BAMBANG SOESATYO :
Nikmat perselingkuhan yangmelingkungisuami istri otomatis menjadi potensi gagalnya perkawinan. Apa jadinya kalau unsur kepemimpinan dan oknum birokrasi negara sudah terperangkap dalam perselingkuhan dengan mafia?
Sudah tentu akan selalu ada ekses atau konsekuensi logisnya. Paling utama adalah birokrasi atau pemerintahan gagal melaksanakan fungsinya sebagai abdi negara yang menjaga, melindungi, serta melayani negara dan rakyatnya. Jadi, belum sampai pada tahap Negara gagal.
Tetapi,negara akan menyimpan potensi kegagalannya sendiri ketika eksistensi sebuah rezim kepemimpinan yang gagal terus dibiarkan. Ada beberapa ciri kepemimpinan yang lemah dan gagal. Biasanya sang pemimpin selalu berupaya lari dari tanggung jawab dengan beragam alasan.
Selanjutnya, selalu setengah hati dalam mendelegasikan wewenangnya.Lalu,karena tak punya nyali pertanggungjawaban, dia menumpuk persoalan. Paling konyol adalah menutupnutupi ketidakmampuan dengan menampilkan dirinya sebagai sosok melankolis yang terus dizalimi lawan-lawan politiknya.
Akibat kepemimpinan yang lemah dan gagal, efektivitas birokrasi untuk menjalankan roda pemerintahan negara akan terus menurun. Derajat kepedulian birokrasi negara terhadap negara dan rakyat akan menipis.Pada gilirannya, kebobrokan ini akan berlanjut hingga tahap mengingkari hakhak rakyat atau warga negara.
Tuntutan rakyat hanya dilihat sebagai tekanan. Aspirasi rakyat ditanggapi sebagai nyanyian sumbang yang cukup didengar sesaat saja untuk kemudian ditertawakan di ruang tertutup.Para cerdik cendekia yang terus melancarkan kritik dinilai sebagai orang-orang kurang kerjaan.
Setiap orang pasti memiliki kalkulasi sendiri ketika diminta mengukur berapa besar kepedulian pemerintah dan birokrasi negara terhadap para TKI yang disiksa para majikannya. Masyarakat juga sering mempertanyakan kepedulian pemerintah terhadap bangunan sekolah yang roboh sehingga banyak anak didik harus belajar di ruang terbuka.
Belum lagi tumpukan masalah lain yang belum terselesaikan, terutama yang terkait dengan penegakan hukum.Akibatnya,ketika rakyat merasa harus mencari jalan keluarnya sendiri, ketika itu pula semua perangkat hukum, undang-undang, dan peraturan pemerintah pusat maupun daerah ditabrak, dilanggar atau diabaikan.
Apalagi jika saat bersamaan, rakyat melihat dan merasakan langsung banyak oknum birokrasi negara mempraktikkan perilaku amoral. Semua tujuan sempit oknum birokrasi negara diwujudkan melalui perselingkuhan dengan para mafia. Dari para mafia itulah unsur pimpinan maupun oknum birokrasi negara memperoleh untung berupa uang suap atau komisi karena para elite tak mau sekadar uang recehan.
Mereka menuntut para mafia membiayai usaha mereka memenangkan kursi pemimpin pada berbagai tingkatan kepemimpinan, baik di pusat maupun daerah, termasuk di institusi-institusi negara maupun daerah. Lantaran sudah masuk perangkap kenikmatan, elite pemimpin dan birokrasi negara bahkan cenderung enggan menyudahi perselingkuhan itu.
Kendali
Berlarut-larut perselingkuhan itu menyebabkan kekuatan pemerintah semakin tidak efektif dalam menjalankan roda pemerintahan negara, termasuk dalam mengendalikan birokrasi negara. Bahkan, rakyat bisa merasakan bahwa sebagian besar kendali pemerintahan sudah dikontrol oleh para mafia.
Itu sebabnya, soal keberpihakan pemerintah sering menjadi pertanyaan publik. Pertanyaan tentang keberpihakan itu memang relevan, pada sejumlah kebijakan pemerintah karena rakyat merasa dirugikan. Pada kasus hubungan dagang dengan China, misalnya, kebijakan Pemerintah Indonesia dinilai menguntungkan industri di China.
Sementara kebijakan yang sama justru menjadi instrumen yang membunuh industri, khususnya UMKM di dalam negeri.Ketika praktisi industri berteriak menyuarakan keluhannya, pemerintah tetap tak peduli. Begitu juga nilai tambah pertumbuhan ekonomi bagi rakyat kebanyakan.
Tahun 2010, pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 6%.Pemerintah memuji dirinya sendiri dengan angka pertumbuhan itu.Tetapi tidak peduli apakah angka pertumbuhan itu efektif merespons masalah kemiskinan dan pengangguran. Satu hal yang pasti,banyak kalangan merasakan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi kita buruk.
Kekhawatiran terhadap masa depan Indonesia sebagai negara gagal memang sangat beralasan. Keputusasaan dan frustrasi sosial terus bereskalasi. Lagi-lagi rakyat melihat para pemimpin politik di negara ini tak berdaya menghadapi penetrasi dan sepak terjang para mafia di sektor hukum, sektor pajak, dan ulah mafia di bidang kehidupan lainnya.
Eksistensi para mafia di negara ini langsung terlihat oleh publik setiap kali kasuskasus hukum berskala besar terungkap. Dari kasus BLBI, kasus Arthalita Suryani, kasus Gayus Tambunan,hingga kasus hakim Syarifuddin selalu merefleksikan peran dan kekuatan para mafia.
Rakyat melihat bahwa kemauan dan keberanian politik para pemimpin memerangi mafia hanya tertuang dalam katakata atau pidato, bukan dalam tindakan nyata. Buktinya, proses hukum skandal Bank Century dan mafia pajak nyaris tanpa progres. Kalau kemudian dimunculkan persepsi bahwa Indonesia berpotensi sebagai negara gagal,itu karena rakyat melihat para pemimpin politik dan birokrasi negara sudah tidak memiliki lagi keberanian politik untuk lepas dari cengkeraman para mafia.
Mereka berselingkuh dan terperangkap dalam perselingkuhan itu. Jika perselingkuhan birokrasi negara dengan para mafia tak bisa diakhiri maka sendisendi negara akan terus melemah. Birokrasi dan alat-alat negara pun tidak akan efektif lagi melayani dan melindungi semua kepentingan negara dan rakyat.
Lantaran kepedulian atau cinta birokrasi negara tak lagi dialamatkan kepada negara dan rakyat, melainkan hanya untuk partner selingkuhan mereka,yakni para mafia. Kini di ruang publik berkesimpulan bahwa pemerintah dan para pemimpin politik tidak berani memerangi mafia karena banyak kekuatan politik sudah menikmati keuntungan dari para mafia.● BAMBANG SOESATYO Anggota Komisi III DPR RI, Alumni Lemhannas KSA XIII
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/407880/
Nikmat perselingkuhan yangmelingkungisuami istri otomatis menjadi potensi gagalnya perkawinan. Apa jadinya kalau unsur kepemimpinan dan oknum birokrasi negara sudah terperangkap dalam perselingkuhan dengan mafia?
Sudah tentu akan selalu ada ekses atau konsekuensi logisnya. Paling utama adalah birokrasi atau pemerintahan gagal melaksanakan fungsinya sebagai abdi negara yang menjaga, melindungi, serta melayani negara dan rakyatnya. Jadi, belum sampai pada tahap Negara gagal.
Tetapi,negara akan menyimpan potensi kegagalannya sendiri ketika eksistensi sebuah rezim kepemimpinan yang gagal terus dibiarkan. Ada beberapa ciri kepemimpinan yang lemah dan gagal. Biasanya sang pemimpin selalu berupaya lari dari tanggung jawab dengan beragam alasan.
Selanjutnya, selalu setengah hati dalam mendelegasikan wewenangnya.Lalu,karena tak punya nyali pertanggungjawaban, dia menumpuk persoalan. Paling konyol adalah menutupnutupi ketidakmampuan dengan menampilkan dirinya sebagai sosok melankolis yang terus dizalimi lawan-lawan politiknya.
Akibat kepemimpinan yang lemah dan gagal, efektivitas birokrasi untuk menjalankan roda pemerintahan negara akan terus menurun. Derajat kepedulian birokrasi negara terhadap negara dan rakyat akan menipis.Pada gilirannya, kebobrokan ini akan berlanjut hingga tahap mengingkari hakhak rakyat atau warga negara.
Tuntutan rakyat hanya dilihat sebagai tekanan. Aspirasi rakyat ditanggapi sebagai nyanyian sumbang yang cukup didengar sesaat saja untuk kemudian ditertawakan di ruang tertutup.Para cerdik cendekia yang terus melancarkan kritik dinilai sebagai orang-orang kurang kerjaan.
Setiap orang pasti memiliki kalkulasi sendiri ketika diminta mengukur berapa besar kepedulian pemerintah dan birokrasi negara terhadap para TKI yang disiksa para majikannya. Masyarakat juga sering mempertanyakan kepedulian pemerintah terhadap bangunan sekolah yang roboh sehingga banyak anak didik harus belajar di ruang terbuka.
Belum lagi tumpukan masalah lain yang belum terselesaikan, terutama yang terkait dengan penegakan hukum.Akibatnya,ketika rakyat merasa harus mencari jalan keluarnya sendiri, ketika itu pula semua perangkat hukum, undang-undang, dan peraturan pemerintah pusat maupun daerah ditabrak, dilanggar atau diabaikan.
Apalagi jika saat bersamaan, rakyat melihat dan merasakan langsung banyak oknum birokrasi negara mempraktikkan perilaku amoral. Semua tujuan sempit oknum birokrasi negara diwujudkan melalui perselingkuhan dengan para mafia. Dari para mafia itulah unsur pimpinan maupun oknum birokrasi negara memperoleh untung berupa uang suap atau komisi karena para elite tak mau sekadar uang recehan.
Mereka menuntut para mafia membiayai usaha mereka memenangkan kursi pemimpin pada berbagai tingkatan kepemimpinan, baik di pusat maupun daerah, termasuk di institusi-institusi negara maupun daerah. Lantaran sudah masuk perangkap kenikmatan, elite pemimpin dan birokrasi negara bahkan cenderung enggan menyudahi perselingkuhan itu.
Kendali
Berlarut-larut perselingkuhan itu menyebabkan kekuatan pemerintah semakin tidak efektif dalam menjalankan roda pemerintahan negara, termasuk dalam mengendalikan birokrasi negara. Bahkan, rakyat bisa merasakan bahwa sebagian besar kendali pemerintahan sudah dikontrol oleh para mafia.
Itu sebabnya, soal keberpihakan pemerintah sering menjadi pertanyaan publik. Pertanyaan tentang keberpihakan itu memang relevan, pada sejumlah kebijakan pemerintah karena rakyat merasa dirugikan. Pada kasus hubungan dagang dengan China, misalnya, kebijakan Pemerintah Indonesia dinilai menguntungkan industri di China.
Sementara kebijakan yang sama justru menjadi instrumen yang membunuh industri, khususnya UMKM di dalam negeri.Ketika praktisi industri berteriak menyuarakan keluhannya, pemerintah tetap tak peduli. Begitu juga nilai tambah pertumbuhan ekonomi bagi rakyat kebanyakan.
Tahun 2010, pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 6%.Pemerintah memuji dirinya sendiri dengan angka pertumbuhan itu.Tetapi tidak peduli apakah angka pertumbuhan itu efektif merespons masalah kemiskinan dan pengangguran. Satu hal yang pasti,banyak kalangan merasakan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi kita buruk.
Kekhawatiran terhadap masa depan Indonesia sebagai negara gagal memang sangat beralasan. Keputusasaan dan frustrasi sosial terus bereskalasi. Lagi-lagi rakyat melihat para pemimpin politik di negara ini tak berdaya menghadapi penetrasi dan sepak terjang para mafia di sektor hukum, sektor pajak, dan ulah mafia di bidang kehidupan lainnya.
Eksistensi para mafia di negara ini langsung terlihat oleh publik setiap kali kasuskasus hukum berskala besar terungkap. Dari kasus BLBI, kasus Arthalita Suryani, kasus Gayus Tambunan,hingga kasus hakim Syarifuddin selalu merefleksikan peran dan kekuatan para mafia.
Rakyat melihat bahwa kemauan dan keberanian politik para pemimpin memerangi mafia hanya tertuang dalam katakata atau pidato, bukan dalam tindakan nyata. Buktinya, proses hukum skandal Bank Century dan mafia pajak nyaris tanpa progres. Kalau kemudian dimunculkan persepsi bahwa Indonesia berpotensi sebagai negara gagal,itu karena rakyat melihat para pemimpin politik dan birokrasi negara sudah tidak memiliki lagi keberanian politik untuk lepas dari cengkeraman para mafia.
Mereka berselingkuh dan terperangkap dalam perselingkuhan itu. Jika perselingkuhan birokrasi negara dengan para mafia tak bisa diakhiri maka sendisendi negara akan terus melemah. Birokrasi dan alat-alat negara pun tidak akan efektif lagi melayani dan melindungi semua kepentingan negara dan rakyat.
Lantaran kepedulian atau cinta birokrasi negara tak lagi dialamatkan kepada negara dan rakyat, melainkan hanya untuk partner selingkuhan mereka,yakni para mafia. Kini di ruang publik berkesimpulan bahwa pemerintah dan para pemimpin politik tidak berani memerangi mafia karena banyak kekuatan politik sudah menikmati keuntungan dari para mafia.● BAMBANG SOESATYO Anggota Komisi III DPR RI, Alumni Lemhannas KSA XIII
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/407880/