Jika seorang guru mampu membuat jembatan antara know-do-be melalui serangkaian pembiasaan dan keteladanan yang disemai dan diangkat dari kearifan lokal, virtue akan tumbuh secara benar."
KEARIFAN (wisdom) dan lokal (local) ada lah dua kata yang sebenarnya memiliki arti sendiri-sendiri. Kearifan adalah kata sifat yang melekat pada karakter seseorang, yang berarti arif dan bijaksana, sedangkan lokal adalah kondisi sebuah tempat atau setempat.
Akan tetapi, ketika digabungkan menjadi satu, kearifan lokal, maknanya sangatlah luas terutama menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan tata nilai, kebiasaan, dan tradisi, baik budaya maupun agama, yang menjadi aturan dan kesepakatan tempatan (lokalitas). Karena itu, kearifan lokal bisa juga dimaknai sebagai gagasangagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan tertanam serta diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Sejauh ini, pemaknaan terhadap kearifan lokal dalam dunia pendidikan kita sangatlah kurang. Memang ada istilah `muatan lokal' dalam struktur kurikulum pendidikan kita, tetapi pemaknaannya sangatlah formal karena muatan lokal sama sekali kurang mengeksplorasi kearifan lokal. Muatan lokal hanya sebatas bahasa daerah dan tari daerah yang diajarkan secara apa adanya, tetapi melupakan bagaimana kearifan lokal seharusnya dimasukkan ke skema pedagogis secara kritis dan berkesinambungan.
Tantangan dunia pendidikan kita saat ini sangatlah kompleks.
Apalagi jika dikaitkan dengan kemajuan global di bidang sains dan teknologi, nilai-nilai lokal seperti hilang dan ditinggalkan.
Karena itu, eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa sangat perlu untuk dilakukan, sekaligus juga berupaya untuk mengkritik eksistensinya terkait dengan keniscayaan adanya perubahan budaya. Ruang eksplorasi dan pengkajian kearifan lokal menjadi tuntutan tersendiri bagi pengembangan lembaga pendidikan dan usaha-usaha eksplorasi khazanah budaya bangsa pada umumnya.
Kearifan lokal sesungguhnya meninggalkan banyak rekam jejak keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Para tokoh politik, pejabat, praktisi, dan pengamat pendidikan sering berbicara soal norma pendidikan, tetapi perilaku mereka sangat bertolak belakang dengan kenyataan pada umumnya. Mereka bicara pendidikan tapi minus keteladanan. Jelas bahwa mereka adalah para hipokrit yang bersembunyi di balik kebijakan pendidikan tetapi tak pernah belajar dari keteladanan yang genuine dari kearifan lokal budaya bangsa.
Jika ditilik dari logika antropologis, kebijakan pendidikan kita yang kurang menghargai kearifan lokal sesungguhnya merupakan upaya terstruktur dalam menghilangkan cultural identity, yaitu suatu identitas/ kepribadian budaya bangsa yang menjadikan sebuah bangsa mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai dengan watak dan kemampuannya sendiri. Padahal sejatinya, pendidikan harus mengadopsi kekayaan budaya lokal secara terencana dan berkesinambungan agar proses pendidikan mampu bertahan terhadap budaya luar, mengakomodasi unsur-unsur budaya luar secara bijak, mampu mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, dan bisa memberi arah pada perkembangan budaya bangsa (Ayatrohadi, 1986).
Pentingnya menempatkan kearifan lokal dalam struktur kurikulum kita secara luas dan sustainable merupakan bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Budaya Nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tak akan mati karena semuanya merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari. Pendidikan kita harus meyakinkan dirinya bahwa kemajemukan ini harus dipersandingkan, bukan dipertentangkan.
Kemajemukan merupakan manifestasi gagasan dan nilai sehingga saling menguatkan dan meningkatkan wawasan dalam mengapresiasi satu sama lain. Dus, kemajemukan harus menjadi bahan perbandingan untuk menemukan persamaan pandangan hidup yang berkaitan dengan nilai kebajikan dan kebijaksanaan (virtue and wisdom).
Jika mengikuti teori dan model globalisasi pendidikan yang diajukan Yin Cheong Cheng dalam Fostering Local Knowledge and Wisdom in Globalized Education: Multiple Theories (2002), setidaknya ada enam model teori globalisasi pendidikan, yaitu 1) theory of tree, 2) theory of crystal, 3) theory of birdcage, 4) theory of DNA, 5) theory of fungus, dan 6) theory of amoeba. Setiap teori mengasumsikan pentingnya mempertimbangkan kearifan lokal (local wisdom) sebelum sebuah kebijakan tentang kurikulum pendidikan diberlakukan. Identifikasi teori-teori ini ke dalam struktur lokal/daerah seharusnya dipertimbangkan dalam mengembangkan model pendidikan dengan standar internasional sekalipun.
Salah satu hal yang menarik dari pendekatan tersebut ialah teori sangkar burung (theory of birdcage), yaitu membuka diri terhadap globalisasi tetapi dalam waktu yang bersamaan juga berusaha menyaring pengaruhpengaruh negatif globalisasi.
Dalam teori ini, ideologi dan norma-norma sosial menjadi sumber dasar bagi desain kurikulum dan seluruh kegiatan pendidikan dengan lokus lokal dalam memanfaatkan global knowledge.
Muara dari kearifan lokal di sekolah pun harus menjelma menjadi semacam virtue (kebajikan) dalam seluruh proses pembelajaran di sekolah. Agar virtue dapat tumbuh dan berkembang dalam diri seorang anak, Susan M Drake dan Rebecca C Burns dalam Meeting Standards through Integrated Curriculum (2004) memberikan saran tentang arti penting pencapaian aspek ketiga dari proses belajarmengajar, yaitu menuntun agar menjadi (being). Jika seorang guru mampu membuat jembatan antara know-do-be melalui serangkaian pembiasaan dan keteladanan yang disemai dan diangkat dari kearifan lokal, virtue akan tumbuh secara benar.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/08/22/ArticleHtmls/CALAK-EDU-Kearifan-Lokal-22082011026040.shtml?Mode=1
CALAK EDU Kearifan Lokal
Written By gusdurian on Senin, 22 Agustus 2011 | 09.51
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar