BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Strauss-Kahn dan Reformasi IMF

Strauss-Kahn dan Reformasi IMF

Written By gusdurian on Kamis, 02 Juni 2011 | 14.36

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn akhirnya mengundurkan diri. Setelah Kahn mundur, isu suksesi berembus kencang.Beberapa negara berkembang seperti China,Brasil, India,menyerukan agar proses pencalonan untuk posisi nomor satu di IMF dilakukan secara transparan.


Hal ini disampaikan sebagai upaya menentang dominasi Eropa atau Amerika Serikat di dua lembaga keuangan dunia, baik di IMF maupun di Bank Dunia. Sebelumnya Afrika Selatan, Brasil,dan Meksiko terangterangan menyatakan ingin mendapatkan kesempatan lebih banyak di IMF sebagai bentuk keterwakilan kepentingan negara-negara berkembang.

Namun keinginan negara berkembang tampaknya harus berhadapan dengan Eropa yang berambisi menjadi pengendali IMF. Dua kali krisis keuangan global terakhir telah memunculkan berbagai usulan dan perdebatan terkait perombakan sistem keuangan global.Negara berkembang yang didukung PBB dan sebagian negara Eropa, misalnya, berkeinginan kuat mengembalikan dua lembaga keuangan tersebut pada “khitah”-nya.

Dalam menapaki usianya yang ke-67, baik IMF maupun Bank Dunia telah menyimpang dari mandat awal. Berbagai formula ekonomi-politik, terutama penerapan liberalisasi pasar modal yang terlalu cepat, telah mempertajam destabilisasi ekonomi dunia. Bank Dunia dan IMF didirikan atas rekomendasi konferensi PBB tentang moneter dan keuangan internasional di Bretton Woods,Amerika Serikat (AS), Juli 1944.

IMF merupakan bagian dari upaya pembangunan kembali perekonomian dunia, khususnya Eropa, yang hancur akibat depresi tahun 1930-an dan Perang Dunia Kedua. Dua dekade kemudian, setelah Eropa pulih, kucuran kredit Bank Dunia dan IMF dialihkan ke negara-negara berkembang.

Pada dasarnya IMF adalah lembaga publik yang didanai oleh pembayar pajak dari seluruh dunia. Meski demikian, IMF “sekadar” bertanggung jawab kepada para menteri keuangan dan direktur bank sentral negara-negara anggotanya, bukan kepada rakyat pembayar pajak atau kepada masyarakat yang menjadi kelompok sasaran berbagai programnya.

“ Kontrol”atas IMF dilakukan oleh perwakilan negara anggota lewat pengambilan suara yang rumit dengan bobot suara masing-masing negara ditentukan oleh kekuatan ekonominya. Tak mengherankan bahwa negara-negara industri memiliki bobot suara terbesar dengan AS sebagai satu-satunya pemegang hak veto.

Menurut IMF dan Bank Dunia, reformasi ekonomi neoliberal adalah pil pahit yang mutlak dibutuhkan sebagai landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan bakal menaikkan taraf hidup masyarakat miskin.Namun kenyataan berbicara lain.Kebanyakan negara berkembang terjebak dalam utang luar negeri, yang menggerogoti devisa.

Selama ini bunga utang yang dibayar negara-negara berkembang telah jauh melampaui jumlah utang luar negeri mereka. Sejak krisis Asia (1997), wibawa Bank Dunia dan IMF sebenarnya telah merosot tajam.Kritik pun berdatangan, termasuk dari kubu konservatif yang selama ini menjadi sekutunya. Laporan Meltzer yang dipublikasikan Kongres AS, misalnya, memuat kritik keras atas dua lembaga ini sebagai “penuh rahasia, suka mengancam, dan sama sekali tidak membawa dampak positif,”( 2005).

Keinginan Negara Berkembang

Boleh jadi,akibat merebaknya kritik tajam sejak beberapa tahun terakhir, dan terutama sejak kepemimpinan Kahn,IMF kemudian mengajukan tuntutan yang terasa cukup adil agar para debitur swasta diwajibkan memberikan kontribusinya dalam pengurangan utang negara berkembang.

Selain itu, IMF juga mengusulkan agar diberlakukan penyelesaian kepailitan (insolvency) lewat sustainable debt restructuring mechanism bagi negara yang mengalami kesulitan pembayaran. Meski, usulan tersebut kemudian kandas oleh perlawanan dari komunitas perbankan internasional dan veto Kongres AS.

Krisis keuangan global juga memperkuat keinginan adanya kontrol yang lebih ketat atas arus dana global untuk menghindari dampak destabilisasi aliran dana. Sistem yang berlaku di Malaysia, kerap menjadi contoh,di mana investor portofolio diharuskan menaruh deposito di Bank Sentral sebagai jaminan.

Pengikut aliran ini mengusulkan sebuah sistem pengamanan regional. Dalam kaitan ini, Jepang pernah mengusulkan sebuah Asian Currency Funds. Usulan yang ditolak AS, meski kemudian secara provokatif diterapkan di beberapa negara Amerika Latin lewat pembentukan Banco del Sur sebagai tandingan IMF (dan Bank Dunia).

Selain itu, ada pula usulan untuk membentuk World Financial Authority (WFA), yang membiarkan berbagai lembaga regulasi global untuk tetap hidup.Mirip seperti yang diusulkan Perdana Menteri China Wen Jiabao pada KTT ASEM di Beijing (2008),bahwa sistem keuangan global membutuhkan lebih banyak regulasi demi menjamin keamanan bersama.

Keynesian global perspective ini memperoleh dukungan cukup luas di negara berkembang, termasuk PBB yang menjadi benteng terakhir kelompok Keynesian setelah neoliberalisme mendominasi Bank Dunia dan IMF. Terkait efektivitas, banyak yang meragukan keberhasilan kontrol dana secara global dan memilih kontrol secara nasional karena lebih mudah dan dianggap lebih berpeluang untuk berhasil.

Keberhasilan China dan India menghindari krisis keuangan 1997,diajukan sebagai bukti. Dengan kelompok Keynesian, terdapat kesamaan visi, bahwa sebuah Asian Currency Funds diperlukan dan sangat mungkin untuk dilakukan. Satu hal bisa dipastikan.Tatanan baru dunia memunculkan aktor, aturan, dan kelembagaan baru.

Hal ini memicu perebutan kekuasaan, terkait kepemimpinan dalam lembaga Bretton Woods di mana Bank Dunia sebagai “jatah”AS, sedangkan Eropa mendapatkan IMF. Saat ini kekuatan baru menginginkan hak suara lebih. Meski kecil, “jatah” tersebut mulai diberikan. Sejak kepemimpinan Kahn, misalnya, chief economist Bank Dunia adalah seorang warga negara China, seorang warga Afrika Selatan menjadi “bos”Komite Reformasi IMF.

Zhou Xiaochuan, yang pernah menjadi penasihat Kahn dan kini menjabat Gubernur Bank Sentral, digadang-gadang oleh China untuk menjadi orang nomor satu di IMF.Apakah kekuatan besar negara berkembang ini mampu mendobrak benteng Eropa yang biasanya mendapatkan “jatah”? ● IVAN A HADAR Pengamat Ekonomi-Politik Internasional, Co-Pemimpin Redaksi Jurnal SosDem

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/401517/
Share this article :

0 komentar: