BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pemilu 2009, Mampukah Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif?

Pemilu 2009, Mampukah Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif?

Written By gusdurian on Selasa, 13 Januari 2009 | 12.28

Pemilu 2009, Mampukah Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif?
Oleh J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

P ESTA pora menyambut hadirnya tahun baru telah usai. Perhelatan yang skalanya lebih besar berikutnya adalah pesta demokrasi. Sepanjang 2009, rakyat Indonesia akan disibukkan dengan pesta rakyat. Namun, masyarakat sebaiknya tidak tenggelam dalam ingar-bingar keramaian rakyat. Karena, memilih wakil rakyat dan presiden tidak sama dengan pemilihan ratu kecantikan. Pemilu adalah memilih orang yang bermartabat, bertanggung jawab, mempunyai kompetensi serta obsesi atau kegandrungan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Kesalahan melakukan pilihan yang tepat pertaruhannya adalah nasib bangsa dan negara di kemudian hari.
Ancaman sistem politik yang mendasarkan kedaulatan rakyat adalah simplifikasi demokrasi. Alasan pokoknya demokrasi modern, tidak mungkin seluruh rakyat berdaulat dalam bentuk menempati posisi-posisi penting dalam pengambilan keputusan politik. Dengan alasan tersebut rakyat harus rela menyerahkan kedaulatannya kepada 'segelintir elite' yang jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk negara yang bersangkutan. Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari dua ratus juta dengan tingkat heteregonitas sangat tinggi hanya diwakili tidak lebih dari seribu orang (anggota DPR dan DPD). Dengan harapan mereka akan menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan umat. Tingkat penyederhanaan yang luar biasa tersebut membuka peluang sangat besar terjadinya distorsi atau bias representaviness (tingkat keterwakilan), terutama akibat paradoks popularitas. Artinya, terpilihnya seseorang menjadi anggota parlemen atau pejabat publik karena popularitas sama sekali tidak menjamin mereka mempunyai komitmen dan kompetensi mengelola kekuasaan untuk kepentingan rakyat. Tidak ada garansi mereka mempunyai kapabilitas melakukan transformasi aspirasi dan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat menjadi kebijakan publik. Oleh sebab itu, kehidupan demokrasi harus selalu diiringi dengan peningkatan kekuatan masyarakat sipil.

Agenda Pemilu 2009 paling mendesak adalah agar sistem daulat rakyat segera menghasilkan perbaikan kehidupan masyarakat. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, dalam perspektif politik pertanyaannya adalah, apakah Pemilu 2009 dapat menghasilkan pemerintahan yang efektif? Pertanyaan tersebut berkaitan dengan dalil, yang didasarkan atas pengalaman empirik banyak negara di dunia, bahwa sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai tak terbatas. Perdebatan pemilu sebagai rekayasa konstitusional untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif dan parlemen yang representatif sudah menjadi perdebatan permanen. Ungkapan yang paling populer adalah, 'The combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain' (Scott Mainwarning, 1993).

Sebagai bagian dari rekayasa konstitusional, pemilihan umum adalah instrumen membentuk pemerintahan yang efektif dan lembaga perwakilan yang representatif untuk mengontrol eksekutif. Dalam khazanah ilmu politik, secara sederhana perbedaan mazhab (school of thought) bagi mereka yang menganut aliran sistem pemilu proporsional lebih menganggap pemerintahan yang efektif dan stabil. Bagi mereka yang orientasi studinya Anglo-American oriented, Inggris dan Amerika adalah contoh negara-negara yang mempergunakan sistem distrik dengan pemerintahan parlementer. Sistem pemerintahan parlementer yang dikombinasikan dengan sistem distrik biasanya dipraktikkan di negara-negara bekas jajahan Inggris, seperi India, Malaysia, Jamaika, ikatan persemakmuran Inggris, seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, dan lain sebagainya. Sistem presidensial Amerika, dii kuti Filipina, Puerto Rico, ser t a negara negara Amerika Latin pada umumnya. In donesia adalah salah satunya. Se mentara itu, sistem proporsional dengan kombinasi sistem peme rintahan parlementer banyak dipraktik kan di nega- ra-negara Eropa Kontinental.

Dengan mencermati beberapa pengalaman negara-negara tersebut dapat disimpulkan bahwa menentukan kombinasi sistem pemerintahan dengan sistem kepartaian sangat tergantung kepada latar belakang serta nilai-nilai yang dianut bangsa yang bersangkutan. Pilihan tidak pernah ideal dan tidak pernah permanen, dalam arti tidak tabu terhadap modifikasi. Sistem semipresidensial (cohabition) yang diterapkan di Prancis dewasa ini adalah produk perjuangan politik bangsa tersebut selama ratusan tahun melakukan uji coba untuk menemukan sistem pemerintahan yang dianggap cocok.

Sementara itu, di Indonesia dewasa ini mencoba mempraktikkan kombinasi yang tidak ideal, antara sistem presidensial dan sistem multipartai tak terbatas. Kombinasi itu mengharapkan terjadinya perpaduan antara sistem pemerintahan yang efektif sekaligus tingkat keterwakilan yang tinggi.

Pilihan tersebut tidak keliru, meng ingat masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Setiap kelompok masyarakat berhak mempunyai cara menyalurkan aspirasi melalui lembaga politik. Konsekuensi dari politik itu agar terjadi tingkat keterwakilan yang tinggi, maka proporsi ma syarakat sekecil apa pun, kalau dimungkinkan, harus mendapatkan wakil di parle men. Oleh sebab itu, mulai diintroduksi partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.

Tuntutan partai lokal juga sudah terdengar di Provinsi Papua, dan kemungkinan di masa mendatang partai lokal dapat saja dibentuk di provinsi yang lain. Sementara itu, memilih sistem presidensial untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil adalah pilihan yang benar pula. Negara yang sedemikian luas dan heterogen sangat memerlukan pemerintah yang kuat dan efektif. Namun, mengombinasikan kedua sistem yang ideal tersebut setelah satu dekade dipraktikkan, ternyata membuat pemerintahan sangat lemah. Oleh sebab itu, membangun pemerintahan yang efektif tidak hanya dapat diserahkan kepada rekayasa institusional, tetapi menyangkut budaya dan perilaku politik elite dan warga masyarakat yang bersangkutan. Harus ada roh dan kepemimpinan tegas yang dapat membangun semacam konsensus nasional untuk mencapai tujuan bangsa.

Perkiraan proyeksi hasil Pemilu Legislatif 2009 berdasarkan beberapa survei yang dilakukan para polster, dengan ambang batas parlemen sebesar 2,5%, hanya tujuh sampai delapan parpol yang akan terwakili di DPR. Mereka adalah (1) Partai Golkar, (2) PDI Perjuangan, (3) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), (4) Partai Demokrat, (5) Partai Persatuan Pembangunan, (6) Partai Kebangkitan Bangsa, (7) Partai Amanat Nasional, dan mungkin dapat ditambah Partai Hanura atau Partai Matahari Bangsa. Oleh sebab itu, sudah dapat dipastikan tidak satu parpol pun yang akan sangat dominan. Konsekuensinya pencalonan presiden dan wapres memerlukan penggabungan beberapa partai politik. Oleh sebab itu, untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dalam melakukan koalisi sangat diperlukan komitmen partai-partai yang mencalonkan kandidatnya. Mereka harus menerapkan disiplin di parlemen agar pemerintahan konsensional tersebut menjadi stabil dan efektif. Namun hal itu tidak mudah, mengingat sistem penetapan caleg dengan suara terbanyak akan mengendurkan disiplin kader terhadap pimpinan partainya. Dengan alasan mereka lebih mewakili rakyat dan bukan sekadar mewakili partai. Selain itu, kepemimpinan memang sangat diperlukan. Artinya, presiden dan wakil presiden harus mempunyai kemampuan membujuk, meyakinkan publik, dan anggota parlemen mengenai agenda politik dan pembangunannya. Sistem tersebut juga sangat penting diberlakukan di tingkat provinsi/kabupaten/ kota. Oleh sebab itu, belajar dari praktik penyelenggaraan pemerintahan selama sepuluh tahun terakhir ini, bagi presiden dan wakil presiden terpilih harus melakukan dua agenda urgensi yang sangat penting sebagai berikut.

Pertama, menyusun strategi pembangunan yang merupakan produk konsensus yang dijabarkan dalam strategi pembangunan nasional. Dengan mengingat struktur kekuasaan di tingkat daerah sama sebangun dengan sistem pemerintahan di pusat. Presiden dan wapres harus dapat memadukan visi dan misi pembangunan kader-kader parpol yang memperoleh kedudukan sebagai gubernur, bupati/ wali kota. Upaya ini sangat perlu dilakukan, mengingat selama ini agenda pembangunan di daerah tidak mempunyai strategi yang jelas. Undang-undang mengenai strategi pembangunan jangka panjang dengan mudah dapat dianulir dengan agenda dan program daerah yang dianggap mendesak.

Kedua, reformasi birokrasi. Tanpa dilakukannya reformasi birokrasi sebagai mesin penyelenggara pemerintahan, keputusan politik hanya akan menjadi dokumen tidak bermakna. Reformasi harus dilakukan secara sistematis, komprehensif, dan radikal mengingat tingkat kerusakan birokrasi sudah sangat sistemik, kronis, dan mendasar.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/01/13/ArticleHtmls/13_01_2009_010_001.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: