Foto dan iklan di sini sebaiknya diringkas menjadi satu: iklan.Soalnya, keduanya esensinya sama.Foto para pejabat yang dipajang dimaksudkan sebagai iklan, dan iklan di media ya jelas iklan.
Apa esensi sebuah iklan? Kelihatannya begitu netral hanya memperkenalkan atau menawarkan suatu produk. Tapi, di dalam berbagai jenis iklan ada unsur tidak jujur dan sengaja menjerumuskan konsumen. Iklan yang lain jelas melebihkan apa yang tak lebih. Ini juga tidak jujur dan efeknya menjerumuskan secara fatal para konsumen.
Penipuan macam ini jelas terkutuk demi kemanusiaan. Tak sedikit iklan produk pangan yang mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan, dikatakan aman. Tak sedikit iklan obat yang makin memperparah kondisi kesehatan masyarakat.Tak jarang dokter bungkam seribu bahasa, bahkan diam-diam mendukungnya.
Kita tahu,ini semua tak bisa diubah begitu saja hanya dengan imbauan etis. Omong kosong macam ini sudah dianggap sebuah kewajaran. Sekarang ini ada iklan lain yang bukan produk dan sama sekali tidak etis tapi media menerimanya demi kepentingan bisnis, seolah di dalamnya tak ada ketegangan etis dan konflik-konflik nilai yang kita junjung tinggi.
Media, yang mengaku berdiri di garis terdepan dalam membela segenap kemuliaan yang menyangkut kehidupan publik,dalam urusan iklan macam ini tak berbunyi apa pun. Dewan etis yang mengawasi sepak terjang media bungkam. Guru-guru etika dan moral bisnis bungkam.
Penegak hukum syariah,yang menganggap dirinya gencar membela agama, pun tak bergerak. Pejabat memasang iklan memalukan itu dianggap wajar. Atasan pejabat yang bersangkutan, yang melihat anak buahnya sibuk memasang iklan tentang dirinya, juga bungkam. Bagaimana tidak bungkam, atasan itu sendiri juga gemar mengiklankan diri. ***
Sebelum bicara perkara lebih sensitif, kita cek dulu baik-baik, apa sebabnya para pejabat dan calon-calon pejabat di mana pun sekarang gemar mengiklankan diri? Iklan diri merupakan kebutuhan penting bagi semua pihak,juga bagi rakyat? Iklan diri menjelaskan prestasi mengesankan yang harus didengar publik?
Rakyat, yang tak mau ikut sinting bersama kesintingan umum, dengan hati-hati bertanya: kau ini siapa, berapa besar harga kompetensi-kompetensi teknismu, seberapa tinggi kredibilitas sosial-politik maupun moralmu, dan siapa yang pernah tahu jasajasamu kalau memang kau punya jasa?
Dengan kata lain,kalau kau bukan siapa-siapa dan tak bisa apa pun, mengapa kau begitu jumawa memasang iklan tentang dirimu,yang tak seberapa harganya? Kalau di dunia bisnis orang memasang iklan dengan biaya mereka sendiri, kau memasang iklan dengan biaya dari nenek moyangmu?
Kau keturunan Nabi Sulaiman yang terkaya di antara semua nabi? Kau keturunan Korun, yang tak berbilang jumlah kekayaannya? Iklan para pejabat dibayar dengan duit rakyat. Itu duit kita. Mengapa kita membiayai iklan orang-orang yang tak terlalu berharga,hanya supaya mereka bisa bertahan lebih lama di jabatan dan membikin mereka lebih mapan di mata publik,tapi akan menjadi lebih sering menipu kita?
Ini semua tak ada urusannya dengan tugas dan segenap kewajibannya untuk mengabdi kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Iklan para pejabat hanya sebuah omong kosong. Dan omong kosong dalam kategori ini wujud nyata sebuah kekerasan terhadap publik yang tetap merana hidupnya.
Dan, bagaimana pun ini barang terkutuk. Betapa getir rasanya,rakyat yang membayar pajak, taat aturan dan menerima apa yang dikeluarkan pemerintah tapi tak melihat hasil kerja pemerintah. Bagaimana kita rela ditipu mentah-mentah: kita menantikan keadilan dan kenyamanan hidup tapi yang diberikan pada kita hanya selembar kumis yang nempel di pojok-pojok kota? Apa gunanya selembar kumis? ***
Kita kagum dengan pakaian pejabat yang licin dan mahal harganya. Kita kagum melihat jambul para pejabat yang bisa membikin lalat terpleset saking licinnya.Tapi, bukankah itu belum cukup dan bahkan sama sekali tidak cukup? Kita menantikan dengan berdebar-debar, kapan para pejabat bekerja baik-baik buat menyelesaikan masalah bangsa?
Tapi kita tak pernah mendengarnya, kecuali omong kosong yang digembar-gemborkan di televisi atau di radio, yang tak ada hubungannya dengan kehidupan rakyat. Para pejabat itu kita harapkan bekerja.Tak peduli kapan dan di mana mereka bekerja, kita tidak tahu hal itu pun tak menjadi masalah.
Tapi, kita harus tahu hasil-hasilnya.Mereka boleh bekerja pagi, boleh sore, boleh tengah malam. Pendeknya, kita tak ingin tahu.Kita tak ingin campur tangan.Tapi beri tahu kita,mana hasil kerjamu? Saya kira begini seharusnya kita menilai para pejabat kita. Jangan lagi diulang, menilai orang dari tampilan di televisi yang rapi.
Jangan lagi tertarik kata-kata yang bisa membuat madu pun terasa pahit. Jangan lagi terpesona pada tata bahasa yang baik dan benar. Kita ingin dipesona dengan hasil kerja yang besar dan memberi manfaat bagi hidup kita.
Media–maksudnya para pemilik media–seharusnya kalian menolak iklan yang menipu rakyat itu karena bukankah kalian bagian dari ‘the most enlightened’ di antara para warga masyarakat? Mengapa kalian membiarkan–bahkan memfasilitasi–omong kosong para pejabat yang menipu kita dan artinya juga menipumu?
Kita ingin melihat pejabat– juga calon pejabat– yang memiliki konsep jelas: dalam posisi ini mau mengerjakan ini, mau memperjuangkan itu, untuk kepentingan kemajuan di bidang ini, ini dan ini.Dan bahwa selebihnya, demi semua itu, saya memiliki strategi khusus begini, mau bekerja sama dengan kelompok itu,itu dan itu,dan bahwa capaian-capaiannya minimal segini dan segitu. Jadi, semuanya jelas.
Dan kita tak ditipunya lagi terus menerus setiap lima tahun sekali. Bahkan, penipuan bisa diperpanjang lima tahun berikutnya, dan berikutnya lagi.Tak habis-habisnya. Iklan para pejabat, pendeknya, barang terkutuk.● M SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/413531/
Foto dan Iklan Para Pejabat
Written By gusdurian on Senin, 18 Juli 2011 | 12.15
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar