AIG masing-masing menerima bonus US$ 4-6,4 juta. Tabiat curang ini bukan monopoli AIG. Saat bangkrut, eksekutif korporasi AS justru bermewah-mewah dengan naik jet pribadi. Ini tak adil karena dana stimulus itu dari pajak rakyat.
Potensi penyelewengan dana stimulus fiskal berwujud potongan pajak cukup terbuka. Ini terjadi ketika pada sebuah perusahaan yang ditetapkan sebagai penerima dana stimulus, ternyata sang pengusaha tidak memberikan jatah potongan pajak kepada pegawai atau pekerjanya. Sang majikan bisa saja berkilah, jika jatah potongan pajak diberikan--sesuai dengan ketentuan pemerintah--kapasitas produksi perusahaan akan berkurang. Akibatnya, PHK tak bisa dicegah. Karena perlu pekerjaan, mau tidak mau sang pegawai pasrah. Relasi patront-client, buruh-majikan, atasan-bawahan berlaku. Padahal, alasan sang pengusaha bisa saja dibuat-buat. Dan yang terpenting, alasan itu menyalahi aturan.
Berbeda dengan kejahatan perseorangan yang korbannya perorangan, kejahatan korporasi korbannya lebih massal, karena ia bekerja lewat sistem dan kebijakan. Untuk menekan potensi penyelewengan, pertama, pemerintah harus memperjelas kriteria perusahaan penerima stimulus. Daftar perusahaan penerima stimulus harus diumumkan ke publik, sehingga masyarakat luas bisa terlibat dalam proses pengawasan. Kedua, melibatkan serikat pekerja (perusahaan) untuk meningkatkan pengawasan.
Pelibatan serikat pekerja amat bermanfaat untuk mengecek kebenaran alamat pemotongan pajak, betulkah para karyawan pembayar pajak itu menerima sebanding dengan jumlah pajak yang selama ini dibayar melalui pemotongan gaji mereka? Jika tidak, timbul pertanyaan: pajak yang mereka bayar itu atas nama siapa? Karyawan atau perusahaan. Jika atas nama karyawan, pastilah jumlah pengembalian pajak yang mereka terima sesuai dengan yang mereka bayar. Jika tidak, kejujuran perusahaan perlu dipertanyakan dan perlu diteliti. Mesti disadari, kemampuan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Dinas Perindustrian amat terbatas. Tugas pengawasan memang ada di pundak mereka. Tetapi, mata, telinga, tangan, dan kaki mereka tak akan mampu menjangkau semua sisik-melik penyelewengan. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/29/Opini/krn.20090429.163862.id.html
Share this article :

0 komentar: