BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Dilema Simalakama Polisi

Dilema Simalakama Polisi

Written By gusdurian on Rabu, 29 Juni 2011 | 01.25

Bambang Hadiyono :

Dilema Simalakama Polisi Bambang Hadiyono Pemerhati kepolisian

Di bidang kultural, masyarakat belum merasakan adanya perubahan yang signifikan, sikap dan perilaku anggota kepolisian masih belum banyak berubah."
Menembak salah, tidak menembak salah, ditembak pun salah, apa yang salah denganmu, polisi? m s P EMBERITAAN tentang polisi yang melakukan penembakan sering menjadi perhatian publik, terlebih terhadap polisi yang salah tembak. Tidak sedikit polisi yang kemudian diperiksa, ditindak, dan diajukan ke sidang pengadilan atau kode etik profesi karena dinilai salah tembak, atau melanggar HAM.

Di sisi lain, saat polisi bertugas melerai konflik atau mengamankan tindakan anarkis masa, seperti pada pengamanan sidang kasus Blowfish (Kerusuhan Ampera, September 2010) dan pada saat polisi mengamankan pengikut Jemaat Ahmadiyah dari tindakan anarkis masa (Kerusuhan Cikeusik, Pandeglang, Februari 2011), banyak komentar yang menyesalkan, mengapa polisi tidak menembak pelaku kerusuhan?
Akhir-akhir ini muncul fenomena baru, polisi dinilai tidak profesional karena beberapa anggotanya mati ditembak oleh pelaku kejahatan atau oleh mereka yang diduga teroris (kasus penembakan polisi di Bank CIMB Medan, September 2010, penembakan di BCA Palu, Mei 2011, penembakan di Bekasi, Mei 2011, bom bunuh diri di Polresta Cirebon, April 2011, dan lain-lain). Muncul juga komentar, bagaimana polisi dapat melaksanakan tugas melindungi masyarakat, melindungi dirinya saja tidak mampu.

Dari ilustrasi tersebut, ada kesan bahwa polisi menembak salah, tidak menembak salah, ditembak pun salah.
Kajian yuridis­sosiologispsikologis Dasar hukum tentang boleh atau tidaknya polisi melakukan penembakan secara tegas diatur dalam Kitab Undang­Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 49 ayat (1) tentang Noodweer dan ayat (2) tentang `Noodweer Exces'.

Pasal 49 ayat (1) KUHP mengatur tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer), yang rumusannya `Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana'.

Dalam penjelasannya disebutkan, pembelaan terpaksa itu hanya bisa dilakukan berdasarkan prinsip keseimbangan dengan memperhatikan asas subsidiaritas, kalau yang diserang atau diancam masih bisa menghindar atau melarikan diri, janganlah polisi memaksakan diri untuk melakukan penembakan dengan dalih pembelaan terpaksa. Untuk mencegah terjadinya salah tafsir di lapangan, telah diterbitkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Peraturan tersebut memuat arahan teknis serta tahapan prosedural bagi anggota Polri dalam melakukan tindakan kepolisian, termasuk penembakan yang merupakan tahapan paling akhir.

Persoalannya adalah kapan dan bagaimana seharusnya anggota kepolisian memutuskan untuk menembak atau tidak menembak, atau kalau terlambat, mungkin mereka yang menjadi korban penembakan. Inilah kondisi psikologis­ traumatis anggota kepolisian di lapangan.

Dalam Undang­Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 18 ayat (1) disebutkan, `Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugasnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri'.

Dalam praktik, rumusan `bertindak menurut penilaian sendiri' dikenal dengan istilah `diskresi'. Pemahaman secara lebih konkret tentang makna diskresi dapat diilustrasikan melalui sebuah kejadian sebagai berikut. Seorang bintara polisi, yang sedang bertugas di jalan, mendapati seseorang, sebutlah si A, sedang dijambret preman bersenjata api. Si preman sedang menodongkan senjatanya serta berusaha merampas barang milik A. Dalam kondisi demikian, korban (A) tidak berkesempatan untuk menghindar dari ancam an kekerasan yang membahayakan jiwanya. Pada saat itu juga, si bintara polisi dituntut untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat, melakukan tindakan dengan berbagai risiko.

Pertama, melakukan pembelaan terpaksa (noodweer), menembak pelaku dengan risiko dianggap melanggar HAM.
Kedua, membiarkan kejadian tersebut, dengan risiko dinilai tidak melindungi warga. Ketiga, dia sendiri yang menjadi korban penembakan. Ditinjau dari aspek sosiologi hukum, polisi merupakan lambang law in action, yakni hukum di lapangan (memerlukan tindakan segera/diskresi), bukan law in the book atau hukum di belakang meja (membuka kamus atau minta petunjuk sebelum bertindak). Perlu digarisbawahi, diskresi bukanlah kewenangan untuk bertindak semaunya sendiri, melainkan suatu tanggung jawab, yaitu tanggung jawab untuk melayani, melindungi, dan mengayomi warga masyarakat.
Apa yang salah denganmu polisi Setidaknya ada dua faktor utama yang menyebabkan polisi selalu berada di posisi dilema, simalakama.

Pertama, faktor eksternal.
Banyak pendapat yang menyatakan bangsa ini terlalu cepat memberikan kado demokrasi kepada kita yang belum matang berdemokrasi. Akibatnya, lahirlah praktik demokrasi yang kebablasan (euforia demokrasi).

Masing-masing menerjemahkan sendiri makna demokrasi, ada yang puas dengan menghujat orang lain, ada yang senang dengan mengeroyok wasit, ada yang bangga terlibat perkelahian massal, ada korupsi massal, dan ada yang mengem bangkan hobi sebagai komentator tanpa memahami pasti apa yang y dikomentarkan--yang selalu s melihat sisi negatif dalam menganalisis sesuatu.

Kedua, faktor internal. Di awal era reformasi, polisi termasuk lembaga yang cepat merespons keinginan bangsa untuk melakukan reformasi, dengan membangun komitmen untuk mengubah paradigma melalui perubahan secara instrumental, struktural, dan kultural. Di bidang instrumental dan struktural, polisi telah secara nyata berubah. Namun, di bidang kul tural, masyarakat belum merasakan adanya perubahan yang signifikan, sikap dan perilaku anggota kepolisian masih belum banyak berubah, masih banyak anggota kepolisian yang melakukan tindakan tercela.

Pada 2007 dan 2008, sebenarnya Polri telah memulai langkah strategis dalam perubahan kultural dengan melakukan rekrutmen Akpol serta rekrutmen Bintara Polri yang berlangsung secara bersih, transparan, akuntabel, dan humanis. Penetapan kelulusan dilaksanakan di seluruh Polda dan dipusatkan di Akpol Semarang, dengan dihadiri secara terbuka oleh seluruh peserta seleksi, para orang tua calon, Ketua dan anggota Komisi III DPR RI, Menpan, Ketua DPRD Provinsi se-Indonesia, perwakilan kepolisian negara­negara sahabat, LSM, dan wartawan dari berbagai media. Bagi Polri, mungkin penghargaan Muri dan ISO yang diterima waktu itu bukanlah segala-galanya, yang utama adalah terbangunnya komitmen untuk melakukan perubahan menuju terwujudnya kultur polisi sipil (civilian police). Bermacam penghargaan juga diberikan kepada jajaran Lalu Lintas Polri, yang telah mereformasi diri di bidang pelayanan. Namun, komitmen itu berkesan tidak berlangsung sustainable.

Dilema simalakama akan selalu muncul manakala Polri tidak segera membangun kembali komitmen perubahan kultural dengan melakukan akselerasi reformasi menuju terwujudnya kultur polisi sipil yang antara lain bercirikan: protagonis, berorientasi pada kepentingan masyarakat, bukan antagonis yang menjadi alat kekuasaan; humanis, melalui internalisasi nilai-nilai HAM terhadap seluruh anggota Polri, utamanya dalam memperhatikan hak­hak saksi, korban dan tersangka, baik hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, maupun hak budaya; demokratis, memperhatikan aspirasi rakyat dan dekat dengan warga masyarakat; transparansi, membuka akses ke publik dan tidak menutup fakta; akuntabel, mampu mempertanggungjawabkan semua tugas dan tindakannya, baik kepada pemerintah, DPR, maupun kepada publik.
Dirgahayu Polri.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/06/28/ArticleHtmls/Dilema-Simalakama-Polisi-28062011027038.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: