BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Darwin dan Kita

Darwin dan Kita

Written By gusdurian on Minggu, 29 Maret 2009 | 11.16

Darwin dan Kita

Oleh ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN

Pada tahun 2009, Charles Darwin, seorang tokoh pemikir dunia yang menggagas teori seleksi alam sebagai mekanisme evolusi, genap berusia 200 tahun. Kalau dihitung dari bukunya, The Origin of Species, yang terbit pada 1859, usia pemikiran tersebut adalah 150 tahun.

Meski sudah lama wafat, ada baiknya kita mencermati kembali pemikiran tokoh ini, tidak hanya karena jasanya yang besar bagi memajukan ilmu pengetahuan, tetapi juga relevansinya dengan sejumlah persoalan bangsa kita sekarang ini.

Tulisan ini tidak bermaksud mengulas kembali teori-teori evolusi yang digagasnya, melainkan ingin menunjukkan arti penting dan relevansinya bagi kita sebagai bangsa di tengah perubahan dunia yang cepat kini.

Sebenarnya gagasan evolusi bukan semata-mata dari Darwin karena sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh seperti Carolus Linnaeus (1707-1778) dan Charles Lyell. Kedua pendahulu ini berpendapat bahwa untuk memahami asal-usul suatu makhluk hidup, kita harus menyelidiki keanekaragaman makhluk yang hadir di dunia kita masa kini. Meski tidak secara eksplisit menyatakan sebagai teori evolusi, keduanya adalah peletak dasar pemikiran evolusionisme yang kemudian dikukuhkan Darwin.

Sumbangan terpenting Darwin adalah teori seleksi alam sebagai prinsip tunggal yang dapat menjelaskan asal-usul spesies, diversitas biologi, dan kesamaan bentuk-bentuk kehidupan. Pemikirannya yang paling sig- nifikan bukanlah teori evolusi, melainkan gagasan bahwa seleksi alam menjelaskan perubahan evolusioner dan kemungkinan memprediksi ke masa depan.

Jadi, anggapan sebagian orang bahwa Darwin menggagas asal- usul manusia adalah makhluk seperti kera bukanlah kesimpulan langsung, melainkan kemungkinan implikatif yang belum terbuktikan. Teori seleksi alam adalah teori yang tetap kuat hingga sekarang, terlebih peralatan metodologi ilmiah untuk membuktikannya secara empiris semakin tersedia.

Keanekaragaman

Di tengah ingar-bingar kritik terhadap evolusionisme yang dipandang positivistik yang dianggap bertentangan dengan pemikiran konstruktif masa kini yang memosisikan manusia sebagai subyek, kita perlu mencermati kembali dan mengapresiasi pemikiran evolusionisme Darwin, khususnya yang terkait dengan kita sebagai suatu bangsa atas tiga pemaknaan berikut:

Pertama, teori seleksi alam Darwin yang berbasis biologi menjangkau dunia dalam ranah makro, berjangka panjang, dan prediktif. Seleksi alam adalah proses yang menentukan bentuk-bentuk biologi yang paling sesuai dan mampu bereproduksi dalam lingkungan tertentu. Agar seleksi dapat berlangsung, harus ada variasi dalam suatu populasi biologi yang diseleksi. Evolusi masyarakat dan kebudayaan adalah konstruksi teori yang merupakan analogi atau metafora evolusi biologi. Dalam analogi sosialnya, fakta keanekaragaman masyarakat bangsa kita menjadi tak terelakkan.

Kedua, secara eksternal proses memelihara keanekaragaman itu sebagai suatu kesatuan adalah membangun kemampuan bangsa untuk merespons dan menyesuaikan diri dengan struktur besar dunia, dan hanya yang mampu yang akan bertahan terus hidup. Namun, di sisi lain, keanekaragaman itu secara internal juga mengalami seleksi satu sama lain. Dalam analogi sosialnya, bangsa kita membutuhkan unsur pengikat yang mampu memelihara kesatuan dan mengelola proses seleksi internal tersebut.

Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia yang sedang berada dalam perubahan dunia, pemahaman atas pemikiran Darwin tentang seleksi alam secara makro dapat dipandang sebagai cermin yang harus kita maknai untuk memandang negeri kita ke depan dalam jangka panjang dan prediktif. Seleksi alam mengisyaratkan bahwa hanya bangsa- bangsa yang unggul yang akan te- tap eksis. Secara eksternal proses seleksi alam bekerja ”dengan baik” terhadap keanekaragaman bangsa di dunia, termasuk bangsa kita. Secara internal sebagai suatu bangsa majemuk, seleksi alam juga bekerja dalam konteks ini.

Apa implikasi praktikal ketiga makna di atas? Fakta menunjukkan bahwa berbagai kelemahan melekat pada bangsa kita. Di satu sisi, semangat dan identitas primordial masih kuat diaktifkan dan digunakan khususnya menjelang dan pada masa kepentingan-kepentingan politik menjadi sentral pada masa kini. Di sisi lain, unsur pengikat integrasi kita sebagai bangsa tampaknya kurang memadai.

Barangkali negeri kita adalah negeri yang terbanyak partai politiknya di dunia. Hal ini mencerminkan bahwa kita secara sosiokultural masih berpikir primordial. Upaya membangun pemikiran multikulturalisme yang diharapkan dapat menjadi pere- kat baru masa depan bangsa mulai dilakukan pada akhir tahun 1990-an atau awal tahun 2000-an. Sayangnya, gagasan besar dan penting itu kini cenderung dilupakan.

ACHMAD F SAIFUDDIN Guru Besar Antropologi FISIP UI



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/28/04273988/darwin.dan.kita
Share this article :

0 komentar: