BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Lima Puluh Tahun Setelah Tembok Berlin

Lima Puluh Tahun Setelah Tembok Berlin

Written By gusdurian on Senin, 22 Agustus 2011 | 10.04

Nina L. Khrushcheva SENIOR FELLOW PADA WORLD POLICY INSTITUTE DI NEW YORK, PENGARANG BUKU IMAGINING NABOKOV: RUSSIA BETWEEN ART AND POLITICS

Yang jelas adalah bahwa, pada akhirnya, tidak ada tembok yang dapat menghambat demokrasi-dan begitu juga sebaliknya. Bahwa jika rakyat di suatu negara tidak cukup menginginkan demokrasi, maka tidak diperlukan Tembok Berlin untuk mengekang mereka.

Jarang suatu tonggak sejarah tersusun J begitu rapi dalam suatu bulan seperti pada musim panas ini. Lima puluh tahun yang lalu bulan ini, lahir Tem bok Berlin. Setelah terombang-ambing dalam keragu-raguan, Nikita Khrushchev, pemimpin Uni Soviet, akhirnya mengizinkan Walter Ulbricht, pemimpin Jerman Timur, membangun tembok yang memisahkan Berlin Timur dengan Berlin Barat guna menjamin kelangsungan hidup komunisme di seluruh blok Soviet. Sampai saat itu, Jerman Timur sudah kehilangan 3 juta orang--termasuk banyak di antara mereka orang-orang paling berbakat--sementara ratusan orang setiap hari terus dengan bebas dan aman melintas masuk ke zona wilayah Berlin yang dikuasai Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.
Dan 20 tahun yang lalu bulan ini juga, tokoh-tokoh garis keras dalam pemerintahan Soviet mencoba menggulingkan Presiden Mikhail Gorbachev, yang, dua tahun setelah Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan menyeru kepadanya untuk “merobohkan tembok ini“, berbuat persis seperti itu. Bagaikan suatu mukjizat, seorang reformis yang menginginkan Rusia menjadi bagian dunia Barat yang demokratis telah memegang tampuk kekuasaan di Kremlin.

Lawan-lawan Gorbachev, yaitu tokoh-tokoh garis keras dalam Politbiro seperti mereka yang dulu membelenggu Khrushchev pada saat dibangunnya Tembok Berlin, bertekad mempertahankan sistem usang yang dilambangkan Tembok itu. Tapi, pada Agustus 1991, warga Kota Moskow melawan. Mereka menentang kelompok garis keras yang berkomplot melakukan kup, dan pada akhirnya berhasil merebut hati sebagian besar Tentara Merah. Dengan perlawanan yang mereka lakukan, kup yang direncanakan itu akhirnya ambruk.

Warga Kota Berlin tidak bisa berbuat serupa ketika dihadapkan pada kekuasaan Soviet. Khrushchev memenuhi permintaan Ulbricht bahwa hanya satu tembok fisik yang bisa mempertahankan keberadaan negara Jerman Timur. Respons yang diberikan Khrushchev mengingatkan kita akan cara yang digunakannya menangani Revolusi Hungaria pada 1956, masa ketika ia baru saja mengkonsolidasikan kekuasaannya dan perlu menjinakkan kelompok garis keras di Kremlin.

Tapi, lima tahun setelah memerintahkan penindasan yang brutal terhadap tuntutan kemerdekaan yang bergema di Budapest, Khrushchev belum sepenuhnya yakin akan perlunya membangun Tembok Berlin. Ia khawatir bahwa kebijakannya untuk memperbaiki hubungan dengan Eropa Barat akan dirusak dalam proses ini, dan bahwa Presiden AS John F. Kennedy akan memandang Tembok Berlin sebagai tindak provokatif dalam suatu konfrontasi yang bisa berujung pada perang nuklir.

Khrushchev telah meletakkan harapan yang besar pada kemampuan Uni Soviet membangun hubungan yang lebih positif dengan Eropa Barat, terutama setelah terjadinya insiden pesawat mata-mata U-2 pada 1960 (ketika pesawat yang diterbangkan pilot Amerika, Gary Francis Powers, itu ditembak jatuh di atas wilayah Soviet) yang telah meracuni hubungan dengan AS.
Sementara itu, pertemuan tingkat tingginya dengan Kennedy di Wina sebelumnya, pada 1961, tidak menghasilkan apa-apa dalam upaya memperbaiki hubungan, sedangkan membangun Tembok Berlin pada 13 Agustus tahun itu tampaknya bagi Khrushchev merupakan tindak yang murni defensif, bukan unjuk kekuatan.

Khrushchev juga memperhitungkan na sib politiknya sendiri. Sejak Pidato Rahasia-nya pada 1956 yang mengutuk kultus individu Stalin, posisinya di dalam Politbiro telah melemah; dukungan yang diterimanya dalam kepemimpinan di Kremlin sangat dangkal dan tokoh-tokoh garis keras menyerangnya dari segala arah. Akhirnya, keputusan membangun Tembok Berlin itu merupakan upaya putus asa untuk menjamin kontinuitas pemerintahan komunis di Jerman Timur dan memuaskan keinginan mereka yang berbeda pendapat dengannya.

Brinkmanship alias kebijakan yang menyerempet bahaya seperti yang terjadi saat dibangunnya Tembok Berlin itu biasanya merupakan produk dari seorang politikus yang putus asa untuk menunjang posisinya di dalam negeri. Ironisnya bagi Khrushchev adalah bahwa, walaupun yang menginginkan dibangunnya Tembok Berlin adalah tokoh-tokoh keras itu, mereka kemudian mencantumkan ketidaktegasan Khrushchev membangun tembok ini dalam daftar tuduhan yang mereka gunakan untuk memaksanya meletakkan jabatan pada 1964. Keputusan yang diambil Khrushchev itu melanggengkan pemerintahan Soviet di Jerman Timur selama puluhan tahun, tapi keputusan itu juga menyumbang terhadap pudarnya pengaruhnya dalam kancah politik.

Ketika Gorbachev mengizinkan dijebolnya Tembok Berlin dan kemudian merobohkannya, ia kehilangan dukungan sebagian besar pimpinan Partai Komunis Uni Soviet bahkan lebih daripada yang dialami Khrushchev. Gorbachev pernah mengatakan kepada saya betapa Nicolae Ceausescu, diktator Rumania itu, menelepon dan memintanya mengerahkan tank ke Berlin untuk mempertahankan Tembok Berlin.

Tapi Gorbachev, walaupun masih seorang yang percaya kepada komunisme, me nolak mempertahankan imperium Soviet dengan laras senjata. Brinkmanship yang dilakukannya sangat berbeda dengan yang dilakukan Khrushchev: ia menantang Barat berani atau tidak mengakui dan menerima bahwa Uni Soviet sudah benar-benar berubah. Dalam sebuah percakapan dengan Menteri Luar Negeri AS saat itu, James Baker, Gorbachev mempertanyakan sikap Amerika yang selalu merujuk pada “nilai-nilai kebebasan Barat“, dan menegaskan bahwa “nilai-nilai ini semuanya adalah milik kemanusiaan“.

Ketika Barat mulai percaya bahwa Gorbachev dan reformasi yang dilakukannya memang murni, kemarahan kolega-koleganya di Kremlin memuncak. Para pemimpin kup pada Agustus 1991 memandang disingkirkannya Gorbachev sama seperti Ulbricht dulu memandang tuntutan yang meminta dibangunnya Tembok Berlin--sebagai satu-satunya jalan untuk mempertahankan pemerintahan komunis.

Ketika Barat mencoba memperingatkan Gorbachev akan adanya kup, peringatan itu sudah terlambat. Tapi tindakan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka dilakukan oleh rakyat Rusia mempertahankan kebebasan yang baru saja mereka nikmati, beserta tidak kompetennya tokoh-tokoh komplotan kup itu, akhirnya mengalahkan upaya memulihkan kembali pemerintahan totaliter di negeri itu.

Andaikan Tembok Berlin tidak dibangun pada 1961, akankah komunisme ambruk lebih dini? Andaikan Gorbachev merespons permintaan Ceausescu dan mengerahkan tank serta pasukan untuk mempertahankan Tembok Berlin, akankah komunisme di Eropa ambruk?
Semua ini merupakan pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Dan mengingat Gorbachev menolak menggunakan kekerasan di mana pun untuk mempertahankan imperium Soviet di Eropa Timur, maka pandangan yang mengatakan bahwa ia akan berbuat demikian untuk mempertahankan Tembok Berlin tidak masuk akal.Yang jelas adalah bahwa, pada akhirnya, tidak ada tembok yang dapat menghambat demokrasi--dan begitu juga sebaliknya. Bahwa jika rakyat di suatu negara tidak cukup menginginkan demokrasi, maka tidak diperlukan Tembok Berlin untuk mengekang mereka. Dunia harus berterima kasih kepada Vladimir Putin atas pelajaran yang bisa kita petik dari semua ini. HAK CIPTA: PROJECT SYNDICATE, 2011.


http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/08/22/ArticleHtmls/Lima-Puluh-Tahun-Setelah-Tembok-Berlin-22082011011003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: