BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mereka Hidup dalam Bayangan Rentenir

Mereka Hidup dalam Bayangan Rentenir

Written By gusdurian on Minggu, 29 Maret 2009 | 11.15

Mereka Hidup dalam Bayangan Rentenir
Memasuki Desa Krasak, Kecamatan Pecangaan, Jepara, akan terlihat banyak rumah membuka toko aksesori berbahan dasar monel. Maklum, hampir semua penduduk di wilayah itu berprofesi sebagai perajin monel. "Selama lima tahun terakhir, monel diminati sebagai pengganti emas putih. Kini sedang ngetren," ujar Muyasir, salah seorang perajin.

Orang akan sulit membedakan monel dari emas putih. "Kalau tidak ahlinya, sulit,” kata Muyasir. Proses pembuatannya hampir sama dengan emas kuning. Bedanya, emas harus dilebur dulu, sedangkan monel tinggal dibentuk. Bahannya sudah tersedia dalam wujud pelat, kawat, atau lempengan.

Dengan alat phons, mesin bor, motor listrik, alat pijar api, dan gunting tuas, para perajin bekerja. Untuk membuat kalung, misalnya, perajin memulai dengan memotong kawat sesuai dengan ukuran. Lalu nyungklon, bitingan, dan jepit. Terakhir, finishing, yang oleh perajin disebut langsal atau braso. "Hasilnya putih bersih dan bercahaya," ujar Muyasir.

Keahlian mereka tak diragukan, karena sebagian besar perajin mengawali usahanya sebagai kemasan (pembuat perhiasan emas). Perajin lainnya, H. Abdul Kholik, 65 tahun, yang juga pembuat aksesori kriya dan logam di Sekolah Menengah Kejuruan Jepara, mengatakan perhiasan monel tidak akan karatan dan tidak menyebabkan alergi, karena bahannya dari nikel, tembaga, besi, mangan, silikon, dan aluminium.

Kerajinan monel dikerjakan turun-temurun sejak 1950 di Desa Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan, Jepara. Perintisnya, Sarpani dan Rukan. Untuk memperoleh bahan baku, kala itu perajin mencari barang bekas. Imam Muhtadi membeli kapal rongsok. Dan Kholik membeli kerangka pesawat dari Yogyakarta, seberat 500 kuintal, pada 1985.

Kholik mengakui, sesungguhnya pasar kerajinan monel cukup bagus. Tapi usaha itu kini surut karena sulitnya mendapatkan bahan baku dan modal. Hal itu pula diakui Solichin. Menurut dia, saat menyetor barang, pedagang grosir tidak langsung membayar. Perajin hanya menerima nota, yang jatuh temponya dua bulan.

"Saya menyimpan dua nota, nilai satu nota Rp 2 juta," ujar Solichin. Yang agak meringankan, nota itu bisa untuk jaminan membeli bahan baku. Menurut dia, sebagian besar perajin hidup dalam bayangan rentenir. Untuk meminjam ke bank, mereka tidak memiliki agunan. "Saya terpaksa bayar bunga 6 persen satu bulan, agar usaha bisa berputar," ujar Solichin.

Karena itu, para perajin berharap Proyek Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, yang mengalokasikan dana Rp 200 juta, bisa untuk menyambung usaha.

Namun, masalah masih menghadang. Kucuran dana sebelumnya, dari Rp 70 juta kredit yang macet, Rp 40 juta di antaranya dikemplang kelompok pengelola. "Saya sudah minta koordinator atau pemerintah membenahi, tapi tidak ditanggapi," ujar Ir Mustofa, Koordinator Badan Keswadayaan Masyarakat Desa Krasak.

Meski demikian, kata Kholik, monel sempat menjadi penyelamat perekonomian di Desa Kriyan, Bakalan, Robayan, Margoyoso (Kecamatan Kalinyamatan), Krasa, Gemulung, Bugel, Sukarjati, dan Banyuputih (Kecamatan Pecangaan). Tiga tahun yang lalu, terdapat 450 unit usaha, melibatkan 1.500 pekerja. Tapi kini di Desa Krasak tinggal ada 50 perajin.

Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Jepara, Heri Purwanto, menyebut terdapat 184 unit usaha, melibatkan 725 tenaga kerja. Produksinya mencapai 14.961 buah per bulan, senilai Rp 389 juta. "Nilai investasinya sekitar Rp 353 juta," kata Heri.

Sebagian besar dari mereka merupakan usaha keluarga. Kholik, misalnya, mengerjakan usaha itu bersama istri dan dua anaknya. Pemasarannya, selain membuka toko di depan rumah, dia mengirim perhiasan itu ke Jakarta dan Surabaya.

Tapi kebanyakan para perajin didatangi pedagang partai besar. "Persaingannya sangat ketat," ujar Solichin, perajin khusus cincin. Empat tahun yang lalu dia masih menjadi pemain tunggal, tapi kini sudah ada puluhan pesaing di desanya.

Dengan empat pekerja, dalam sebulan Solichin mampu memproduksi 500 kodi cincin. Di ruang kerjanya, tampak empat mesin dinamo kapasitas 1/2 PK/900 W, juga alat solder tenaga gas. Dalam sehari, hasilnya dari Rp 75 ribu hingga Rp 100 ribu.

Umumnya pekerja dibayar murah, Rp 7.000 hingga Rp 12 ribu sehari. Sebagian besar anak putus sekolah, tapi ada juga yang masih sekolah. Isa, 15 tahun, seusai sekolah, bekerja setengah hari. Pulangnya, dia membawa pekerjaan untuk ibunya, merakit kalung atau nyungklon. Upahnya Rp 27 ribu. Sedangkan untuk pekerja bitingan, Rp 50 ribu per kilogram. "Selesai lima hari," ujar Aminah.

Kantor Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan, dan Catatan Sipil Jepara mencatat ada 1.936 buruh anak, separuhnya bekerja di industri itu. BANDELAN AMARUDIN

Gelang Identitas Jemaah Haji

Suatu hari pada 1980-an, Zaenuri Basri, Ketua Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, di Desa Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara, gusar saat mendengar kecelakaan pesawat terbang pengangkut jemaah haji di Colombo.

Dia lalu menemui Dirjen Urusan Haji Burhanudin, mengusulkan agar jemaah haji Indonesia diberi identitas berupa gelang monel. Selain harganya terjangkau, monel memiliki titik leleh 1.200 derajat Celsius.

Menurut Kholik, usulan itu diterima dan hingga kini masih digunakan. Gelang monel yang dilengkapi nama dan asal daerah anggota jemaah haji tentu akan sangat bermanfaat untuk memudahkan pencarian bila ada yang kesasar. BANDELAN AMARUDIN



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/28/Berita_Utama-Jateng/krn.20090328.160756.id.html
Share this article :

0 komentar: