Andai Sholeh Jadi Caleg
Oleh Mochamad TohaMuhammad Sholeh, advokat muda penggugat sistem nomor urut caleg di Mahkamah Konstitusi (MK), menorehkan sejarah hukum dan peradilan di Indonesia. Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu berhasil mendobrak mekanisme sistem nomor urut caleg.Yang didobrak yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu. Suatu hal yang mungkin tak pernah dipikirkan caleg "nomor sepatu" dari parpol mana pun. MK mencabut pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008, karena bertentangan dengan UUD 1945.Yang mendapat tamparan keras putusan MK itu tentu parpol yang selama ini tetap ingin memakai sistem nomor urut caleg, seperti Partai Golkar (PG), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kecuali Partai Amanat Nasional (PAN).Meski ada pasal 214, PAN secara intern telah mengatur sistem caleg dengan suara terbanyak yang berhak menjadi wakil rakyat. Memang, pasal 214 itu menunjukkan upaya pembuat UU (baca: Pemerintah dan DPR) memberikan kewenangan penuh kepada parpol dalam mengatur calegnya agar terpilih. Caranya dengan menempatkannya pada nomor urut terkecil, padahal caleg itu belum tentu dikehendaki pemilih. Dengan begitu, seperti kata Sholeh, penentuan caleg tak lagi murni pilihan rakyat, tapi like and dislike dari petinggi parpol.Dia memang banyak tahu bagaimana parpol mengatur calegnya. Pasalnya, semasa masih aktif di PRD, saat Pemilu dan Pilpres 2004, Sholeh sempat bekerja untuk PDIP dan Megawati Soekarnoputri. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya itu setiap hari ke terminal dan naik bus kota "menjajakan" capres Megawati. Saya yakin, promosi itu tak pernah dilakukan para elite PDIP sekelas Sekjen DPP Pramono Anung atau Ketua DPP Sutjipto. Guruh Soekarnoputra pun tak mungkin mau meniru gaya Sholeh "menjual" Megawati. Berimpitan di bus kota penuh bau keringat dan ketiak menyengat.Mestinya PDIP bangga punya jurkam seperti Sholeh. Apalagi, gugatan sistem nomor urut caleg dalam mekanisme penentuan terpilihnya wakil rakyat itu kini sudah menjadi perhatian banyak pihak, tak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pejabat tinggi Indonesia lainnya.Ketua MK Mahfud M.D. yang sebelumnya menjadi anggota DPR dan wakil ketua umum DPP PKB tahu betul mekanisme perekrutan, pencalegan, dan penentuan siapa yang berhak menjadi wakil rakyat, khususnya di PKB. Dia tentu juga melihat bahwa sistem nomor urut caleg itu tidak adil. Seorang anggota DPRD Jatim dari Fraksi PD pernah mengeluh perihal kebijakan DPP PD yang -sebelum ada putusan MK- juga menerapkan sistem nomor urut caleg. Sebab, dengan sistem seperti itu seorang caleg ketua DPD bisa terpilih menjadi wakil rakyat dengan mudah. ''Dia bisa ongkang-ongkang, sementara kita di urutan bawahnya bekerja keras,'' kata pengurus DPD PD Jatim itu. Keputusan MK yang mencabut sistem nomor urut caleg itu tentu membuat lega caleg "nomor sepatu". Apalagi, MK meminta KPU melaksanakan putusan MK tanpa harus ada revisi UU/perppu. Tokoh politik seperti Amien Rais dan Ryaas Rasyid memuji putusan MK yang memberi hadiah berharga bagi pemahaman demokrasi yang sebenarnya. Bukan itu saja. Bahkan, Amien mengusulkan agar ketua MK diberi penghargaan. Padahal, kata Mahfud, itu putusan delapan hakim, bukan ketua MK. Putusan MK jelas membuat para caleg harus bekerja ekstrakeras untuk bisa mendapat dukungan suara dari rakyat (baca: konstituen). Caleg nomor urut kecil tak bisa santai lagi sambil menunggu limpahan suara dari nomor urut di bawahnya. Para caleg harus terjun langsung dan menyatu dengan rakyat pemilih. Itu yang pernah dilakukan Adjie Masaid ketika menjadi caleg PD dari sebelum pemilu legislatif (pileg) pada April 2004. Berbulan-bulan mantan suami penyanyi Reza Altamevia itu harus menyatu dengan warga Kabupaten Probolinggo. Usahanya menarik dana dari pusat untuk Probolinggo juga berhasil.Dengan demikian, Adjie pun mendapat pujian dari Bupati Probolinggo Hasan Aminuddin yang meminta caleg lain bisa seperti Adjie. Andai Sholeh menjadi caleg PDIP dari Dapil I Jatim (Surabaya-Sidoarjo), tentu saja dia bisa lebih menyuarakan konstituen PDIP, karena Sholeh tahu persis apa yang dimaui masyarakat.Sayang, Sholeh gagal menjadi caleg PDIP. Namanya dicoret petinggi DPD PDIP Jatim tanpa alasan yang jelas. Bukan rahasia lagi, untuk menjadi caleg itu ada nilainya. Biasanya, dipungut dengan dalih untuk operasional. Nilainya bergantung kelas parpol: kecil, sedang, besar. Untuk caleg DPRD kabupaten/Kkota sekitar Rp 10 juta, Rp 25 juta provinsi, dan DPR minimal Rp 50 juta. Gugatan Sholeh dan kemudian diamini MK patut diacungi jempol. Wajar jika MK dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa pasal 214 itu mengandung standar ganda. Yakni, mengakomodasi perolehan suara masing-masing caleg, tapi juga memakai sistem penentuan nomor urut caleg.Dalam putusan itu, MK juga mengkritik pembuat UU dalam penyusunan pasal 214 yang melanggar kedaulatan rakyat. Sebab, kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan pemilih tidak diindahkan dalam penempatan anggota legislatif. Andai Sholeh jadi caleg nomor urut satu, akankah dia menggugat ini? *. Mochamad Toha, wartawan Majalah Forum Keadilan
http://jawapos.com/
Andai Sholeh Jadi Caleg
Written By gusdurian on Kamis, 01 Januari 2009 | 11.58
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar