Yang mesti dijaga adalah komponenkomponen yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti sektor pertanian, pertambangan, perindustrian, atau sektor tradable. Asing sudah besar menguasai, kita harus mempersiapkan pemain-pemain nasional, dan ini tentu peran regulator sangat penting."
PROGRAM Metro TV, Economic Challenges, pada 23 Mei lalu menggali berbagai persoalan fiskal dan investasi yang dihadapi Indonesia.
Di kesempatan tersebut, pemandu Economic Challenges Suryo Pratomo mewawancarai Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Pak Agus melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 6,5%?
Kalau kita lihat, sejak krisis Asia 97/98 terlihat bahwa RI pertumbuhan ekonominya terus berkesinambungan. Terus tumbuh. Kita lihat dari tahun 99 sampai dengan 2004 ratarata pertumbuhan ekonominya 3,9%. Dari 2005-2009 rata-rata 5,5%.
Walaupun 2008/2009 ada krisis global, kita tetap tumbuh 4,5%. Sekarang di tahun 2010 6,1%, tapi kuartal 4 adalah 6,9%. Makanya kalau kuartal I 6,5% kita sambut baik karena kita tetap bisa mencapai target kita 6,4%. Indonesia dengan Kabinet Indonesia Bersatu II 2010-2014 rata-rata pertumbuhan ekonominya 6,4%-6,8%.
Insya Allah 2014 7%-7,7%.
Apa syarat yang harus dipenuhi supaya sustainable itu bisa dijaga?
Memang yang kita mesti jaga komponen-komponen yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Mesti kita perhatikan dan kembangkan. Kalau kita lihat sektor seperti pertanian, pertambangan, perindustrian, atau sektor tradable mesti bisa kita dorong cepat. Belum bisa tumbuh tinggi. Mesti kita dorong. Tahun 2010-2011 yang cepat adalah transportation, telecommunication.
Bagaimana dengan dominasi asing yang begitu kuat?
Karena kita juga membuka ekonomi kita, tentu investor asing masuk ke Indonesia.
Kalau mereka masuk, kita menyambut baik semoga ekonomi RI bisa menciptakan lapangan kerja dan pajak bagi RI. Tapi adalah kewajiban bagi kita untuk mempersiap kan komponen nasional supaya mempersiapkan kompetensi, lalu nanti jadi pelaku-pelaku ekonomi yang bisa berperan aktif.
Industri perbankan, keuangan sudah kita beri kesempatan untuk asing masuk 99%. Un tuk asuransi 80%. Un tuk itu, kita mesti siap siap. Asing sudah besar menguasai, kita harus mempersiapkan pemainpemain nasional, dan ini tentu peran regulator sangat penting. Untuk pasar modal?
Tentu yang menjadi harapan kita adalah pasar modal harus semakin luas, semakin likuid, dan dalam. Kita mengharapkan semua pelaku pasar modal semakin aktif menawarkan saham di pasar modal. Justru yang sedikit kita harapkan bisa 60% dimiliki publik.
Banyak pemain industri nasional bukannya IPO (menawarkan saham perdana) di dalam negeri tapi malah di luar negeri. Ini tantangan bagi Indonesia supaya membuat nyaman pelaku-pelaku ekonomi supaya IPO di dalam negeri.
Saya masih melihat ada beberapa industri terbatas aktivitasnya di pasar modal. Industri pertambangan, pertanian masih banyak yang bisa kita undang supaya bisa jadi public company dan menciptakan nilai untuk RI.
Pengambilalihan Newmont oleh pemerintah alot. Apa yang terjadi?
Itu sesuai kontrak karya antara pemerintah dan New mont, memang saham harus secara bertahap dijual ke nasional, untuk kepentingan nasional.
Jadi saham yang 7% akhir ini sesuai kontrak karya yang ditawarkan kepada pemerintah.
Kalau pemerintah tidak mau ambil, nanti ditawarkan kepada orang Indonesia atau perusahaan yang dimiliki Indonesia.
Pada saat ini pemerintah berketetapan mengambil. Pertimbangan pemerintah betul-betul ingin menjaga kepentingan nasional. Ingin meyakini bahwa kalau sekarang 51% saham Newmont dimiliki nasional, pemerintah masuk untuk menyamakan visi dengan pemegang saham nasional, untuk membawa Newmont baik, tertib, perusahaan ekstraktif raksasa, dan menjalankan best practices.
Kita ingin cegah jangan sampai asing mengelola Newmont tidak menjalankan GCG (good corporate governance/GCG). Jangan sampai asing lupa membayar kewajiban-kewajibannya, royalti, pajak, kewajiban menjaga lingkungan, CSR-nya. Kita ingin juga mencegah jangan sampai kalau dikelola selama ini agar jangan transfer pricing.
Sekarang berita luas. Sejak UU Minerba, kita beri kuasa bapak-bapak dan ibu-ibu bupati untuk mengeluarkan izin kuasa tambang, sekarang ini ada 4.800 kuasa tambang di seluruh Indonesia dan ini ada kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi mungkin banyak sekali yang tidak tertib, tidak taat asas, tidak taat lingkungan, illegal export.
Kita (juga) ingin jadikan contoh pengelolaan industri ekstraktif. Nilai tambah, hilirisasi, tidak hanya ekspor bahan baku, tapi bisa ada processing di Indonesia. Ini multiplier effect. Swasta, pengusaha tidak pernah berpikir untuk ciptakan multiplier effect.
Apakah keharusan izin dulu pada DPR atau sudah disampaikan?
Kalau seandainya DPR ada yang berkeberatan, ada yang minta proses dulu, kami akan terus berusaha meyakinkan pihak DPR bahwa apa yang dilakukan pemerintah sudah taat asas dan sesuai peraturan yang berlaku.
Kami, Menkeu, diberi kewenangan Bapak Presiden sebagai bendahara umum negara. Sesuai Undang-Undang Perbendaharaan Negara, kami memiliki kewenangan investasi melalui PIP (Pusat Investasi Pemerintah). PIP ini pun diawasi oleh dewan pengawas dan komite investasi pemerintah pusat, sehingga sudah kami jaga.
Harga minyak dunia naik terus, bagaimana pengelolaan fiskal?
Apabila kita lihat fiskal RI, penerimaan negara dalam banyak hal juga dipengaruhi minyak. Dan tentu di bagian pengeluaran negara juga ada terkait minyak.
Di fiskal kita saat ini sekitar Rp1.100 triliun dan dari total penerimaan negara dari minyak. Kita patut bersyukur penerimaan kita bukan hanya minyak, ada kondensat, ada gas. Ketika harga meningkat tajam, sekarang ini di dunia kondisinya yang tinggi minyak dan pangan. Ada climate change yang membahayakan.
Dalam mengelola fiskal, dampak kenaikan minyak di atas US$100, rata-rata setahunnya belum 110 tapi di kisaran 91. Pada 2008 ketika 140 dolar, rata-rata setahunnya di US$97. Nah, di Indonesia, anggar an kita APBN kita memakai asumsi US$80.
Kalau sekarang harga minyak tinggi, memang ada dampak, tetapi dampak pe nerimaan ekstra dan pengeluaran ekstra itu sebetulnya tidak membuat sulit anggaran kita, karena masih ada nilai lebih. Karena ada penerimaan minyak, gas, dan kondensat. Lifting (minyak) yang lebih rendah dari rencana juga tekanan bagi defisit kita. Tapi ada faktor apresiasi rupiah.
Itu memberi manfaat karena tiap Rp100 peningkatan bisa membuat kelonggaran defisit Rp1,7 triliun.
Jadi asumsi minyak kita US$80, ternyata realisasinya ada di US$92. Kurs kita anggarkan 9.250, sekarang 8.600, lifting 970 ribu realisasi di bawah 900 ribu. Kalau dikombinasi, dampaknya terhadap defisit kita ada peningkatan kira-kira Rp16 triliun.
Masih bisa diterima?
Kita selalu mewaspadai, memperhatikan itu, melakukan stress testing, simulasi. Kita secara umum masih bisa kendalikan ini dengan baik. Tapi nanti di awal semester II kita akan revisi APBN karena beberapa asumsi sudah berubah dan ada kenaikan harga minyak, ada anggaran biaya tambahan, nanti di APBN perubahan.
Bapak Presiden sudah arahan supaya jajaran lembaga melakukan penghematan untuk hal-hal yang tidak produktif itu mencapai Rp16,6 triliun.
Pada saat yang tepat, kita merevisi anggaran. (*/E-1)
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/30/ArticleHtmls/30_05_2011_016_020.shtml?Mode=0
Mengelola Fiskal Tetap Kondusif
Written By gusdurian on Kamis, 02 Juni 2011 | 14.20
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar