Memenangkan Hati Papua
Amiruddin al-Rahab DIREKTUR EKSEKUTIF THE RIDEP INSTITUTE, ANALIS POLITIK PAPUA
Karena itu, pemerintah harus bertindak cepat dalam dua sisi, yaitu pelopori pembangunan yang bisa dijangkau dan menjangkau orang Papua di akar keladi. Sisi kedua, segerakan bentuk tim kecil untuk menjajaki dialog agar sumbatan politik bisa diretas.
Presiden SBY, dalam pidatonya untuk menyambut hari kemerdekaan di hadapan DPR/DPD RI pada 16 Agustus 2010, dengan lantang menyatakan bahwa upaya menyelesaikan persoalan Papua akan ditempuh lewat jalan “komunikasi yang konstruktif“. Setahun berlalu, langkah itu tidak pernah tampak wujudnya. Papua tetap saja ditangani secara sporadis dengan banyak tangan secara ad hoc.
Lambannya instruksi “komunikasi konstruktif“itu diwujudkan membuat masalah di Papua bertumpuk dan masalah baru terus bertambah. Jadi, tidak mengherankan jika sekarang ini semua pihak berteriak di Papua bahwa keadaan kian buruk. Gejalanya tampak nyata, dari kian kerapnya aksi bersenjata, kian banyaknya demonstrasi, tingginya angka pengangguran, besarnya jumlah penduduk miskin, hingga masih tingginya angka kematian ibu dan bayi akibat gizi yang buruk dan pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Puncaknya adalah aksi menuntut referendum pada 2 Agustus 2011 di Jayapura dan Manokwari. Aksi menuntut referendum itu hanyalah ujung tentakel dari aksi politik Benny Wenda di London, yang menyelenggarakan kampanye menggugat Pepera dalam sebuah diskusi di Cambridge University atas nama International Lawyer for West Papua (ILWP), yang didukung oleh International Parliaments for West Papua (IPWP). Aksi ini kemudian dibumbui oleh aksi bersenjata di Kampung Nafri, dekat Jayapura, yang menelan 4 korban jiwa.
Hilang wujud Semua ini bermula dari lambannya pemerintah daerah dan pusat dalam merespons perkembangan situasi sosial-politik dan sosial-ekonomi di Papua. Implikasinya adalah Papua tetap ditangani seperti tahun-tahun sebelumnya, tanpa arah dan tanpa program terfokus. Sandaran satu-satunya tetap pada upaya menggelontorkan dana triliunan rupiah dengan pengawasan yang lemah. Akibatnya, korupsi menggila.
Ditengarai ada sekitar Rp 4,3 triliun dana Otsus yang belum bisa diverifikasi penggunaannya. Bukan itu saja, lebih dari Rp 1 triliun dana Otsus dibiarkan diam di bank.
Padahal sekolah roboh, guru menghilang, puskesmas tanpa obat, dan dokter langka.
Kemiskinan menggila dan pengangguran menyiksa.
Celakanya, respons pemerintah atas semrawutnya penggunaan anggaran yang besar itu hanya melontarkan stigma. Menteri Pertahanan RI hanya menyatakan dana Otsus itu ada dipakai untuk memasok gerakan separatis di Papua. Pernyataan ini seakan menjadi pamungkas bahwa orang-orang di Papua tidak bisa dipercaya. Jika sudah begini, di mana komunikasi konstruktif yang diumbar oleh SBY pada 2010 itu?
Yang membeku Masalah Papua tidak bisa ditelusuri hanya dari manuver elite Papua semata. Masalah harus diselami ke arus bawahnya, karena di arus bawah inilah tersedia energi mahabesar bagi para elite di Papua untuk melakukan manuver dengan menggemakan tuntutan “merdeka“. Pada 5-7 Juli 2011 diselenggarakan Konferensi Perdamaian di Papua. Konferensi ini dihadiri wakil-wakil arus bawah orang asli Papua dari 30 kabupaten seantero tanah Papua. Dari konferensi ini terjaring paling tidak ada empat masalah mendasar yang menakutkan tetapi belum ditemukan kanal penyalurannya.
Pertama, trauma akan masa lalu yang keras dan destruktif. Artinya, dampak dari militerisasi Papua yang begitu panjang dengan menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) membuat orangorang Papua di akar keladi begitu hancur harga dirinya. Kekerasan itu terus ber ulang. Pemulihan atas kehancuran itu belum kunjung disembuhkan sampai kini.
Akibatnya, kepercayaan tidak bisa tumbuh.
Pengadilan HAM dan KKR sebagai sarana yang diwajibkan oleh undang-undang telah dilupakan pemerintah.
Kedua, gempuran investasi dan ancaman kehilangan tanah ulayat. Penetrasi investasi telah merebut tanah ulayat dari tangan orang Papua. Pada saat yang sama, orangorang Papua di akar keladi sama sekali ti dak siap menjadi tenaga upahan (proletarianisasi). Akibatnya, mereka kehilangan sumber daya untuk bertahan hidup akibat lepas ikatan dari tanah buruan dan garapan. Sementara itu, tuntutan hidup terus menekan karena sistem ekonomi uang telah menjerat mereka lantaran segala kebutuhan pokok datang dari luar.
Ketiga, arus imigrasi dari barat terus menekan populasi Papua. Dari perspektif Papua, arus imigrasi menghadirkan semacam monster yang tidak mudah mereka jinakkan, dan dipersepsikan siap menerkam mereka kapan pun. Monster migrasi ini begitu menakutkan di mata Papua, karena akan memojokkan orang Papua menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri di satu sisi, dan di sisi lain monster itu akan mudah menjalar ke seluruh tanah ulayat.
Keempat, hancurnya tatanan tradisi dan rusaknya tata hierarki kepemimpinan adat oleh sistem politik baru, yaitu sistem pemilihan langsung kepala daerah. Sistem pilkada secara langsung merusak jagat kosmologi Papua, karena uang yang berperan utama di dalamnya. Masyarakat yang tadinya diikat oleh tatanan adat dalam memutuskan dan mengelola sumber daya, sejak adanya pilkada langsung menjadi dikendalikan oleh calo-calo politik dan pengurus partai politik. Ikatan-ikatan komunal, suku, klan, marga, dan lain-lain sekarang ini bisa ditransaksikan dalam pasar politik pilkada, yang pada gilirannya bisa menjadi penghancur yang dahsyat. Peristiwa di Ilaga, Kabupaten Puncak, adalah puncak gunung es dari gejala yang mengerikan ini.
Memenangkan hati Kelindan dan jalinan dari keempat faktor yang menghadirkan ketakutan di alam bawah sadar orang-orang Papua itu terekam rapi dalam indikator Papua Tanah Damai yang menjadi hasil Konferensi Perdamaian Papua. Jika pemerintah saat ini memiliki political will yang nyata untuk mengurai masalah Papua, maka agenda pemerintah adalah mewujudkan seluruh indikator Papua Tanah Damai dalam bidang politik, keamanan, hukum dan HAM, ekonomi, serta lingkungan dan sosial budaya.
Kata kuncinya adalah berikan ruang kebebasan untuk berekspresi, hapus stigmatisasi separatis, akui hak ulayat dan hukum adat demi perlindungan hak-hak dasar, hentikan kekerasan, serta hadirkan aparatur pemerintah dan keamanan yang profesional dalam melayani masyarakat, dan adakan program pemberdayaan terhadap orang asli Papua.
Untuk memenangkan hati orang Papua, langkah-langkah itu tidak bisa ditunda lagi.
Jika penundaan terus terjadi, elite-elite Papua akan lebih mudah membakar ketakutan-ketakutan di akar keladi itu menjadi kobaran api di Papua. Jika itu terjadi, pidato atau ungkapan indah Presiden seperti di awal tulisan ini sama sekali tidak berguna untuk menenangkan keadaan. Karena itu, pemerintah harus bertindak cepat dalam dua sisi, yaitu pelopori pembangunan yang bisa dijangkau dan menjangkau orang Papua di akar keladi. Sisi kedua, segerakan bentuk tim kecil untuk menjajaki dialog agar sumbatan politik bisa diretas. Semoga.
http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/08/22/ArticleHtmls/Memenangkan-Hati-Papua-22082011012014.shtml?Mode=1
Memenangkan Hati Papua
Written By gusdurian on Senin, 22 Agustus 2011 | 10.01
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar