Kita juga berharap adanya perbaikan sistem hukum mengenai kepartaian, termasuk aturan penggunaan dana dalam kontestasi pemilu, bahkan pembiayaan partai. Lebih besar lagi, perbaikan aturan secara menyeluruh perihal pembiayaan demokrasi.
Bisakah? Mampukah?
Sulit untuk menjawabnya saat ini karena itulah kerja kita bersama."
Zainal Arifin Mochtar Pengajar ilmu hukum dan Direktur Pukat Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta RELASI antara partai dan korupsi tidak mungkin untuk dinafi kan. Sejarah mencatat kepentingan kelompok yang digerakkan elite tertentu dan partisan partai punya keterkaitan erat dengan perilaku koruptif yang dilakukan untuk mengeruk uang negara.
Apalagi, jika sudah bermain pula dengan kepenting an usaha para pemi lik modal.
Kepentingan pemilik modal akan menyaru ke proses pengambil an kebijakan melalui elite partai yang menjadi pejabat negara.
Mudah ditebak jika kemudian pengambilan keputusan dan kebijakan negara menghamba pada kepentingan-meminjam istilah Jeffrey Winters (2011)--para oligark yang merupakan elite sekaligus pemilik modal. Merekalah yang tengah menguasai negeri ini.
Data, semisal Global Corruption Barometer yang dilansir setiap tahunnya, juga secara `langganan' menempatkan partai dan parlemen sebagai sarang korupsi, di berbagai negara. Itu semakin menancapkan kesan bahwa partai punya keterkaitan erat dengan korupsi, hal yang jamak terjadi di berbagai negara, bukan cuma Indonesia.
Namun, harus diakui dalam berbagai hal di Indonesia jauh lebih buruk dan berimbas pada berbagai bidang. Itu terbaca sebagai suatu hal yang lumrah dan terjadi secara masif. Itu bisa dibaca dari corruption perception index yang sampai saat ini ha nya berayun tipis ke poin 2,8 (dari skala 10,00).
Wajar jika kita kemudian makin waswas dengan kenyataan itu. Apalagi, memang di negeri ini tidak cukup banyak tenaga kuat untuk melakukan pemberantasan secara hukum.
Tingginya tingkat koruptif partai dan perlemen disempurnakan buruknya penegakan hukum karena masalah mafia peradilan.
Mafia yang menguasai sistem peradilan sehingga keadilan yang ditegakkan hanya `seakan-akan'. Seakan-akan sudah berjalan, seakan-akan sedang ditegakkan, bahkan hukuman yang jatuh juga hanya seakan-akan hu kuman. Tidak sampai di s i t u pada pro ses dipenjarakan pun, hanya seakana k a n dipenjarakan. Gagal sistem hulu ke hilir yang berakibat fatal tentunya.
Dari keseluruhan sistem penegakan hukum, yang cenderung masih bisa diandalkan hanyalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor.
Dua unsur yang paling muda dalam sistem penegakan hukum antikorupsi itulah yang kolaborasinya masih menimbulkan rasa waswas bagi para koruptor. Itu pun masih dengan kata `cenderung'. Pertanyaan besar kadang-kadang masih hinggap ke KPK yang masih belum menunjukkan performa `penuh' sebagai lembaga negara independen yang luar biasa yang juga diharapkan luar biasa dalam kerja-kerjanya.
Permainan partai Mengapa partai di Indonesia penuh dengan kemungkinan permainan kotor? Mudah menjawabnya jika dikaitkan dengan kesehatan partai. Secara hakiki, sulit melihat ada partai yang benar-benar sehat, paling tidak dari dua indikator, yakni kepemilikan basis massa dan-kedua--adanya ketersediaan dukungan finansial yang riil.
Partai di Republik ini mengalami penyakit yang sama, tidak cukup sehat dari keduanya.
Pola yang terbentuk menjadi sangat standar. Partai kemudian berorientasi untuk menambah pengasilan sebanyak-banyaknya agar dapat membiayai partai untuk mendapatkan basis dukungan.
Uang banyak yang dipupuk partai bertu juan menuai kesetiaan pemilih dan suara mereka da lam Pemilu. Semua cara, baik legal maupun ilegal, dilakukan untuk menambah pundi-pundi partai yang akan digunakan sebagai asupan gizi dalam proses pemilihan umum kelak.
Karena itu, gejala pemilu berbiaya mahal terjadi karena terjadi kompetisi antarpartai politik untuk merebut hati konstituen dengan tawaran uang.
Bahwa masih ada yang tidak sepenuhnya bermain uang tidak mungkin untuk dimungkiri, tetapi bahwa model pembelian suara konstituen sangat jamak merupakan hal lain yang tidak bisa dinafikan.
Wajar jika dalam konteks itu, sangat jarang ada partai yang bisa tegas dan keras terhadap perilaku fungsionaris yang kedapatan atau terbukti bermain-main dengan uang negara.
Bahkan, sulit untuk berharap banyak mereka ikut mengambil tempat dalam upaya menertibkan oknum internal partai yang bermain dengan berbagai hal yang berbau koruptif. Merenda harapan Kuatnya hubungan antara partai politik, bahkan parlemen, dan konsep koruptif tentu menimbulkan banyak pertanyaan yang sangat, termasuk hingga ke dalam pertanyaan filosofis yang tentunya membutuhkan banyak pengayaan wacana dan perdebatan. Semisal, jangan-jangan inilah pertanda gagalnya demokrasi liberal yang dibina sekian lama dengan model kepartaian dan sistem perwakilan. Bisa jadi `ya' dan mungkin juga `tidak'.
Akan tetapi, tetapi harus ada yang diagregasi dan dilakukan dalam upaya menyelesaikan kelindan persoalan bangsa. Mencari jawaban yang mungkin di antara sekian banyak persoalan bangsa. Barangkali, salah satu yang paling penting ialah penegakan hukum yang kuat. Inilah tantangannya. Seperti yang telah dituliskan, dari lembaga penegak hukum yang ada, ha nya KPK yang dianggap paling mampu. Itu pun dengan catatan, yakni KPK sendiri harus sadar pada maqam (kedudukan) mereka yang lembaga luar biasa yang diberikan kewenangan memotong keterpurukan bangsa akibat daya kerja merusak korupsi beraktor politik. KPK harus mampu (able) dan mau (will) untuk mengambil peran penting tersebut.
Itu juga dengan catatan dukungan masyarakat sipil yang kuat. Tanpa dukungan tersebut, gejala KPK melawan politik dan partai sering kali berbuah `serangan balik' yang dengan mudah bisa melumpuhkan KPK. Beberapa perkara waktu lalu telah memperlihatkan potret tersebut. Artinya, pun ketika harapan disandarkan pada KPK, upaya masih banyak yang harus dilakukan untuk perbaikannya.
Internal partai pun kita harapkan bisa memberikan sumbangan yang berarti. Dengan segala catatan, apa yang dilakukan Partai Demokrat dengan memberhentikan bendahara umum mereka hal yang patut diapresiasi meski masih jauh dari kesan ideal.
Karena itu, kita berharap ada, meminjam istilah Ahmad Wahib, semacam `mualaf pembaru' dalam tubuh partai yang mau mendorong ke arah perbaikan di tengah gelimang kekotoran permainan partai.
Orang-orang yang barangkali mau mencoba menegakkan sistem dan mekanisme internal kepartaian untuk mem bunuh virus kebusukan partai yang berpeluang membunuh demokrasi itu sendiri.
Dalam kasus yang membelit Partai Demokrat, kita berharap besar Partai Demokrat mau menjadi pendorong perbaikan dan bukan melanggengkan kebiasaan yang ada selama ini, aktor partai kotor yang kemudian dibela mati-matian oleh partai. Kita berharap, mereka mau membuka diri dan memperbaiki partai karena itulah tantangan di sistem demokrasi.
Kolaborasi antara prosesi internal partai dan p e n e gakan hukum yang kencang sangat kita harapkan se bagai jawaban dari upaya untuk membersihkan kekotoran partai.
Jika internal partai bisa menggerakkan mekanisme internal mereka secara baik, penegakan hukum bisa menjadi turbin penggerak secara kuat.
Mekanisme internal yang lebih berimplikasi etik dan model penegakan hukum yang lebih bernilai secara hukum pun masih tidak cukup. Kita juga berharap adanya perbaikan sistem hukum mengenai kepartaian, termasuk aturan penggunaan dana dalam kontestasi pemilu, bahkan pembiayaan partai. Lebih besar lagi, perbaikan aturan secara menyeluruh perihal pembiayaan demokrasi.
Bisakah? Mampukah? Sulit untuk menjawabnya saat ini karena itulah kerja kita bersama. Kerja bersama dalam menegakkan demokrasi yang memang pada hakikatnya ialah dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Semacam merenda harapan untuk kita, seluruh rakyat Indonesia.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/30/ArticleHtmls/30_05_2011_017_003.shtml?Mode=0
Partai di Belitan Korupsi
Written By gusdurian on Kamis, 02 Juni 2011 | 14.23
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar