BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memaknai Dua Tahun Baru

Memaknai Dua Tahun Baru

Written By gusdurian on Kamis, 01 Januari 2009 | 12.00

Memaknai Dua Tahun Baru
Menuju Pendakian Spiritual Oleh Abd. A'la *Makna terpenting tahun baru, Masehi yang solar, Hijriah yang lunar, di antaranya terletak pada keberadaannya sebagai titik temporal untuk melakukan refleksi, melihat perjalanan yang telah dilalui, dan untuk membuat agenda strategis, sistematis, serta lebih arif ke depan. Kelemahan, kekurangan, atau bahkan kesalahan -individu, kelompok, maupun bangsa- pada masa-masa lalu diharapkan tidak terjadi lagi pada masa berikutnya. Selanjutnya, masa depan diupayakan menjadi masa yang mencerminkan kehidupan lebih baik dari berbagai aspeknya. Dalam konteks Indonesia, reformasi yang terkesan kuat berjalan terseret-seret dengan segala persoalan yang dibawa, atau musibah yang terus beruntun menimpa bangsa, perlu dilihat secara jernih, dicari akar penyebabnya, kemudian dieliminasi semaksimal mungkin. Demikian pula, bangsa ini perlu melihat segala ancaman semacam krisis global dan tantangan yang berpeluang sedang dan akan terjadi. Dari sini, bangsa Indonesia perlu mengonstruksi kehidupan baru yang lebih menjanjikan. Bukan hanya bagi bangsa, tapi juga untuk umat manusia.Makna Tahun Baru Kali ini ada dua tahun baru yang secara kebetulan datang berimpitan, tahun baru Hijriah dan tahun baru Masehi. Terkait dengan kedatangan tahun baru Hijriah 1430 yang bertepatan pada 29 Desember 2008, dua hari sebelum tahun baru Masehi 2009, umat Islam perlu menyikapinya sebagai media untuk melakukan muhasabah, refleksi, dan kritik diri yang perlu disandingkan dengan tahun baru Masehi. Sebagaina dinyatakan sejarah, tahun baru Islam sebagai salah satu hasil kreasi Umar bin Khattab ini merujuk pada hijrah Rasulullah (SAW) dari Makkah ke Madinah pada 622 Masehi. Upaya Umar (ra) menjadikan momen itu sebagai awal tahun baru bagi umat Muslim tentu bukan sekadar untuk memperingati peristiwa penting tersebut. Juga, tidak semata-mata untuk menjadikannya sebagai pedoman bagi peristiwa-peristiwa keagamaan yang terkait erat dengan putaran waktu yang bersifat lunar. Satu hal yang tidak kalah penting, melalui peresmian tahun baru Islam, hijrah Rasulullah (SAW) diharapkan akan terus hadir menyertai umat muslim secara khusus dan umat manusia secara umum. Melalui peristiwa bersejarah itu, makna dan nilai yang dikandungnya perlu dikontekstualisasikan ke dalam kehidupan konkret umat dalam rentang waktu yang tidak berbilang dan lokal yang tidak terbatas.Sejatinya, makna dan nilai hijrah seutuhnya merujuk pada sabda Nabi Muhammad SAW yang menegaskan keberadaan hijrah sebagai proses tranformasi menuju jalan Allah dan Rasul-Nya yang dilihat dari sudut mana pun bersifat etika-moral.Karena itu, hijrah dalam arti substantif lebih menampakkan diri sebagai pendakian spiritual untuk menggapai keluhuran moral-spiritualitas daripada perpindahan yang bersifat fisik. Migrasi fisikal tentunya juga perlu dilakukan manakala di wilayah yang lama proses transformasi spiritual mengalami kesulitan dan ancaman untuk diaktualisasikan. Pendakian moral itu pada gilirannya diturunkan lagi ke bumi menjadi gerakan transformatif menyantuni umat manusia dan kehidupan.Etika-moralitas sebagai unsur utama hijrah perlu terus dikembang-kukuhkan dalam kehidupan umat. Dengan demikian, hijrah menjadi gerakan transformatif yang merepresentasikan keadilan, kesetaraan, kedamaian, dan solidaritas sosial yang kukuh. Nilai-nilai itu masing-masing saling berkelindan dan tidak bisa dipangkas salah satunya, sebagaimana Rasulullah (SAW) mencontohkan secara nyata melalui Piagam Madinah.Nilai-nilai itu juga harus menjadi etos sosial dalam rangka pengembangan kehidupan yang mencerahkan yang melintas sekat primordialistis.Secara prinsip, tahun baru Masehi juga merepresentasikan nilai-nilai yang serupa. Bagi kalangan Kristiani, tahun baru Masehi adalah ejawantah dari nilai kasih, pengorbanan, dan etika-moralitas luhur lain yang niscaya dilabuhkan dalam kehidupan umat manusia. Pembumian nilai-nilai tersebut tidak terelakkan ketika tahun baru Masehi bekembang menjadi bersifat universal melampaui sekat-sekat keagamaan, etnis, dan sebagainya. Ia telah menjadi milik umat manusia yang perlu diperingati -bukan hanya dirayakan-untuk membangun kehidupan berdasar keluhuran nilai-nilai agama dan kemanusiaan universal yang transformatif. Makna Tahun Baru Melihat kondisi carut-marut Indonesia saat ini yang salah satu akar persoalannya bersifat moral, kontekstualisasi makna tahun baru ke dalam kehidupan konkret menjadi amat urgen. Melalui momen-momen yang mengandung makna moralitas ini, bangsa Indonesia dituntut untuk selalu melakukan refleksi dan menelanjangi diri sendiri dengan penuh kejujuran mengenai eksistensi serta peran mereka dalam membangun kehidupan. Ketika mereka menemukan bercak-bercak moral pada dirinya yang menjadi kendala dalam proses pengolahan kehidupan (dan mereka pasti menemukannya), mereka niscaya bersegera melakukan transformasi moral.Melalui dua tahun baru ini, proses transformasi moral dari umat Islam hendaknya disandingkan dengan proses dialog intens bersama rekan-rekan mereka yang Kristiani, juga dengan umat yang lain. Mereka masing-masing perlu saling mendialogkan pelajaran berharga yang dapat dipetik dari nilai dan makna peristiwa-peristiwa tersebut. Petanda dari ''langit'' mengingatkan keniscayaan itu.Mereka juga harus seirama bahwa moralitas luhur sama sekali tidak dapat diabaikan. Nilai-nilai itu perlu dijadikan pijakan kukuh untuk membangun kehidupan yang lebih mencerahkan yang ditandai adanya solidaritas dan kerja sama yang kukuh. Konkretnya, menapaki tahun-tahun baru yang rentang waktunya berdekatan ini, kita semua harus bisa merengkuh kekayaan nilai-nilai di dalamnya. Selanjutnya, kita dituntut mempersembahkannya dalam bentuk praksis konkret kepada bangsa, umat manusia, dunia, dan kehidupan.*. Prof Dr Abd. A'la, guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya
http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: