Catatan Agus Pambagio
Agus Pambagio - detikNews
Jakarta - Turunnya produksi dan tidak tercapainya target minyak dan gas (migas) Indonesia tahun 2011 tentunya akan memukul APBN 2011 dengan sangat telak. Target produksi minyak sebesar 970.000 barrel/hari, patut diduga hanya mencapai sekitar 860.000 barrel/hari. Sedangkan produksi gas dari target 7770 BBTUD hanya tercapai sekitar 7630 BBTUD, sementara subsidi bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat. Lalu siapa yang perlu kita salahkan dan minta pertanggungjawaban?
Tentunya sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (4) UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang bertanggungjawab terhadap sektor hulu dan hilir migas adalah Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BP Hilir Migas).
Tidak terpenuhinya target migas tahun 2011 selain masalah teknis (seperti kerusakan fasilitas produksi) juga muncul masalah non teknis yang patut diduga juga terkait dengan persoalan korupsi. Sehingga tidak salah jika salah seorang pengamat perminyakan di beberapa media menyatakan bahwa sebaiknya UU No 22 tahun 2001 tentang Migas segera direvisi. Kembalikan kekuasaan BP Migas dan BPH Migas ke PT Pertamina, maka produksi minyak akan dapat mencapai 2 juta barrel/hari.
Desakan untuk segera merevisi UU No 22 tahun 2001 tentang Migas karena dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD Republik Indonesia tahun 1945 ini juga diamini oleh anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan BP Migas dan BPH Migas pada tanggal 10 Juni 2010.
Untuk itu sudah sepatutnya negara dan DPR-RI segera merevisi UU Migas tersebut. Penulis juga merasa perlu untuk membahas berbagai persoalan non teknis yang patut diduga menjadi penyebab gagalnya pencapaian produksi migas Indonesia tahun 2011 ini, khususnya di sektor hulu. Tentunya bahasan ini diselaraskan dengan data yang berhasil dikumpulkan dari berbagai pihak dan sesuai dengan perintah UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Kinerja BP Migas Perlu Dipertanyakan
Turunnya produksi migas saat ini patut diduga terkait dengan buruknya kinerja BP Migas. Mundurnya Deputi Operasi BP Migas, Budi Indianto, minggu lalu merupakan tanda-tanda positif bahwa memang ada masalah di BP Migas. Persoalan yang muncul di BP Migas kemungkinan bukan hanya sekedar target migas yang tidak tercapai tetapi ada persoalan kritis di manajemen yang pada akhirnya membebani keuangan negara.
Pertama, adanya penunjukkan salah satu perusahaan penjamin asuransi BUMN sebagai pimpinan konsorsium, yang wajib digunakan oleh semua Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), patut diduga bermasalah. Banyak kasus produksi migas terhenti karena adanya klaim kerusakan yang tidak direncanakan atau unplan shut down claim (misalnya kerusakan rig atau bocornya pipa) dan belum dibayar oleh penjamin asuransi tersebut. Akibatnya produksi minyak terhenti karena kerusakan tak kunjung diperbaiki.
Kedua, tak kunjung tuntas dan beroperasinya proyek EPC I Production Processing Facilities milik Exxon Mobil Cepu. Patut diduga bau politik proyek ini sangat kental, baik politik domestik maupun internasional. Ketidaktegasan pimpinan BP Migas menjadi penyebab belum berjalannya proyek ini. Dengan kapasitas produksi 1.600 barrel/hari akan membuat target migas tahun 2011 terlampaui. Sayangnya proyek ini tampaknya baru akan berjalan tahun 2014, setelah lebih dari 3x berubah target produksi.
Ketiga, masih digunakannya kapal tua (usia diatas 30 tahun) untuk storage LPG yang dioperasikan oleh Conoco dan akhirnya tidak berfungsi karena buoy atau penambat kapal terlepas ikatannya dan tenggelam sejak Oktober 2010 (lihat Koran Tempo, edisi 18 Nopember 2010).
Di negara lain penggunaan kapal tua sudah tidak diperbolehkan, tetapi BP Migas masih mengizinkan Conoco menggunakannya. Bayangkan untuk memperbaikinya saja dibutuhkan waktu sekitar 14 bulan. Meski tidak beroperasi, BP Migas tetap membayar sewa. Jadi jangan heran kalau produksi gas juga turun karena kapal penampung rusak.
Sebaiknya Apa Langkah Negara?
Supaya target produksi migas tahun 2011 tercapai, maka pemerintah harus segera melakukan beberapa langkah cepat dan tegas, yaitu:
1. Rampingkan personel BP Migas. Jangan seperti sekarang personel BP Migas sangat gemuk tetapi non struktural dan patut diduga bukan tenaga profesional usaha migas, namun hanya sekelompok orang yang mengaku tenaga ahli migas dan dekat dengan pimpinan BP Migas. Akibatnya negara dibebani untuk membayar gaji pada orang yang tidak kompeten tersebut.
2. Batalkan perpindahan kantor BP Migas dari Gedung Patra Jasa ke Wisma Mulia dan menyewa 15 lantai untuk 5 tahun kedepan. Biaya pindah dan renovasi ruangan saja patut diduga menghabiskan biaya Rp 80 milyar. Kemudian berapa biaya sewanya selama 5 tahun ke depan yang akan menjadi tanggungan negara. Sementara prestasi BP Migas minim, kantor BP Migas jauh lebih mewah dari kantor Menteri manapun. Mengapa saat target produksi migas tidak tercapai, BP Migas foya-foya?
3. Perbaiki kinerja atau ganti perusahaan asuransi penjamin operasional produksi migas. Jika yang ada sekarang tidak memadai, segera lakukan tender ulang untuk mencari perusahaan asuransi yang kredibel. Supaya jika muncul klaim dari KKKS dapat segera difasilitasi dan KKKS bisa segera beroperasi kembali.
4. Semua proses pengadaan di BP Migas harus melalui tender terbuka dan sesuai dengan Perpres No 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa bukan dengan aturan internal BP Migas. Ini penting mengingat tingginya nilai cost recovery (sekitar USD 15 milyar atau sekitar Rp 140 triliun) karena dengan tingkat kebocoran yang hanya 1% saja negara akan rugi sebesar Rp 1,4 triliun.
5. Percepat penyelesaian Proyek EPC I yang dipimpin oleh Exxon Mobil Cepu dengan tegas. Jangan takut pada tekanan politik nasional maupun internasional. Jangan ada 'pat gulipat' dengan 3 peserta tender yang ada (PT Tripatra, PT Rekayasa dan PT IKPT). Pastikan tender berjalan dengan baik. Kalau perlu libatkan Direktorat Pencegahan Korupsi KPK karena potensi korupsinya patut diduga besar.
Jika pimpinan BP Migas tidak bisa memenuhi ini semua, sesuai dengan desakan publik yang ada, saya mohon Komisi VII DPR-RI bersama Kementrian ESDM segera melakukan revisi UU No 22 tahun 2001 tentang Migas. Pastikan pada UU Migas baru tidak ada lagi peran BP Migas yang bak malaikat. Kalau tidak bisa ya bubarkan saja pemerintahan ini karena tidak dapat mengelola kekayaan negara untuk kesejahteraan bangsa ini. Salam.
*) Agus Pambagio adalah pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen.
(vit/vit)
http://us.detiknews.com/read/2011/04/11/082950/1613038/103/target-migas-tak-tercapai-harus-ada-yang-digantung
Target Migas Tak Tercapai, Harus Ada yang Digantung
Written By gusdurian on Senin, 11 April 2011 | 14.55
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar