BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Para Legenda Bisnis Tanah Jawi

Para Legenda Bisnis Tanah Jawi

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Januari 2009 | 10.29

Oleh : Teguh S. Pambudi
Bisnis di Jawa Tengah tak dibangun dalam semalam. Ditelusuri ke belakang, muncul legenda-legenda bisnis yang bahkan berkaliber internasional, yang pasang- surut seiring dengan putaran zaman.

Bagi Jawa Tengah, Semarang adalah episentrum bisnis. Memang, kota ini bukan tempat peradaban pertama yang berdiri di provinsi itu. Namun dari sinilah, banyak rintisan bisnis bermula, melahirkan legenda-legenda bisnis, dan kemudian mengalirkan denyut serupa ke daerah-daerah di sekitarnya.

Embrio Semarang berawal pada abad ke-8 M, dari sebuah daerah pesisir bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) yang merupakan wilayah Mataram Kuno. Adalah pangeran dari Demak, Made Pandan, bersama putranya, Raden Pandan Arang, yang merintis kota yang namanya diambil dari pohon Asem Arang ini. Kelak, Pandan Arang oleh Sultan Pajang dinobatkan menjadi Bupati Semarang pertama pada 2 Mei 1547. Tanggal ini kemudian dipatrikan sebagai hari jadi kota yang terletak sekitar 485 km sebelah timur Jakarta, dan 308 km sebelah barat Surabaya ini.

Jauh sebelum Pandan Arang membangun Pragota, Semarang menjadi salah satu tempat singgah Sang Raja Samudra, Laksamana Cheng Ho. Pada 1405, armada Cheng Ho bersandar di Pelabuhan Simongan, untuk mengobati pembantu utamanya, Wang Jinghong (Ong King Hong), yang sakit. Di sini, Haji Mahmud Shams (nama lain Cheng Ho) mendirikan kelenteng dan mesjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Gedong Batu (Sam Poo Kong).

Pada 1705, Semarang memasuki tahun penting ketika Susuhunan Pakubuwono I menyerahkan kota ini kepada VOC sebagai bagian dari perjanjian karena telah dibantu merebut Kartasura. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda.

Tiga puluh lima tahun kemudian (1740), orang-orang Tionghoa di Batavia memberontak. Banyak orang Tionghoa yang melarikan diri kemudian tiba di Semarang untuk melanjutkan perlawanan. Tahun 1743, akhirnya VOC berhasil menumpas pemberontakan itu, dan memaksa orang-orang Tionghoa pindah dari daerah Simongan dan masuk ke Semarang. Agar mudah diawasi, mereka dikonsentrasikan di daerah sekitar Kali Semarang. Di sinilah awal munculnya daerah Pecinan Semarang meliputi daerah Beteng, Wotgandul, Cap Kau King, Gang Pinggir dan Kalikoping.

Untuk mengawasi daerah yang luasnya sekitar 40 hektar itu, VOC mendirikan tangsi militer, De Werttenbergse Kazerne. Kini gedung itu menjadi Pertokoan Plaza Semarang.

Hadirnya kawasan Pecinan turut memacu denyut bisnis di Semarang, kota pelabuhan di pantai Laut Jawa itu. Orang-orang Cina perantauan pun banyak yang mendarat di sini. Dan seperti dicatat sejarah, bermunculanlah legenda-legenda bisnis yang bermula dari sini. Liem Sioe Liong, misalnya. Sebelum membangun kerajaan bisnisnya, dia menghabiskan masa kecilnya di Gambiran, Semarang. Dia berdagang cengkeh, arang kayu, minyak wijen dan menyan berkeliling di sekitar Semarang, Kendal serta Parakan. Liem juga menjalin kemitraan dengan pengusaha Muslim Semarang yang sukses, H.M. Sulchan, untuk mengekspor kain batik Pekalongan.

H.M Sulchan yang lahir tahun 1910 adalah pengusaha yang terbilang mencorong di zaman Orde Lama. Dia memiliki jaringan bisnis yang luas, di antaranya PT Cejamp, NV HMS & Co, CV Kapok dan Hotel Sky Garden Gombel. Selain Sulchan, legenda bisnis lainnya adalah Nyonya Meneer, dan ada pula Raja Kulit H. Tasripin yang menguasai Semarang Tengah dan Semarang Utara.

Membicarakan legenda bisnis Semarang, tentulah tak lengkap tanpa menyebut Oei Tiong Ham (Huang Zhonghan). Lahir pada 19 November 1866 di Semarang, Oei adalah maestro bisnis pada zamannya. Dia adalah Raja Gula Asia Tenggara.


Tiong Ham merenda kerajaan bisnis pada 1890 setelah mewarisi Kian Gwan, perusahaan yang dirintis ayahnya, Oei Tje Sein, pada 1863. Tiong Ham adalah anak kedua Tje Sein, lelaki yang berasal dari Tong An di Fujian, Cina. Ketika Tiong Ham mengambil Kian Gwan, perusahaan ini bergerak dalam jual-beli karet, kapuk, gambir, tapioka dan kopi. Di tangan Tiong Ham, bisnis didiversifikasi hingga ke jasa pengiriman, kayu, sampai opium. Pada 1890-1904, laba Tiong Ham yang mengibarkan bendera Oei Tiong Ham Concern (OTHC) ditaksir mencapai 18 juta gulden.

Pada peralihan abad memasuki abad ke-20, Tiong Ham telah menjadi orang terkaya di Asia Tenggara. Cabang bisnisnya menyebar hingga Bangkok, Singapura, Hong Kong, Shanghai, London dan New York. OTHC juga mempunyai properti dan sejumlah pabrik di Jawa, sebuah bank, broker di London dan armada kapal yang terdaftar di Singapura.

Tak seperti kebanyakan pengusaha Tionghoa saat itu, Tiong Ham yang dekat dengan penguasa kolonial mempraktikkan kontrak bisnis dalam menjalankan usahanya. Ini membuatnya tidak populer di karangan pebisnis Tionghoa. Namun, memberinya kekuatan hukum ketika orang yang berutang padanya tak melunasi kewajibannya. Banyak yang berutang padanya adalah pemilik pabrik gula di Jawa Timur. Dan ketika mereka tak bisa melunasi kewajibannya sebagai efek krisis gula yang terjadi di tahun 1880, Tiong Ham menggunakan haknya sebagai kreditor. Dia mengakuisisi banyak pabrik gula, di antaranya pabrik gula Tanggulangin, yang menjadikannya terkenal dengan sebutan Raja Gula.

Tiong Ham meninggal secara mendadak pada 3 Juni 1924 karena serangan jantung di Singapura. Tiga hari kemudian, jasadnya dikebumikan di Semarang. Saat mangkat, dia meninggalkan harta yang jumlahnya sekitar 200 juta Gulden Belanda sehingga dijuluki Man of 200 Million Gulden.

Setelah kematiannya, kekayaan Tiong Ham jatuh ke tangan istri keduanya, Lucy Ho, yang dicurigai Oei Hui-lan telah meracuni sang taipan. Oei Hui-lan adalah anak Goei Bing Nio, istri pertama Tiong Ham. Di luar keluarga resminya itu, Tiong Ham disebut-sebut memiliki 18 selir. Setelah itu, mirip judul tulisan autobiografi Hui-lan, No Feast Lasts Forever (Tak Ada Pesta yang Tak Berakhir), perlahan tapi pasti bisnis Raja Gula ini memudar untuk kemudian hanya tinggal cerita. Pada 1961 seluruh aset OTHC diambil alih Pemerintah RI menjadi PT Rajawali Nusindo. Dan pada 1975, kuburan keluarga besar Oei Tiong Ham kabarnya dibongkar, jasadnya dipindahkan ke Singapura. “Lucunya”, di Singapura ada jalan Oei Tong Ham dan Oei Tiong Ham Park yang lokasinya dekat Holland Road.

Selepas Tiong Ham, memang belum ada pengusaha sekaliber dia yang muncul dari tanah Semarang. Mungkin hanya Liem Sioe Liong, yang seperti halnya Tiong Ham, kini tinggal di Singapura di masa senjanya. Kendati demikian, beberapa nama telah muncul yang disebut-sebut akan menjadi legenda tersendiri dengan kapasitasnya masing-masing. Di antaranya, Irwan Hidayat (Sido Muncul), A.W.S. Sudhamek (Garudafood), dan Jaya Suprana (Jamu Jago). Di luar mereka, menyusul pemilik PT Gentong Gotri, PT Bukit Perak dan PT Ulam Tiba Halim, serta masih banyak yang lain, yang tenang tapi menghanyutkan.

Tentang Semarang, Nyoto Wardoyo, Presdir Deltomed Laboratories, berpendapat bahwa kota ini memang menjadi magnet bagi pebisnis Ja-Teng. Contohnya, di industri jamu. Perusahaan-perusahaan jamu seperti Jamu Jago yang berdiri di Wonogiri pindah ke Semarang untuk akses bisnis yang lebih baik karena dekat dengan pelabuhan dan kota-kota besar lainnya. “Tetapi pada dasarnya, banyak produsen jamu memulai usahanya dari Wonogiri, seperti Jamu Jago dan Air Mancur. Sementara itu, produsen jamu yang asli Semarang seperti Sido Muncul dan Nyonya Meneer tentunya juga berada di Semarang karena kemudahan bisnis tadi,” Nyoto menjelaskan.

Namun, Ja-Teng jelas bukan hanya Semarang. Dinamika bisnis juga menyebar ke beberapa kota sekitarnya. Dan, umumnya tak akan pernah bisa dilepaskan dari batik, teh, rokok, ukiran dan jamu.

Pekalongan, umpamanya. Ingat Pekalongan, ya ingat batik. Begitu kata maestro batik Indonesia, Iwan Tirta, ketika bertemu dengan Romi Oktabirawa. Pemilik Wirokuto Batik ini mengatakan, kini lebih dari 65% suplai batik nasional dipasok dari Pekalongan. Batik itu sendiri ada sejak 1705.

Banyaknya pemain batik Pekalongan yang kemampuannya merata membuat jarang ada pelaku usaha yang menonjol dan jadi legenda. Justru di Laweyan, Solo, batik mencapai masa keemasan semasa Kyai Haji Samanhudi (Pahlawan Kebangkitan Nasional) yang ditandai oleh lahirnya Sarikat Dagang Islam pada 1911.

Di Laweyan, batik mulai dikenal tahun 1546 sewaktu Kyai Ageng Henis bermukim di daerah itu. Di padepokannya, Ki Ageng Henis yang kakek Susuhunan Paku Buwono II ini mengajari cara membatik dan mendorong lahirnya pengusaha-pengusaha batik. Batik Laweyan bahkan lebih dulu lahir dibanding batik keraton Kasunanan Surakarta. ”Karena orang keraton justru memanggil perajin batik Laweyan, kemudian diberi gelar untuk mengerjakan batik,” ujar Alpha Febela Priyatmono, Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan. Lantas, munculah kawasan batik Kauman di sekitar keraton. Di kalangan keraton, beberapa motif batik memang diciptakan spesifik. Maksudnya, hanya untuk kalangan orang-orang keraton. ”Kalau di Laweyan, batik lebih merakyat,” kata Alpha.

Masa keemasan Laweyan beringsut di periode 1970-an setelah muncul teknologi batik printing. Batik printing adalah produksi batik dengan motif batik yang mengadopsi teknologi printing. ”Teknologi batik printing mampu memproduksi secara massal,” ujar Alpha. Batik tradisional (tulis dan cap) pun segera tergusur, dan pengusahanya banyak yang gulung tikar. ”Kondisi ini dapat dilihat dari jumlah pengusaha: pada 1960-an hampir 90% penduduk di Laweyan bermata pencarian dari batik, pada 2004 tinggal 18 pengusaha yang masih bertahan,” ucap Alpha.

Untuk menyelamatkan keadaan, pada 21 September 2004 dibentuk Kampoeng Batik Laweyan Surakarta (KBLS) yang kemudian diresmikan Walikota Surakarta, Slamet Suryanto. Seiring dengan berdirinya KBLS, dibentuk pula Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan.

Aksi ini berdampak positif. Kini, jumlah unit usaha batik sesudah hadirnya KBLS terus melonjak signifikan. Pada awal berdirinya KBLS, jumlah unit usaha batik di Laweyan hanya 22 unit. Akhir 2008 jumlahnya 51 unit. KBLS, dikatakan Alpha, mendorong juragan-juragan batik yang lama tidak aktif untuk bangkit kembali.

Apakah kelak dari Laweyan akan muncul legenda baru sekelas Samanhudi, tentunya masih ditunggu. Yang pasti, mereka kini harus berjuang terlebih dulu melawan kerasnya persaingan, termasuk batik-batik impor.

Bergeser ke Pantai Utara, persisnya di Jepara, maka ukiran menjadi ikonnya. Oleh Pati Unus, Jepara dikembangkan menjadi kawasan perniagaan di samping terus menggerus ekspansi tentara Portugis. Namun, masa itu ukiran belum menjadi komoditas utama. Baru setelah Tjie Hwio Gwan, seniman asal Cina, memperkenalkan ukiran pada Ratu Kalinyamat (1549-79), seni ukir mendapat momentum. Sang Ratu tertarik pada seni ukirannya. “Kemudian dia dianugerahi nama Sungging Bandar Duwung,” kata Noer Yachman, pengusaha ukir Jepara yang juga pemilik Mustika Jepara. Dilihat dari makna katanya, sungging artinya ahli ukir, sedangkan bandar berarti batu, dan duwung artinya tatah.

Sejak diberi gelar oleh Ratu Kalinyamat, Bandar Duwung wajib menularkan ilmunya itu ke masyarakat Jepara dan sekitarnya. “Dari situ, lalu ukiran menjadi turun-temurun menjadi keahlian masyarakat Jepara,” ucapnya. Ukiran karya Bandar Duwung biasanya ditatahkan di sebuah batu putih, sedangkan motifnya berupa motif bunga. Semakin ke sini, Yachman tidak bisa menyebutkan angka tahun secara pasti, perkembangan ukir Jepara terus merambah pasar ekspor. Ukir Jepara telah berekspansi di lebih dari 100 negara tujuan. Karenanya, baru-baru ini Jepara memproklamasikan diri sebagai pusat ukir dunia, Jepara the World Carving Center. “Karena pusat ukiran memang berada di sini,” katanya.

Sementara Pekalongan dan Laweyan dengan batik serta Jepara dengan ukiran, Slawi dan Tegal dengan tehnya. Sejumlah nama besar muncul dari dua kota terakhir, seperti Teh Botol dan Teh Gopek.

Salah satu pelopor teh di Tegal adalah Teh Dua Burung yang didirikan Tan See Giam pada 1938. Cucunya Tan, Tatang Budiono, kini menjadi penerusnya. Tatang yang Direktur Teh Dua Burung mengungkapkan, kini perusahaanya, yang telah melibatkan lebih dari seribu orang, masuk lima besar nasional untuk segmen jasmine tea. Seperti pemain lain yang terus mengembangkan diri, Tatang juga berupaya membuat perusahaannya terus eksis. Terlebih, peluang pasarnya besar. ”Market teh Indoneia masih sangat besar di mana minum teh merupakan tradisi orang Indonesia. Sekarang saja anak kecil suka minum teh, bahkan di kafe-kafe orang memilih teh ketimbang kopi sebagai bagian gaya hidup,” ujar lelaki penggemar golf ini.

Bicara legenda bisnis Ja-Teng, tak juga lengkap bila tak menyinggung raja-raja keretek yang bermula dari Kudus. Adalah Haji Jamahri yang disebut-sebut sebagai perintis rokok keretek di Kudus yang bermula di kurun 1870-80. Namun, Nitisemito-lah Sang Raja Keretek yang dikenal luas. Lahir pada awal 1863 sebagai putra bungsu dari dua bersaudara keluarga Haji Soelaeman, Lurah Janggalan, Kudus, mulanya Nitisemito menjadi pedagang kain dan memproduksi batik. Baru pada 1906 Nitisemito mulai merintis rokok buatan sendiri yang bahannya dari rajangan tembakau, cengkeh, serta pembungkus daun jagung. Dia melempar produknya dengan merek Tjap Bal Tiga, setelah merek yang diluncurkan sebelumnya Tjap Kodok Mangan Ulo (Cap Kodok Makan Ular) tak membawa hoki, malah jadi bahan guyonan.

Bal Tiga resmi berdiri pada 1914. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar di atas lahan 6 ha. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, serta 7 pabrik rokok kecil (gurem). Di antara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (Delima), H. Ali Asikin (Djangkar), Tjoa Khang Hay (Trio), serta M. Sirin (Garbis dan Manggis).

Nitisemito melejit. Di mempekerjakan 10 ribu pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari pada 1938. Pasarnya luas, mencakup Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan Belanda. Namun, seiring dengan munculnya pesaing lain seperti Minak Djinggo (1930), Djamboe Bol (1937), Nojorono (1940), Djarum (1950), dan Sukun, pasar Bal Tiga pun menyempit. Masuknya Jepang memperburuk bisnis karena Dai Nippon menyita aset Si Raja Keretek. Pada 1955, kerajaan Nitisemito dibagi rata kepada ahli warisnya.

Dari sejumlah legenda rokok dari Kudus, boleh dikata yang terus membesar adalah Djarum, yang kini bersaing dengan dua legenda keretek Ja-Tim, Gudang Garam dan Sampoerna.

Jatuh-bangunnya para pebisnis dari Ja-Teng menunjukkan betapa dinamisnya bisnis di wilayah ini. Dan, tersebarnya bisnis di luar Semarang memperlihatkan betapa di tengah episentrumnya, yakni Semarang, kota-kota sekitar juga berdenyut untuk membentuk kluster tersendiri yang lahir senapas dengan budaya masyarakat setempat.


Reportase: Herning Banirestu, Husni Mubarak, Kristiana Anissa dan Sigit A. Nugroho; Riset: Arya Eka Nugroho


(swa)



http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=8542
Share this article :

0 komentar: