BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Reinkarnasi UU Badan Hukum Pendidikan

Reinkarnasi UU Badan Hukum Pendidikan

Written By gusdurian on Kamis, 02 Juni 2011 | 14.22

Faizi Pemerhati pendidikan, mahasiswa magister studi Islam UII Yogyakarta



MASIH segar da lam ingatan ke tika Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), beberapa waktu lalu. Sebuah putusan yang amat sangat tepat bukan karena melanggar UU 1945 terutama tentang kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi pendidikan layak bagi warga negara, melainkan yang jauh lebih penting ialah menjauhkan institusi pendidikan dari spirit kapitalisme.

Pasalnya, manakala logika kapitalisme merasuki sendisendi institusi pendidikan, dengan sendirinya semangat pendidikan yang mengarah ke pencerdasan mental kehidupan bangsa akan termarginalkan.

Spirit liberalisme pendidikan akibat penyakit bawaan ideologi kapitalisme tersebut akan sangat mudah kita jumpai di lapangan. Orang kaya bebas memilih sekolah sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki, sebaliknya orang miskin bebas untuk tidak memilih sekolah karena pertimbangan minimnya biaya.

Dengan demikian, pendidikan hanya milik orang kaya dan orang miskin dilarang untuk mengakses pendidikan.
Jangankan mengakses, sekadar bermimpi untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan berkualitas orang miskin sepertinya tidak mempunyai daya dan upaya ke arah sana.
Itulah logika liberalisme pendidikan yang amat sangat sederhana.

Mencermati Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (PT) yang sedang digodok DPR seolah mengembalikan ingatan kita pada UU BHP yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pakar pendidikan Suyatno bahkan menilai hampir 80% isinya tidak relevan lagi karena porsi pengaturan tata kelola kampus sangat menonjol dan amat sangat mirip dengan UU BHP (Republika, 22/2/2011). Logika kapitalisme pendidikan Setidaknya ada dua hal penting yang harus menjadi catatan kritis terhadap RUU PT itu. Pertama, pemerintah sepertinya lepas tanggung jawab dalam hal pembiayaan. Pendidikan di perguruan tinggi seolah hanya disibukkan tata kelola kampus dengan menafikan peningkatan daya saing kualitas pendidikan dengan masih melibatkan peserta didik dalam memikul beban biaya pendidikan.

Dalam konteks itu, aroma lepas tanggung jawab pemerintah dalam hal pembiayaan sangat kuat. Pasal 88 ayat (3) menyatakan `mahasiswa menanggung 1/3 (sepertiga) biaya operasional perguruan tinggi'. Lagi-lagi, hak warga negara menikmati fasilitas pendidikan memadai dari negara tidak terakomodasi dengan sempurna.

Tampaknya pemerintah terjebak pada logika pasar pendidikan yang sudah begitu menggurita. Privatisasi pendidikan yang selama ini berlaku di negara kita dengan dalih aksi bersama masyarakat itu sebenarnya adalah pengalihan tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat dalam bidang pendidikan. Pemerintah menyerahkan tanggung jawab itu kepada publik sehingga pendidikan menjadi jasa yang diperjualbelikan.

Hanya mereka yang memiliki uang banyaklah yang mendapatkan pendidikan bermutu dan berstandar internasional.
Hal itu jelas bertentangan dengan UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah untuk memenuhi hak konstitusi sebagaimana dimuat dalam Pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi, `(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang'.

Filosofi bisnis menjadi salah satu landasan dalam praktik pengelolaan pendidikan oleh pihak swasta. Aset untuk investasi dan kapitalisasi merupakan pertimbangan yang lazim dalam dunia bisnis yang juga diterapkan dalam dunia pendidikan. Melalui landasan seperti itu, lembaga pendidikan swasta atau asing selalu sintas dan unggul baik pada tampilan fisik ataupun pada kualitas output dan outcome pendidikan.

Dengan dukungan modal (kapital) yang besar, mereka mampu mendirikan bangunan dan lingkungan pendidikan (sekolah atau kampus) yang luas dan megah dengan ditunjang fasilitas pembelajaran yang memadai. Mereka mampu membuka jurusan atau fakultas keilmuan yang baru dan relevan dengan tuntutan persaingan zaman oleh tenaga pengajar yang ahli di bidang masingmasing. Pelanggan mereka pun dijanjikan dan dijamin puas dengan layanan akademis yang dimiliki (Hayadin, 2008).

Kedua, pemerintah tampak nya ingin mengembangkan PT berbasis kuantitas alih-alih kualitas. Hal kuantitas pendirian PT versus kualitas PT ini tampak pada Pasal 8 RUU PT yang menyatakan setiap satu kabupaten/kota akan berdiri sedikitnya satu PT setingkat akademi. Akademi itu akan didanai bersama oleh pe merintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk level provinsi, pemerintah juga beren cana untuk mem bangun setidaknya satu PT. Tampaknya hal tersebut memiliki tujuan mulia, yaitu memeratakan ting kat pendidikan tinggi warga masyarakat di seluruh penjuru Tanah Air. Namun, apakah niat mulia itu telah dilakukan dengan metode yang tepat? Sesungguhnya, gelar kependidikan sebagai `produk' dari PT memiliki posisi yang berbeda dengan produk-produk perusahaan/industri. Apabila produk di suatu perusaha an ditemukan kecacatan, produk tersebut dapat ditarik kembali. Namun, lain halnya dengan poduk PT. Seorang hakim lulusan suatu PT, misalnya, tidak akan pernah ditarik kembali untuk `diperbaiki keilmuannya', ketika dia gagal dalam menerjemahkan rasa keadilan masyarakat melalui putusanputusannya.

Selain itu, metode pengembangan PT berbasis kuantitas mengakibatkan anggaran menjadi tidak efektif. Alokasi anggaran pendidikan yang seharusnya dapat difokuskan untuk penguatan sumber daya manusia (SDM)--berupa beasiswa, subsidi pendidikan, dan lain-lain--akan banyak tersedot l ke pembangunan sarana fisik k perguruan tinggi yang akan dibangun di tiap-tiap provinsi/ kabupaten/kota (Richo Andi Wibowo, 2011).
Investasi masa depan Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan pun dan di mana pun ia berada.
Pendidikan sangat penting sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang.
Dengan demikian, pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda, Jepang, mengemukakan sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi.
Penyebab dasarnya pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting.
Menurutnya, tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting disebabkan masyarakat Indonesia, mulai yang awam hingga politikus dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi pada mengejar materi untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berpikir panjang dan jauh ke depan.

Bagi para penganut teori human capital, sebagaimana dideskripsikan Walter W McMahon dan Terry G Geske dalam buku berjudul Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity terbitan University of Illionis, nilai penting pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi manfaat moneter ataupun nonmoneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah ke pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang supercanggih (Faza Amanah, 2010).

Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan invest in man not in building, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade belakangan ini.
Kembali ke UUD 1945 Belajar pada negara-negara maju di dunia ini, hampir dapat dipastikan pengembangan sektor pendidikan mendapatkan prioritas lebih jika dibandingkan dengan sektor yang lain.
Amerika Serikat dengan tokoh Thomas Jefferson, Jerman dengan Otto Von Bismark, dan Jepang dengan Meiji. Ketiga negara tersebut telah menetapkan pendidikan sebagai landasan pembangunan bangsa.

Dalam konteks Indonesia, spirit pembangunan bangsa melalui pendidikan termaktub kuat dalam landasan bernegara kita. Dalam pembukaan UUD 1945 sangat jelas disebutkan tujuan pendirian negara adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dari kutipan tersebut, tampak jelas bahwa pemerintah yang menurut deklarasi kemerdekaan harus secara aktif melaksanakan misi tersebut.
Di antaranya dengan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga pemerintah masih menghayati amanah konstitusi tersebut.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/30/ArticleHtmls/30_05_2011_026_003.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: