BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » CALAK EDU Demokrasi dan Kapitalisme Pendidikan

CALAK EDU Demokrasi dan Kapitalisme Pendidikan

Written By gusdurian on Kamis, 02 Juni 2011 | 14.21

Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

Nilai-nilai saling percaya seakan pudar, bahkan hilang, dalam tatanan sosialbudaya kita. Janganjangan itu implikasi negatif berkembangnya faham demokrasi liberal dan kapitalisme."

MARI kita bayang kan bagaimana sean dainya pendidikan hanya dikelola masyarakat tanpa campur tangan pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa setiap proses dan pelembagaannya pasti menggambarkan bagaimana masyarakat itu sebenarnya. Jika pertanyaannya dibalik, yaitu pemerintah saja yang mengelola pendidikan tanpa campur tangan masyarakat, yang terjadi pastilah kesewenang-wenangan, pemaksaan kehendak, dan penetrasi kebijakan sepihak tanpa kontrol dan keterlibatan masyarakat.
Dua kondisi tersebut pastilah bukan gambaran ideal bagaimana dunia pendidikan seharusnya dikelola. Sebagai negara yang menganut nilainilai musyawarah dan kegotongroyongan, jelas pilihan pengelolaan pendidikan secara bersama (partnership model) merupakan kata kunci yang harus terus diuji. Ketika orang banyak bahkan menggugat apa peran besar pendidikan dalam proses berlangsungnya pembangunan di Indonesia, kita tampak masih terus berkutat memaknai sistem pendidikan sebagai se suatu yang salah.

Fakta kian terpuruknya sumber daya anak Indonesia menggambarkan pilihan model dan sistem pendidikan sangat rapuh, berbanding terbalik dengan hiruk pikuk kehidupan demokrasi yang sangat maju bahkan tanpa kontrol kita sendiri. Merosotnya dunia pendidikan kita paling tidak berbanding lurus dengan merosotnya tatanan moral dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Demokrasi seakan tak memberi banyak pilihan moralitas terhadap kehidupan orang Indonesia, kecuali rasa sakit hati sebagian orang atas sebagian orang lainnya. Meruaknya kekerasan, terorisme, dan radikalisme, yang dibarengi dengan dekadensi moral, merupakan pertanda bahwa memang ada yang salah dengan pendidikan kita.

Atas nama angka-angka, pemerintah selalu mengklaim tinggi dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia karena kerja keras semua pihak.
Namun, dengan fakta bahwa korupsi kian menggurita, kebebasan seksual makin merata, dan penyalahgunaan psikotropika merajalela, pemerintah tak berani mengklaim diri telah jatuhnya norma-norma kehidupan kita dalam tatanan dan arti yang luas dan sesungguhnya.

Jika klaim pertumbuhan ekonomi dan kehidupan demokrasi semakin tinggi tidak diimbangi membaiknya tatanan kehidupan secara sosial, budaya, dan moral, kita patut dipertanyakan, jangan-jangan inilah sesungguhnya sumbangan terbesar kapitalisme modern terhadap Indonesia: membuat Indonesia sekarat.

Dalam beberapa literatur jelas sekali disebutkan hubungan antara demokrasi dan kapitalisme. Max Weber dan Joseph Schumpeter secara detail melihat hubungan keduanya sebagai sebuah keniscayaan. Menurut Weber, demokrasi hanya akan terjadi jika sistem ekonomi yang dianut dan dijalankan sebuah negara berada di bawah sistem kapitalis yang sangat menghargai pertumbuhan industri dan keunggulan individual.
Schumpeter, meskipun lebih empatik, tetap menyebut demokrasi modern merupakan produk proses kapitalisme yang sedang berlangsung.
Kecenderungan itu dapat dilihat dari bagaimana proteksi yang dilakukan pemerintah terhadap pihak swasta, dan sebaliknya privatisasi badan usaha milik negara berlangsung tanpa kontrol langsung dari masyarakat.

Itu artinya jika pendidikan kita hanya berorientasi kepada dunia kerja, jelas sekali kita sedang bersama-sama membunuh kohesi sosial yang selama ini menjadi keunggulan budaya Indonesia. Dalam sistem budaya kita, individu harus masuk lingkar sosialbudaya, bukan berkembang menjadi individualis dan antisosial.

Karena itu, kita harus me niadakan dan menolak kapitalisme dalam dunia pendidikan kita dalam bentuk apa pun. Sekolah, harus kita pastikan, dapat memainkan peran yang signifikan dalam menjaga keutuhan sosialbudaya masyarakat Indonesia yang terkenal guyub dan selalu mau menolong. Sekolah atau sistem pendidikan kita harus memiliki keberanian dalam mengeset pola pembelajaran yang berorientasi pada kemajemukan, bukan semata menanamkan kebebasan dan keunggulan secara individual.

Proses pendidikan harus bertanggung jawab dalam mengajarkan anak-anak kita keterampilan yang mereka butuhkan untuk tumbuh sebagai warga negara yang baik dan prokebersamaan secara budaya.

Dalam pandangan demokrasi liberal dan kapitalisme, pendidikan selalu diarahkan untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai sebagai human capital, tetapi dengan mereduksinya ke arah yang sangat individualis dan bersifat fisik.

Demokrasi dan kapitalisme telah menjerumuskan makna ideologis human capital sebagai milik industri dan milik negara dan karena itu, sekolah harus dikelola dengan caracara produksi. Padahal, sejatinya human capital seharusnya tidak bisa dimiliki siapa pun, investasinya harus berjangka panjang, dan hasilnya tidak semata untuk dunia industri, tetapi juga untuk memperkuat basis sosial-budaya masyarakat kita.

Mengikuti Adorno (1964), proses pendidikan kita tampaknya saat ini harus lebih banyak mengajarkan bagaimana cara menumbuhkan kepercayaan (trust) antara satu dan lainnya. Nilai-nilai saling percaya seakan pudar, bahkan hilang, dalam tatanan sosial-budaya kita. Jangan-jangan itu implikasi negatif berkembangnya faham demokrasi liberal dan kapitalisme yang menggerus mata rantai peradaban orang Indonesia.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/30/ArticleHtmls/30_05_2011_026_032.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: