BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mulai Upeti hingga Pungli

Mulai Upeti hingga Pungli

Written By gusdurian on Senin, 22 Agustus 2011 | 09.49

Bukan rahasia lagi untuk kalangan PJTKI, orang-orang di sekitar Menteri Muhaimin itu menjadi momok dalam setiap urusan.

Meski statusnya sebagai staf khusus yang harusnya memberi solusi, mereka lebih banyak membuka jalan untuk kolusi."

Doni Pengelola PJTKI

BAGAIMANA sepak terjang para staf khusus dan asisten menteri di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans)? Dari penelusuran Media Indonesia, sejumlah pihak yang biasa berurusan dengan kementerian itu mengakui besarnya peran staf khusus dalam berbagai urusan.
Doni (bukan nama sebenarnya), seorang pengelola perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang beralamat di Jakarta Selatan, menyatakan keberadaan staf khusus Kemenakertrans sangat signifikan. Bahkan ia menuding keberadaan para staf khusus itu justru membuat praktik kolusi dan nepotisme di sektor ketenagakerjaan semakin kentara.

“Bukan rahasia lagi untuk kalangan PJTKI, orang-orang di sekitar Menteri Muhaimin itu menjadi momok dalam setiap urusan. Meski statusnya sebagai staf khusus yang harusnya memberi solusi, mereka lebih banyak membuka jalan untuk kolusi,“ tuturnya saat ditemui pekan lalu.

Ia menuturkan banyak PJTKI baru yang muncul setelah Muhaimin menjadi Menakertrans.
Proses pemberian izin pendirian PJTKI menjadi wilayah kerja para staf khusus itu.

Dengan setoran Rp300 juta-Rp500 juta, izin tersebut sudah bisa keluar dalam jangka waktu 2 bulan saja. Padahal jika melalui prosedur resmi, pengurusan izin ini membutuhkan waktu hingga 6 bulan. Syarat-syarat itu antara lain perusahaan yang harus berstatus hukum perseroan terbatas (PT) dan memiliki modal yang disetor senilai Rp3 miliar, serta memiliki uang jaminan berupa deposito senilai Rp250 juta.

Tidak hanya itu, bersama pejabat di Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tena ga Kerja Indonesia (BNP2TKI), para pejabat itu kerap menjadikan PJTKI sebagai sapi perah bila muncul kasus kekerasan TKI di luar negeri.

“Kalau ada kasus kekerasan di luar negeri terhadap TKI, kami harus bersiap untuk diinspeksi oleh pejabat BNP2TKI dan Kemenakertrans yang membawa aparat kepolisian dan wartawan. Pasti dicari sekecil apa pun kesalahan kami dengan ancaman sanksi maksimal hingga pembekuan dan pencabutan izin operasi,“ tuturnya.

Ujung-ujungnya, sambungnya, pengurus PJTKI harus menyediakan uang kas minimal Rp200 juta yang dibagi ke setiap pejabat BNP2TKI dan staf khusus Kemenakertrans.
Ia mengaku tidak tahu apakah uang tersebut sampai ke Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat dan Menakertrans Muhaimin Iskandar, atau tidak. Namun, dengan gamblang ia menyebut nama Jazilul Fawaid sebagai staf khusus Muhaimin yang sering menjadi penerima setoran dana dari PJTKI bermasalah tersebut.

Ia memaparkan, seharusnya ongkos yang dikeluarkan para calon TKI yang akan bekerja di luar negeri bisa lebih murah jika tidak ada praktik yang disebutnya sudah membudaya di kedua instansi pemerintah itu. Misalnya saja, biaya perekrutan dan pelatihan untuk calon TKI ke Korea Selatan yang normalnya sekitar Rp6 juta bisa membengkak sampai Rp30 juta. Begitu juga dengan biaya pengiriman TKI ke Arab Saudi, calon majikan diharuskan membiayai perekrutan dan pelatihan senilai US$2.500 (Rp20 juta).

“Pos untuk setoran yang tidak resminya banyak. Jadi, kalaupun pihak calon majikan yang membiayai, calon TKI tidak bisa menikmati uang sisa dari biaya perekrutan dan pelatihan tersebut secara maksimal,“ tuturnya.

Dari nilai puluhan juta yang dibayarkan calon majikan, sambungnya, seorang calon TKI hanya menikmati Rp2juta-Rp4 juta.
Sisanya digunakan PJTKI untuk membayar tenaga perekrut di lapangan (sering disebut sponsor) sebesar US$1.100 (Rp8,8 juta) dan Rp11,2 juta habis untuk biaya pelatihan dan pengurusan administrasi di Kemenakertrans dan BNP2TKI.

Nama Jazilul juga kembali disebut-sebut dalam pungutan premi asuransi yang harus dibayar calon TKI. Ia dituding menerima Rp100 ribu dari premi sebesar Rp400 ribu yang dibayar setiap calon TKI.

“TKI tetap harus menyetor premi ke perusahaan asuransi Rp400 ribu jika mereka sudah siap berangkat, dalam arti sudah mengantongi kartu tanda kerja luar negeri (KTKLN). Dari jumlah itu, nanti kami sisihkan Rp100 ribu untuk setoran ke Pak Jazilul, dan pengeluaran itu dimasukkan ke dalam komponen biaya premi asuransi. Karena itu kami harus mencari cara lain untuk menutupi pengeluaran itu karena Jazilul tidak mau memakai kuitansi, tanda terima, atau transfer lewat rekening bank,“ papar seorang manajer sebuah perusahaan asuransi yang masuk 10 anggota konsorsium asuransi TKI, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan (SK) Menakertrans No.Kep.2009/MEN/IX/2010.

Jazilul, yang juga tercatat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa, juga disebut sebagai pengumpul setoran dari kalangan konsorsium asuransi TKI rata-rata senilai Rp5 miliar per bulan.

Dipaparkannya lagi, dalam sebulan perusahaan asuransi tempatnya bekerja menerima pembayaran premi hingga sekitar Rp1,2 miliar dari para calon TKI yang akan berangkat ke luar negeri, yang rata-rata mencapai 3.000 orang. Dari nilai premi sebesar itu, Rp400 juta di antaranya harus ia serahkan ke Jazilul.

“Itu setoran rutin setiap bulan. Biasanya kita janjian dulu ketemuan di mana. Namun, pascamoratorium dengan Arab Saudi pada 1 Agustus lalu, setoran juga akan turun karena TKI yang berangkat ke sana akan berkurang drastis,“ tuturnya.

Dalam catatan Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati), setiap bulan premi asuransi yang dibayarkan PJTKI mencapai kisaran Rp20 miliar-Rp25 miliar. Selama 5 bulan pertama 2011, dana asuransi itu terkumpul hingga Rp92 miliar, sedangkan klaim asuransi yang dikeluar kan konsorsium asuransi TKI hanya berkisar Rp1,2 miliar untuk beberapa kasus TKI yang bermasalah di luar negeri.

“Padahal kalau mekanisme perlindungan dan pembayaran klaim asuransi sudah benar berjalan, tidak perlu lagi PJTKI ditodong untuk membayar ongkos pulang TKI yang bermasalah. Ataupun masyarakat harus patungan membayar uang pengganti (diat) TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi,“ ujar Sekretaris Jenderal Apjati Rusdi Basalamah, saat ditemui beberapa waktu lalu.

Saat akan dimintai konfirmasi mengenai tudingan serius itu, Jazilul sama sekali tidak mau memberi tanggapan. Saat sejumlah pertanyaan diajukan ketika Media Indonesia mencegatnya di Kantor Kemenakertrans beberapa waktu lalu, ia langsung menghindar dan langsung masuk ke ruang kerjanya.

Penjelasan dari pihak Kemenakertrans justru didapat dari salah satu asisten menteri Dita Indah Sari. Ia membantah tuduhan adanya setoran ke Kemenakertrans yang dipotong dari premi asuransi setiap calon TKI.

“Kalau potongan Rp100 ribu itu tidak ada.
Kalau ada juga, ya pasti sudah ketahuan,“ ucapnya.

Mengenai adanya konsorsium perusahaan asuransi yang tunggal, Dita menjelaskan, hal itu upaya untuk memperbaiki kondisi sebelumnya dengan jumlah konsorsium yang terlalu gemuk. “Sebelumnya ada sembilan konsorsium, masing-masing ada lima asuransi di dalamnya. Jadi hampir 50 perusahaan asuransi yang menangani TKI, sehingga repot mengontrolnya dan tidak fokus. Lalu, terjadi perang diskon,“ kata dia.

Ia juga menampik adanya praktik setoran upeti ketika ada inspeksi mendadak atau razia.
“Saya ke PJTKI itu hanya untuk mendengarkan pengaduan, misalnya ada masalah trafficking.
Itu pun yang memanggil PJTKI-nya juga bukan saya, tapi Dirjen Binapenta (Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja),“ tutur Dita.

Begitu juga dengan tudingan adanya pungli dalam setiap penerbitan izin pendirian PJTKI.
Ia menegaskan, penerbitan izin tersebut pada masa jabatan Muhaimin justru semakin ketat.
“Hanya lima atau enam izin yang dikeluarkan.
Target kita memang merampingkan jadi memang dibekukan, karena kebijakannya mengurangi. Padahal yang minta banyak,“ tutupnya.
(Tim/T-1)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/08/22/ArticleHtmls/Mulai-Upeti-hingga-Pungli-22082011018020.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: