TAJUK, Jusuf Kalla
KETUA Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla tengah memainkan gamblingpolitik tingkat tinggi.Pertaruhannya bukan hanya berisiko kalah atau menang, tapi berdampak lebih jauh dan dalam lagi.
Reward permainan zero sum game ini bisa berujung pada dua pilihan ekstrem,”hidup atau mati”. Hidup artinya politisi asal Makassar itu berhasil meraih target politiknya, maju dalam pemilihan presiden (pilpres) dan syukur-syukur bisa mengambil hati rakyat agar memberinya kesempatan memimpin bangsa ini.
Pilihan berikutnya mati,karena risiko yang diterima Kalla akan seperti efek domino. Dia bukan cuma kehilangan target politiknya, tetapi semua kedudukan dan privilese politik yang dinikmatinya saat ini.Kehilangan segala-galanya! Kalla tidak hanya gagal terpilih sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres),tapi juga berpeluang gagal ikut berkompetisi dalam pilpres,8 Juli nanti,hingga jabatannya di partai berlambang beringin terancam.
Malah bisa saja sepak terjangnya saat ini akan menjadi serpihan cerita perjalanan panjang dinamika Golkar,karena Kalla tidak lagi di partai yang pernah berkuasa di Era Orde baru ini karena ditinggalkan teman-temannya. Kasus Akbar Tanjung memberi pelajaran, sekuat-kuatnya jaringan pertemanan dibangun dan sehebatnya-hebatnya darma bakti dan prestasi dipersembahkan untuk partai, masih kalah oleh kepentingan individu maupun faksi di dalam partai.
Adagium ”There are no permanent friends and permanent enemies, but only permanent interests” seolah sudah menjadi panduan perilaku politik Golkar.Apalagi untuk Kalla yang selama ini kurang maksimal membangun basis politik. Begitu pun di fora politik nasional,sangat mungkin Kalla tidak lagi mendapat peran penting seperti dilakoninya sejak era pascareformasi.
Dengan kata lain, saat ini adalah ujung akhir dari perjalanan karier politik Kalla (the end of Kalla). Kemungkinan hidup atau mati adalah risiko wajar dari keberanian Kalla bertarung dalam pilpres vis a vis Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan menentang arus yang berkembang di internal partai.
Keberanian berpisah dengan SBY dinilai keluar dari pakem rasionalitas dan pragmatisme Golkar yang selama ini dikenal sangat cermat mengalkulasikan peta politik. Berbagai survei mengungkapkan, siapa pun kandidat capres akan sulit membendung SBY yang mempunyai elektabilitas sangat tinggi, termasuk Kalla.
Karenanya, seperti disampaikan Muladi, langkah Kalla tidak lebih sebagai wujud keputusan emosional yang hanya mengedepankan ”harga diri”karena ditinggalkan SBY. Pada saat bersamaan, Kalla juga dianggap menarik partai ke medan oposisi.Sebuah pilihan yang tidak pernah tercatat tradisi dan bersemayam dalam jiwa kader Golkar.
Singkat kata,Kalla telah berani menyalahi khitah Golkar sebagai partai pragmatis dan partai pemerintah. Kita memang tidak bisa skeptis melihat Kalla tidak akan memenangkan gambling politik.Apalagi saat ini angin segar kembali bertiup seiring komitmen yang dibangun Golkar,Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan beberapa partai lain untuk membentuk koalisi besar.
Koalisi ini membuka peluang bagi Kalla mencapai target politiknya,entah sebagai capres maupun cawapres. Saudagar Bugis ini juga menunjukkan track record sebagai politikus tahan banting.Lihat saja pada era Gus Dur.Politikus kawakan ini tidak mati langkah saat diberhentikan dari jabatannya dengan tuduhan yang tidak mengenakkan.
Dengan segala kekuatan dia bangkit lagi dan bisa menjadi menteri koordinator kesejahteraan rakyat di era Megawati,bahkan menduduki posisi wakil presiden mendampingi SBY. Kalla seolah sangat memahami risiko politik,seperti dipetuahkan mantan Perdana Menteri Inggris Winston Chruchill,”In war,you can only be killed once,but in politics,many times.”
Karena itu, pada sesi pertarungan politik kali ini dia tentu akan mengeluarkan segenap sumber daya, materi maupun jaringan, untuk memperbesar peluang keberhasilan.Kalla jelas tidak mau ”mati”begitu saja. Kalaupun dia kalah,tentu jangan dimatikan begitu saja.
Pikiran out of the box Kalla masih sangat dibutuhkan bangsa ini, seperti saat membuat terobosan solusi konflik rasial di Poso dan konflik disintegrasi di Aceh yang tidak bisa diselesaikan lewat jalur diplomasi formal maupun militer.(*)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/233989/
TAJUK, Jusuf Kalla
Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 11.37
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar