BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bagi Hasil Cukai dan Perilaku Merokok

Bagi Hasil Cukai dan Perilaku Merokok

Written By gusdurian on Kamis, 02 Juni 2011 | 14.14

Agus Widjanarko, KEPALA BIDANG KESEHATAN KELUARGA DAN PROMOSI KESEHATAN PADA DINAS KESEHATAN KOTA PASURUAN

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai mengamanat kan adanya dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-CHT) sebesar 2 persen bagi provinsi dan kabupaten/kota penghasil cukai tembakau sejak 2008. Pada perkembangannya, kualifikasi penerima juga diperluas untuk daerah penghasil bahan baku industri hasil tembakau hingga mencapai 19 provinsi.
Sesungguhnya cukai hasil tembakau mempunyai tujuan agar konsumsi rokok dapat terkendali melalui pembatasan peredaran komoditasnya, sehingga dampaknya dapat diminimalkan. Penggunaan dana ini di antaranya untuk peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau, pembinaan industri hasil tembakau, dan pembinaan lingkungan sosial. Selain itu, untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan pemberantasan barang kena cukai illegal.

Merujuk pada rencana pengembangan industri rokok nasional, dua kegunaan pertama erat kaitannya dengan aspek produksi/industri, sedangkan dua kegunaan terakhir lebih menitikberatkan pada aspek pendapatan. Adapun penggunaan dana untuk pembinaan lingkungan sosial, selain diarahkan pada pengembangan masyarakat, sangat bertalian dengan aspek kesehatan.

Setelah tiga tahun pengucuran DBHCHT, tentunya dapat dicermati capaiancapaian kinerja sesuai dengan fokus kegunaannya. Khusus untuk aspek kesehatan, suatu seri data riset menemukan hasil yang cukup bermakna terkait dengan dampak pemberian dana tersebut.
Ketika UU Nomor 39 Tahun 2007 disahkan, pada tahun itu dilakukan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Riset yang dilaksanakan tepat sebelum pelaksanaan DBH-CHT ini menyajikan informasi bahwa prevalensi penduduk Indonesia yang "merokok setiap hari"adalah 23,7 persen. Sementara itu, tiga tahun kemudian, pada Riskesdas 2010 diperoleh hasil yang menunjukkan peningkatan prevalensinya menjadi 28,2 persen.
Kondisi ini juga dikuatkan oleh mereka yang hanya "kadang-kadang merokok".
Sementara 2007 mencapai angka 5,5 persen, pada 2010 meningkat hingga 6,5 persen.

Yang lebih memprihatinkan adalah para perokok ini juga mengisapnya ketika berada di rumah, yang di dalamnya tinggal istri, anak-anak, atau kerabat mereka. Meskipun mengalami penurunan dibanding pada 2007 yang mencapai 85,4 persen, pada 2010 perilaku merokok di dalam rumah masih dilakukan oleh 76,6 persen perokok. Alih-alih berperilaku sehat, anggota keluarga mereka yang mungkin tidak merokok itu justru turut menghirup asap rokok beracun.

Tapi tidak selamanya kenaikan berimplikasi negatif, karena mantan perokok menunjukkan kecenderungan yang menggembirakan, karena kian banyak jumlahnya. Dari hanya 3,0 persen pada 2007, bertambah 2,4 persen pada 2010.
Setidaknya kondisi tersebut menggambarkan mulai tumbuhnya kesadaran pada masyarakat untuk berani berhenti merokok.
Dampak DBH-CHT Peningkatan perilaku merokok yang masih kurang elok ini memberi isyarat bahwa mengubah perilaku masyarakat bukanlah seperti membalikkan telapak tangan. Tidak seperti membangun sarana pelayanan kesehatan yang dalam kurun singkat dapat segera dilihat wujud fisik bangunannya, perubahan perilaku merupakan investasi jangka panjang yang baru bisa dipetik hasilnya sekian puluh tahun mendatang. Terlebih bila perilaku ini sudah menjadi sebuah tradisi yang mengakar. Dalam budaya Indonesia, menolak pemberian rokok dipandang tidak sopan.

Dalam jurnal Health Education Research (2007; 22(6): 794-804), Nawi Ng, Weinehall, dan Ohman melukiskan kuatnya pengaruh tradisi merokok di Indonesia. Bahwa prevalensi merokok di kalangan laki-laki sangat tinggi, ratarata salah satu anggota rumah tangga ada yang merokok. Sementara itu, di sekolah, guru laki-laki sering terlihat merokok. Dalam berbagai pertemuan sosial di pedesaan, upacara kelahiran, perkawinan, dan upacara keagamaan lain, disediakan rokok. Pada acara kematian, masyarakat berkumpul di rumah duka, malam berdoa dan berbagi makan, minum kopi, serta merokok. Rokok juga sering digunakan sebagai pertanda solidaritas atau penghargaan kepada teman, pengunjung, atau tamu.

Meskipun DBH-CHT telah digulirkan, sangat mungkin bila porsi penggunaan untuk aspek kesehatan pada setiap daerah tidaklah setinggi bila dibandingkan dengan aspek produksi maupun aspek pendapatan. Sebuah kontribusi yang rendah dengan capaian tidak kasatmata dalam tempo sekejap menjadi faktor penyulit untuk melihat dampak positif pemberian DBH-CHT.

Dua provinsi penerima DBH-CHT terbesar, yaitu Jawa Timur dan Jawa Tengah, memang mempunyai angka prevalensi perokok yang lebih rendah daripada angka nasional. Namun kecenderungan yang terjadi adalah bahwa dua daerah itu justru menjadi penyokong meningkatnya prevalensi perokok secara nasional. Pada 2007, prevalensi perokok di Jawa Timur sebesar 29,8 persen dan di Jawa Tengah 30,7 persen, masing-masing melompat menjadi 31,4 persen dan 32,6 persen pada 2010.

Tidak tertutup kemungkinan DBHCHT telah tersosialisasi lebih merata di provinsi bertetangga tersebut, sehingga masyarakat mempunyai persepsi bahwa tidak perlu lagi khawatir jika merokok karena obat dan fasilitas pelayanan kesehatan bagi mereka yang sakit akibat rokok sudah disediakan dari DBH-CHT.

Apalagi saat ini program Jamkesmas, Jamkesda, atau sejenisnya telah banyak dimanfaatkan oleh warga miskin yang dalam banyak temuan penelitian justru mayoritas perokok.

Sementara itu, meningkatnya mereka yang berhenti merokok hingga hampir dua kali lipat selama tiga tahun penerapan DBH-CHT memberi tengara adanya korelasi terkait dengan pengembangan kawasan tanpa rokok (KTR) di berbagai tatanan.

Pemasyarakatan KTR juga merupakan salah satu upaya yang digalakkan dalam pemanfaatan DBH-CHT. Bisa dipahami bila KTR mempunyai dampak terhadap perilaku berhenti merokok. Filosofi pendirian KTR adalah agar perokok dapat lebih lama menahan dirinya untuk tidak merokok dalam keseharian karena harus berada di lingkungan KTR. Ketika proses pembiasaan ini dijalankan dalam jangka waktu yang panjang, diharapkan mampu memicu perilaku perokok untuk mengurangi batang rokok yang diisap, yang pada gilirannya dapat merangsang dirinya untuk tidak merokok. Tentunya pengembangan KTR akan lebih menyehatkan jika dimulai dari tatanan komunitas yang paling sederhana, yaitu rumah tangga. Kecenderungan kian menurunnya mereka yang merokok di dalam rumah akan memperoleh percepatan bila rumah juga dijadikan kawasan tanpa rokok.
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/05/30/ArticleHtmls/30_05_2011_012_013.shtml?Mode=1
--
Share this article :

0 komentar: