Khola Hasan
London – Kereta api London berikutnya akan tiba sepuluh menit lagi. Saya duduk dulu di sebuah bangku di serambi stasiun yang cukup berangin. Saya pun mulai membaca buku, The Jews of Islam (Orang-Orang Yahudi Islam) karya Bernard Lewis, yang tampaknya adalah bacaan menarik.
Saya baru membaca beberapa halaman. Tiba-tiba seorang laki-laki yang tengah lewat bertanya, “Kalau boleh tahu, siapa itu orang-orang Yahudi Islam?”
Lalu mulailah terjadi perbincangan menarik di antara kami yang berlanjut hingga di atas kereta selama 20 menit berikutnya. Orangtua dari kenalan baru saya ini adalah orang Yahudi Austria-Hungaria yang melarikan diri dari perburuan Nazi dan mengungsi ke Chili. Kami membincangkan berbagai masalah, termasuk kekerasan atas nama agama dan peran perempuan dalam masyarakat, dengan suara keras di dalam kereta bawah tanah yang bergemuruh dan berderak-derak.
Ini, bagi saya – seorang Muslimah yang tinggal di Inggris – adalah multikulturalisme yang terbaik. Setiap hari ada tidak terhitung orang yang berjumpa, tersenyum, berurusan dan berkomunikasi dengan orang-orang yang belum dikenalnya. Entah mereka mengenakan jilbab atau yarmulka (kopiah Yahudi), kain sari atau rok, itu tidak penting. Anak-anak kita belajar tentang sabda-sabda Guru Nanak, Yesus dan Budha di sekolah, dan saya harap mereka nantinya punya pemahaman yang lebih baik tentang dunia ketimbang kakek-nenek mereka.
Untuk menunjukkan kepercayaan diri dengan multikulturalisme, bahasa Inggris telah mengadopsi kata-kata baru dengan mudahnya, termasuk untuk makanan India dan Pakistan: chicken tikka (ayam panggang pedas), rogan josh (kari kambing) dan saag paneer (hidangan bayam dan keju bersaos). Pada bulan-bulan musim panas, kita melihat semakin banyak perempuan kulit putih Inggris yang memakai tunik bordir Pakistan dengan lengan panjang dan celana linen, sebuah saksi indah diserapnya budaya lain oleh Inggris.
Multikulturalisme tidak mati. Multikulturalisme adalah entitas yang hidup dan berfungsi, yang mempengaruhi kita setiap hari. Dan inilah mengapa saya rasa pidato Perdana Menteri Inggris David Cameron dalam konferensi keamanan di Munich lalu sangat mengejutkan. Waktunya pun jelas menyinggung – hari ketika kelompok ekstrem kanan, Liga Pertahanan Inggris (EDL), menggelar pawai terbesar di jalan-jalan Luton, untuk memprotes apa yang disebut “Islamisasi” Inggris – dan pidatonya tidak menyebut sekalipun fasisme kulit putih. Dan tidak pula sekalipun menyebut komentar politisi Inggris Baroness Sayeeda Warsi tentang semakin diterimanya Islamofobia. Pidato itu justru berisi kritik terhadap masyarakat Muslim yang hidup menyendiri, memiliki tingkah laku yang bertentangan dengan nilai-nilai Inggris, dan mempunyai pandangan-pandangan ekstrem.
Pada 1994, Roger Ballard, Direktur Centre for Applied South Asian Studies in the UK, menggambarkan anak muda generasi kedua orang Asia-Inggris sebagai “navigator budaya”. Ia menyamakan mereka dengan orang-orang yang ahli menggunakan dua bahasa, yang bisa dengan mudahnya berganti bahasa, tergantung konteks dan pendengar. Dalam cara yang sama, generasi baru orang Asia-Inggris bisa berganti-ganti antara budaya Asia dan budaya Inggris, antara tata etika agama dan budaya yang berbeda, dengan mudahnya.
Orang Asia-Inggris sekarang sama nyamannya saat memakai jins atau rok maupun saat mengenakan shalwar kameez (busana tradisional Asia Selatan); saat makan ayam dengan garpu atau makan nasi biryani dengan jari. Mereka bisa memaki dalam bahasa Punjab sama baiknya dengan dalam bahasa Inggris, dan bisa menari dengan musik pop ataupun musik bhangra.
Memang ada sejumlah isu ekstremisme dan radikalisasi yang perlu kita diskusikan. Tapi Perdana Menteri Cameron membuat kesalahan dengan merancukan dua isu yang sepenuhnya terpisah dan menganggapnya sama. Pemisahan-diri adalah masalah nyata karena sejumlah faktor, termasuk migrasi warga dari kawasan-kawasan perumahan yang mulai semakin banyak dihuni oleh ras dan etnis berbeda, kemiskinan, rasisme, pengangguran yang tinggi dan lain sebagainya.
Retorika ekstremis dan radikalisasi anak muda Muslim adalah masalah yang sepenuhnya berbeda; sering kali ini bukan karena semata tidak suka dengan nilai-nilai Inggris, atau tidak punya identitas Inggris yang jelas, tapi karena kebijakan-kebijakan luar negeri Inggris sepanjang sejarah yang telah menyebabkan ikut terbunuhnya warga-warga sipil tidak berdosa di negara-negara mayoritas Muslim tertentu. Muslim radikal tidaklah menyoroti integrasi atau gaya hidup Inggris, tapi menyoroti perang-perang tidak berdasar hukum, dan kematian warga sipil di negara-negara Muslim. Isu-isu ini perlu dibicarakan terbuka, alih-alih diabaikan dan salah dikenali penyebabnya.
Muslim di Inggris menikmati dan memberi sumbangan pada kemakmuran dan keberhasilan negara ini. Mereka membayar pajak, aktif dalam profesi di bidang kesehatan dan hukum, bercita-cita bermain kriket untuk tim Inggris, memikirkan pendidikan anak-anak mereka, dan secara umum hidup bahagia dan produktif. Orang-orang fasis dan ekstremis mengandalkan ketakutan terhadap orang lain untuk mendorong kebencian. Inilah mengapa kita butuh lebih banyak lagi multikulturalisme, dan bukan yang justru berkurang, untuk melawan stereotip. Mungkin perbincangan yang lebih mencolok dengan orang asing di kereta api akan membantu melawan ketakutan terhadap pihak lain ini.
###
* Khola Hasan ialah penulis dan penyiar yang membidangi HAM dan hak-hak perempuan dalam Islam, serta Direktur Albatross Consultancy Ltd.
Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 4 Maret 2011, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.
Tuan Cameron, multikulturalisme tumbuh baik di Inggris
Written By gusdurian on Minggu, 06 Maret 2011 | 09.26
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar