BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kontroversi RUU Intelijen

Kontroversi RUU Intelijen

Written By gusdurian on Jumat, 08 Juli 2011 | 02.24

BROTO WARDOYO:
Kontroversi RUU Intelijen semakin hangat menjelang rencana pengesahannya oleh parlemen dan pemerintah. Sebagian kalangan menilai RUU Intelijen yang saat ini dibahas masih sarat masalah.Sebagian yang lain memandang pengesahan tersebut perlu dilakukan secepatnya.


Beberapa butir yang mendapat tentangan, terutama dari kalangan masyarakat sipil,antara lain terkait dengan status kelembagaan (lembaga negara versus lembaga pemerintah), kewenangan penyadapan dan penangkapan, pembentukan lembaga koordinasi intelijen negara, hingga tidak adanya pengawasan internal.

Keberatan- keberatan tersebut harus dimaknai sebagai upaya konstruktif bagi terbentuknya UU Intelijen yang efektif dan demokratis. Kebutuhan akan hadirnya UU Intelijen di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses transisi menuju demokrasi.

Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari reformasi sektor keamanan dalam kebutuhan menciptakan kontrol sipil yang efektif terhadap aktor-aktor keamanan. Logika yang kemudian mendasari upaya pengaturan tersebut adalah adanya keberpihakan terhadap penjaminan hak-hak sipil.

Hal ini tentu harus dilakukan dengan tanpa melukai kebutuhan kinerja aktor-aktor keamanan secara efektif. Hal kedua yang juga harus disadari dalam perdebatan mengenai RUU Intelijen adalah kebutuhan untuk tetap meletakkan pembahasannya dalam konteks yang lebih besar.

Artinya, produk yang dihasilkan merupakan satu dari sekian banyak produk lain yang terkait dengan reformasi sektor keamanan. UU Intelijen harus dibangun sebagai sebuah sinergi besar dengan UU lain di sektor keamanan. Dengan demikian, kekhususan-kekhususan yang tidak diatur dalam RUU Intelijen harus diletakkan dalam pengaturan-pengaturan lain yang setingkat dan sebaliknya.

Perdebatan mengenai konten RUU Intelijen seharusnya tidak dipahami sebagai sebuah harga mati.Konsep “kewenangan yang harus dibagi habis” dalam penataan aneka aturan di sektor keamanan harus dipegang teguh. Catatan ketiga yang perlu dikedepankan dalam kontroversi pembahasan RUU Intelijen saat ini terkait dengan aneka kerangka pengawasan atas intelijen itu sendiri.

UU Intelijen dan UU lain yang terkait dengan intelijen merupakan kerangka normatif pengawasan politik atas intelijen. Selain kerangka normatif pengawasan, harus pula diciptakan kerangka pengawasan substantif, struktural, dan operasional. Pengawasan tersebut dilakukan dengan membangun kerangka pengawasan berlapis pada tataran eksekutif, legislatif, yudikatif, internal, dan masyarakat sipil.

Dualisme Pemahaman

Kontroversi RUU Intelijen saat ini juga terkait dengan dualisme pemahaman mengenai konsep intelijen itu sendiri. Dalam pemahaman sebagai sebuah aktivitas penyediaan informasi, beberapa kalangan mengkritik besarnya kewenangan yang diberikan kepada aparat intelijen.

Pemberian wewenang penyadapan dan penangkapan dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan. Perdebatan mengenai tingkat kewenangan ini juga muncul dalam reformasi intelijen di Amerika Serikat pascaserangan 9/11. Dalam kebutuhan tersebut, penggunaan prinsip nonderogable rights sebagai pijakan dalam melakukan aktivitasaktivitas intelijen (pengumpulan informasi, analisis informasi, operasi rahasia dan kontraintelijen) menjadi krusial.

Yang harus dicatat,jangan sampai perdebatan ini mengarah pada politisasi isu intelijen yang tidak konstruktif bagi penataan intelijen itu sendiri. Selain itu, perlu dibedakan antara aktivitas intelijen dan kesalahan kebijakan yang muncul sebagai dampak dari laporan aktivitas intelijen.

Pembedaan ini patut untuk dipertegas mengingat dalam konteks perdebatan RUU Intelijen saat ini muncul ketakutan akan penyalahgunaan intelijen untuk kebutuhan penguasa. Ketakutan akan hadirnya intelijen hitam ini tidak bisa diselesaikan dengan semata mengurung aktivitas intelijen dalam kandang yang kokoh.

Upaya untuk membatasi aktivitas intelijen akan memangkas efektivitas kinerja dan berdampak pada lemahnya kualitas keluaran. Penekanan harus diberikan pada hadirnya kontrol politik oleh eksekutif terhadap aktivitas intelijen yang berlangsung. Kontrol politik tersebut kemudian dimasukkan dalam ranah keseimbangan politik antarcabang kekuasaan untuk memastikan adanya penggunaan yang tepat.

Kontroversi RUU Intelijen juga terkait dengan pemahaman organisasional.Pembentukan Lembaga Koordinasi Intelijen Negara dengan kewenangan yang dipandang berlebihan menjadi salah satu sumber perdebatan. Dalam beberapa negara demokrasi, pembentukan satu lembaga sebagai pusat koordinasi antarlembaga intelijen merupakan hal yang lumrah.

Upaya koordinasi antarlembaga intelijen menjadi hal yang mutlak dalam menghadapi ancaman-ancaman di masa kini. Helen Fessenden dalam The Limits of Intelligence Reform secara khusus memberi perhatian pada masalah lemahnya koordinasi yang menjadi salah satu penyebab munculnya serangan 9/11 di Amerika Serikat.

Koordinasi juga dibutuhkan untuk meminimalkan persaingan antarlembaga intelijen. Meskipun diferensiasi fungsi telah dilakukan, tidak tertutup kemungkinan adanya overlapping yang mendorong persaingan antarlembaga intelijen.

Indonesia tidak boleh kembali ke masa intelijen hitam, tetapi bukan pula berarti harus menjadikan aktivitas sebagai sesuatu yang terang-benderang. Kontrol atas aktivitas intelijen harus dibuat terang-benderang, tetapi aktivitas intelijen biarlah ada di ruang yang gelap.● BROTO WARDOYO Koordinator Program Magister Terorisme dalam Keamanan Internasional, Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411102/
Share this article :

0 komentar: