BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bukan Salah Bunda Mengandung

Bukan Salah Bunda Mengandung

Written By gusdurian on Senin, 22 Agustus 2011 | 09.39

M SOBARY;

Apa salah para pendiri negeri kita ini—kaum idealis yang penuh semangat, jujur, dan tulus dalam perjuangan—sehingga generasi penerusnya, anak-anak dan para cucunya, terutama justru yang muda-muda, lebih khusus lagi para politikusnya, kelihatan begitu brengseknya?


Apa sebab kesalehan para orang tua melahirkan kebrengsekan dan watak ugal-ugalan pada anak-anak dan para cucu? Apa salah para pendiri negeri kita ini? Para pendiri bangsa lahir di negeri ini dan generasi penerusnya— anak-anak dan para cucu—juga lahir di negeri ini.

Para pendiri negeri kita bicara tentang kemerdekaan, nasionalisme, dan patriotisme, dan anak-anak serta para cucu pun brbicara hal yang sama. Tapi mengapa isi pembicaraan generasi penerus hanya gelembung kata-kata? Mengapa kita disuguhi kebohongan demi kebohongan tanpa henti?

Alangkah luasnya persoalan yang harus diuraikan di sini untuk memberi jawaban utuh atas persoalan di atas. Kita harus lebih dulu bicara tentang beberapa soal yang menyebabkan sikap dan pandangan hidup generasi pendiri negeri ini dan generasi penerusnya.

Kita harus juga berbicara kondisi politik dan dukungan birokrasi yang jauh berbeda antara di zaman generasi pendiri negeri kita dahulu dengan di zaman kita sekarang. Selebihnya kita harus juga bicara godaan materi di zaman itu, yang mungkin sangat kecil dan lemah, dibandingkan godaan materi yang begitu besar dan sangat kuat di zaman ini.

Apalagi di zaman ini materi menjadi ukuran utama harga diri dan penampilan manusia. Apalagi di zaman ini materi menjadi pujaan,disetengahtuhankan oleh manusia. Jelas tak semua manusia materialistis dan serakah.

Tapi bahwa pendirian dan cara memandang dunia materi macam itu telah menyebar demikian luas di masyarakat tak mungkin kita abaikan. Sikap pribadi dan kelompok di dalam masyarakat mungkin dibentuk oleh gagasan serta cara pribadi dan kelompok itu sendiri memandang persoalan hidup dan dunianya. Dan ini yang mungkin membentuk tingkah laku kita.Ini yang juga membentuk cara hidup kita.

“Idealisme?”

Kita pernah mendengar kata idealisme dan kata itu kita anggap baik. Dalam berbagai kesempatan kita membicarakannya seperti membicarakan benda suci. Kita memuliakannya. Kita memuji orang baik dengan ungkapan: dia memang orang idealis. Jarang orang seperti itu sekarang.

Dalam ungkapan itu terkandung penghormatan tinggi pada idealisme dan orang yang bersikap idealis. Itu cara pandang kita.Tapi cara pandang ini tak kita ikuti tindakan. Pandangan kita berbeda dari tindakan kita sendiri. Pendeknya, idealisme tak pernah kita telan. Kita bahkan tak pernah mengunyahnya.

Bagi banyak orang, mungkin terutamaparabirokratdanpara politikus, idealisme itu mengganggu. Mereka tak menyukainya. Kita sering mendengar ungkapan: “Ah, hidup yang konkret-konkret saja.”Kadang terdengar sanggahan dalam bentuk lain: “Hidup jangan muluk-muluk... yang realistis saja.”

Bagi mereka yang bernafsu ingin kaya secepatnya dan menikmati dunia ini sepuaspuasnya, hidup memang lain coraknya. Nafsu hidup ditujukan pada bagaimana menguasai materi sebanyak-banyaknya, tak peduli bahwa untuk kepentingan itu harus merampok uang rakyat.

“Nasionalis?”

Kelihatannya nasionalisme itu hanya sebuah kata.Apalagi, secara konsepsional kata nasionalisme memiliki—atau diberi—makna baru yang jauh lebih luas dibandingkan makna nasionalisme di zaman generasi pendiri negeri kita ini.

Tapi pergeseran makna kata tak dengan sendirinya membuat kita menggeser loyalitas kita pada kebenaran, pada keadilan atau pada kemuliaan cara hidup yang kita hormati. Kita tahu,banyak hal yang menentukan cara pandang atas hidup dan sikap kita sehari-hari, maka pertanyaan apa salah para pendiri negeri kita ini, seperti dikemukakan di atas, jawabnya mungkin— dan lebih jelas—tak ada.

Sikap dan cara pandang para leluhur kita itu satu hal. Sikap dan pandangan generasi sekarang— anak-anak dan para cucu mereka semua—jelas hal yang lain. Bagi kita lalu jelas, peribahasa yang dibuat oleh para leluhur, yang juga orang-orang bijak, mengenai “bukan salah bunda mengandung, buruk suratan tangan sendiri”, mungkin merupakan jawaban yang tegas dan tepat.

Anak-anak muda yang sangat serakah, yang mencuri uang rakyat hingga menjadi heboh seluruh bangsa, itu ulah mereka sepenuhnya dan tanggung jawab mereka.Dua orang muda,bahkan melibatkan pula istrinya, membuat kita sangat malu, mengapa ada manusia yang mampu mengembangkan keserakahan seperti itu.

Orang-orang tua,generasi Orde Baru yang juga serakah, tidak memengaruhi mereka? Mungkin—bahkan sangat pasti, sangat pasti, mengapa diragukan—memengaruhi mereka. Tapi mengapa anakanak muda, yang dulu mengejek Pak Harto, sebagai orang yang punya segalanya kecuali rasa malu,kini sikap itu mereka tiru?

Mengapa mereka pun tak tahu malu? Mengapa mereka, generasi pendukung reformasi, juga menjadi bandit yang merampok kekayaan negara? Dan mengapa mereka bersekutu— bukan mengutuk—generasi Orde Baru yang masih tetap menjadi koruptor sekarang? Apa salah para pendiri negeri ini, maka generasi penerusnya menjadi begitu brengseknya? Salah generasi penerus tak ada hubungannya dengan generasi tua.

Maka, seperti kata pepatah, bukan salah Bunda mengandung, (karena) buruk suratan tangan sendiri. Artinya, kalau mereka digantung, jelas hal itu karena buruknya hasil kerja tangan mereka sendiri.● M SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/422768/
Share this article :

0 komentar: