Seno Gumira :
JURNALISME SASTRAWI - Antara Paimo dan Giovanni Seno Gumira Ajidarma, WARTAWAN
Penulisan laporan jurnalistik dari berbagai macam media cetak, yang terbaca selama menjadi salah satu juri Anugerah Adiwarta Sampoerna dalam beberapa tahun terakhir, membuat saya sedikit berpikir mengenai apa yang disebut jurnalisme sastrawi, yang sebetulnya sudah lama dilakukan dengan sadar misalnya oleh majalah Tempo sejak awal penerbitannya pada 1971.
Bukan karena kebetulan terdapat sejumlah sastrawan di sana, melainkan karena terdapat--dan tersahihkannya--posisi penulis dalam prosedur redaksionalnya, yakni penulis yang menuliskan kembali segenap laporan dari lapangan. Dalam instruksi penugasan, selain pertanyaan-pertanyaan pokok, biasanya diminta pula deskripsi sumber berita (apakah rambutnya berjambul atau bergigi emas?) maupun suasana tempat peliputan (interior rumahnya mewah tapi norak atau kumuh dan mengharukan?), yang bila perlu akan dimanfaatkan dalam pengolahan kembali laporan dari sejumlah peliput tersebut.
Kriteria kelayakan posisi penulis ini sebetulnya bukanlah pada kemampuan “sastrawi“-nya, melainkan penguasaan masalah pada rubrik yang dijaganya, apakah ekonomi, politik, olahraga, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, atau kesenian. Artinya, berita mengenai ekonomi mutlak ditulis oleh penulis yang menguasai kaidah ekonomi. Namun, apabila kemudian penulis ini juga punya gaya, laporan ekonomi itu bahasanya akan menjadi cukup “basah“, misalnya dengan kata seperti dibetot, diembat, dicaplok, menilep, atau mengemplang, yang sangat tidak resmi itu, supaya pembacanya mengalami peristiwa ekonomi dan bisnis sebagai peristiwa sehari-hari yang hidup.
Dengan kata lain, terdapat kesadaran bahwa gaya bahasa akan sangat membantu agar dunia ini tampil sebagai dunia manusia, bukan sekadar hadir kembali dalam format wajib jurnalistik 5W + 1H (who, what, when, where, why + how)--yang meskipun tentu sudah “betul“, tapi menjadi reduksi atau minimalisasi peristiwa, yang celakanya memang selalu dilakukan dalam format jurnalisme tua.
Baru itu sastrawi?
Dalam “proklamasi“Jurnalisme Baru oleh Tom Wolfe di Amerika Serikat, seperti bisa ditengok dari The New Journalism (Wolfe & Johnson, 1973), yang contoh tulisan tertuanya dibuat pada 1955, oposisi fiksi-nonfiksi diatasi dengan istilah prosa, dan istilah prosa ini pula digunakan wartawan seperti Maria Hartiningsih sebagai endorsement pada sampul depan Jurnalisme Sastrawi (Andreas Harsono & Budi Setiyono, peny., 2008). Sampai di sini tentu tidak perlu ada yang disebut kontroversial, karena (1) istilah prosa itu hanya untuk menunjukkan peng gunaan teknik penulisan novel yang sekadar dipinjam untuk menuliskan laporan-panjang jurnalistik; dan (2) betapapun fiksi maupun nonfiksi adalah sama-sama sebuah konstruksi. Kenyataan bahwa indikasi-indikasi nonfiksional dalam rumus 5W + 1H disepakati sebagai “fakta sebenarnya“, sama sekali tidak membuat laporan straight news menjadi “lebih benar“, misalnya daripada “fiksi“seperti yang ditulis Aleksandr I. Solzhenitsyn berdasarkan pengalamannya dalam pengasingan rezim Soviet di Siberia.
Seperti diketahui, hubungan antara “kenyataan“dan konstruksi fiksi maupun konstruksi nonfiksi adalah samasama arbiter alias sembarang, sehingga hanya konsensus sosial (sementara) sajalah yang selama ini mendapat dukungan dan persetujuan dalam kehidupan sehari-hari, bahwa laporan jurnalistik apa pun bentuknya adalah peristiwa beneran dan karya sastra pemenang Nobel sekalipun hanyalah “karangan“. Namun, tentu saja, adalah justru konsensus sosial ini yang tampaknya bukan sekadar sangat mungkin berubah dan bergeser, karena memang bisa dibolak-balik dan dipermainkan, seperti kesan saya ketika membaca karya-karya jurnalisme sastrawi, yang dalam hal Dari Jawa Menuju Aceh (Linda Christanty, 2009), saya kira wajib dibaca para wartawan dari seluruh Indonesia.
Berdasarkan apakah kesan saya itu?
Apalagi jika bukan kesan sedang membaca karya sastra yang bagus, meskipun dalam kenyataannya yang saya baca dimaksudkan sebagai laporan jurnalistik. Apakah yang telah terjadi? Untuk sementara ini saya anggap (maaf, yang lebih konsekuen tentu membedahnya seperti Barthes membongkar Sarrasine, yakni mendiskusikannya per leksia) disebabkan oleh begitu kuatnya pengolahan indikasi indikasi fiksional, dengan keterampilan dan penguasaan yang memang tinggi, sehingga laporan jurnalistik tampil sebagai prosa yang ciamik.
Apa boleh buat, bukankah oposisi fiksi-nonfiksi memang telah dilupakan prinsip-prinsip perbedaannya dan bagaikan telah melebur sebagai prosa?
Dengan “matematika“bahwa prosa ini betapapun adalah karya jurnalistik, yang dalam pertimbangan jurnalistik tanpa membawa-bawa kesastrawiannya pun, seperti proses investigasi, akurasi data, dan lain sebagainya, adalah hasil kerja jurnalistik yang bagus (meski konsep “bagus-tak bagus“dalam kondisi pascamodern sudah runtuh), maka kebagusannya tentulah menjadi “bagus kuadrat“.
Indikasi fiksional bukan fiktif Maka dengan pencapaian tersebut, justru sangat menarik untuk melihat perbincangan yang dimungkinkan, ketika terdapat sejumlah liputan tentang subyek yang juga saya kenali. Mohon perhatian, ukuran pengetahuan saya tentu tidak sahih menjadi ukuran kebenaran, tapi cukup sahih untuk memberi suatu versi kesaksian bahwa berbagai subyek peliputan, yang izinkanlah saya “sastrawikan“sebagai Paimo, telah hadir dalam laporan jurnalistik berformat prosa sebagai Don Giovanni. Sungguh mati saya terkagum-kagum, dan ini bukan pernyataan sinikal, ketika mengalami sendiri bagaimana penguasaan atas indikasiindikasi fiksional ini ternyata dengan sangat memikat telah memberi sudut pandang yang sama sekali berbeda, atas fakta yang sama-sama saya ketahui. Tepatnya, saya kenali bagaimana indikasi-indikasi fiksional telah digunakan dengan piawai.
Persoalannya, mereka yang tidak mengenal Paimo tentu hanya akan mendapat Don Giovanni. Apakah ini berarti jurnalisme sastrawi, bahkan terutama yang indikasi-indikasi fiksionalnya bekerja dengan bagus sekali, menyesatkan? Sudah tentu tidak. Bahwa pemeluk teguh konsensus sosial (konvensi, kode etik pers, teori jurnalistik, kriteria anugerah jurnalistik, dll) tentang oposisi fiksi-nonfiksi dalam wacana dominan akan bertanyatanya, itu memang termungkinkan, karena bisa saja terdapat anggapan kerdil bahwa indikasi-indikasi fiksional ini seperti menjauhkan fakta dari kenyataan, ketika pada saat yang sama dilupakan betapa laporan fiktif justru sarat dengan sifat nonfiksional.
Sehingga agaknya beruntunglah saya, yang dapat menerimanya sebagai bukti, bahwa jika indikasi-indikasi fiksional diterima setara dengan indikasi-indikasi nonfiksional, karena legitimasinya tetap laporan jurnalistik, tak lebih dan tak kurang yang disebut kenyataan itu memang dan akan selalu hadir melalui konstruksi apa pun, yakni bukan-kenyataan itu sendiri.
Nah, lo!
http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/06/27/ArticleHtmls/JURNALISME-SASTRAWI-Antara-Paimo-dan-Giovanni-27062011012013.shtml?Mode=1
Antara Paimo dan Giovanni
Written By gusdurian on Rabu, 29 Juni 2011 | 01.29
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar