BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengharapkan Birokrasi yang Tangkas

Mengharapkan Birokrasi yang Tangkas

Written By gusdurian on Jumat, 08 Juli 2011 | 02.32

Ketika gempa bumi dan tsunami melanda Jepang,terdapat 88 delapan rangkaian kereta api supercepat yang berjalan di seluruh penjuru negara dengan kecepatan penuh.Semua perjalanan rangkaian kereta itu berhasil dihentikan tanpa satu pun insiden.

Betul bahwa itu sebuah pertunjukan teknologi tinggi.Tapi di balik itu pasti ada orang-orang yang bekerja dengan manajemen tertata di bawah komando yang tegas dan presisi. Begitulah birokrasi bekerja di Jepang, baik di korporasi maupun di lembaga pemerintahan.

Birokrasi di Jepang selalu bercitra positif, bekerja dengan cepat, tepat, dan efisien. Badannya pun ramping. Bandingkan dengan citra birokrasi kita yang terkenal lamban, tambun, dan kental dengan aroma korupsi. Michael Williams pernah menulis di Wall Street Journal, birokrat Jepang rutin bekerja 14 jam sehari.

Pada akhir tahun fiskal,mudah menemukan birokrat yang tidak mengambil libur barang sehari pun. Kerjanya tidak diisi dengan santai, tetapi bergelut dengan dokumen, saling berkonsultasi dan bertemu dengan mereka yang menginginkan kenaikan anggaran. Pada saat-saat penting penyusunan anggaran, birokrat di Kementerian Keuangan Jepang minimal bekerja 250 jam sebulan.

Mereka jarang pulang ke rumah hingga di setiap kubikel kantor selalu tersedia tempat tidur untuk istirahat. Dokter sesekali dipanggil untuk memberi injeksi vitamin kepada mereka yang bekerja tanpa kenal lelah. Bagaimana birokrasi Jepang bisa seproduktif itu? Tidak hanya budaya kerja tinggi yang selalu melekat, tetapi tidak lepas juga dari saringan yang sangat ketat.

Birokrasi di Jepang terdiri atas lulusan-lulusan terbaik dari kampus-kampus prestisius. Seleksi dalam satu tahun, 45.000 pelamar berebut 780 posisi pegawai negeri sipil. Di sini, birokrasi selalu menjadi bahan keluhan. Salah satu problem utama adalah bebannya terhadap anggaran.

Untuk sekitar 4,7 juta birokrasi di Indonesia, dibutuhkan belanja pegawai sekitar Rp180 triliun. Di daerah, alokasi belanja yang besar itu sebagian besar hanya untuk bayar gaji pegawai.Bahkan ada daerah yang 70% APBD-nya digunakan untuk bayar gaji. Wajar jika kemudian muncul rencana untuk memangkas birokrasi karena memboroskan anggaran negara.

Kita mendukung upaya pembenahan dengan perampingan untuk menghasilkan birokrasi yang efektif dan efisien.Tapi, di luar itu, persoalan lain yang mengiringi juga harus ikut dibenahi. Pertama adalah soal budaya kerja. Perbaikan tidak akan pernah muncul jika budaya kerja pegawai masih seperti sekarang ini.

Contoh dari Jepang layak ditiru dan sebagai awalnya, para pimpinan birokrat harus menjadi teladan bagi anak buahnya. Pembenahan berikutnya adalah soal rekrutmen pegawai negeri sipil yang menyisakan banyak masalah di berbagai daerah, terutama soal objektivitas.Jika rekrutmen menggunakan seleksi yang ketat, hasilnya tentu bibit-bibit berkualitas.

Pegawai yang datang sesuai kebutuhan dengan kemampuan tinggi niscaya akan menghasilkan pelayanan publik yang mengutamakan kualitas dan transparansi. Pembenahan berikutnya berkaitan dengan konstelasi birokrasi yang ikut dipengaruhi oleh tataran politis,yaitu pejabat yang rekrutmennya berasal dari proses demokrasi.

Ke depan, penting adanya agenda serta visi dan misi yang sama dari pejabat politis yang sering membawa agenda politik dengan pejabat yang sudah lama ada di birokrasi. Tidak seharusnya pejabat dari rekrutmen politik memasukkan agenda pribadi dan kelompoknya yang akan memperburuk cara kerja birokrasi.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411356/
Share this article :

0 komentar: